Selasa, 11 Desember 2012

Kunjungan ke War Memorial, Canberra



Delapan wartawan telah melewati penerbangan Melbourne-Canberra selama 55 menit. Mereka paling sedikit membawa dua tas untuk persiapan selama tujuh hari.

Keberangkatan ke Canberra dipandu oleh wanita yang berambut coklat berbaju hitam putih dan tas coklat di selempangkan di bahu kanannya. Deborah Muir namanya.

“One, two, three……Eight. Okay,” ucapnya saat berada sembari menghitung jumlah fellow.
Deb selalu menghitung jumlah peserta, terutama bila ada peserta usai menyebrangi jalan, berjalan dikeramaian dan persimpangan. Entah berapa Deb mengucapkan angka satu sampai delapan. Untungnya dia lebih tinggi dari kami semua, jadi dia tak perlu jinjit sewaktu menghitung kami.

Berbekal semangat, pengalaman, rasa ingin tahu, maka naluri jurnalis kami kembali berkobar. Sesampai melewati proses pemeriksaan bandara yang cukup menyita waktu untuk membongkar tas, akhirnya rasa itu terbayar sudah sesampai di Canberra.

Usai menitipkan barang-barang di hotel kami langsung bergegas mencari makan siang. Saat makan siang pun Deb tak lupa untuk menghitung jumlah kami. Australian War Memorial adalah tujuan berikutnya. Sesampai disana kami sudah melihat gedung War Memorial yang saling berhadapan dengan Old Parliament House.

Setelah menatap lamat-lamat ke Old Parliament House, seketika itu saya tersadar bahwa ada ratusan kursi putih yang berbaris rapi menghadap ratusan karangan bunga. Pada karangan bunga terdapat nama negara.  Ada karangan bunga dari Negara Indonesia tempat kelahiran saya, ada dari Bosnia, Timor Leste, Mexico, Arab Saudi, Malaysia dan masih banyak ratusan karangan bunga. Dan karangan yang paling mungil adalah karangan bunga dari siswa sekolah dasar.
“Their name liveth for everymore,”terukir di atas batu yang dipenuhi karangan bunga.


Saat masuk ke dalam gedung War Memorial, saya benar-benar disuguhkan dengan atmosfer tahun 1800-an. Foto, patung, pakaian para militer yang berjuang, tongkat, serta peralatan makan hingga perang. Gedung Austalian War Memorial ini dibuka pada 1941 yang terdiri dari tiga bagian: Area Commemorative (kuil) termasuk Hall of Memory dengan Makam Prajurit Australia diketahui, galeri Memorial ini (museum) dan Pusat Penelitian (catatan). Memorial ini juga memiliki Sculpture Garden luar ruangan. Memorial saat ini buka dari 10 sampai 5 sore.


Two Light horse signaller outside a redoubt in the Sinai Desert, 1918

Salah satu foto yang membuat saya larut adalah dua orang tentara yang duduk di daerah Sinai. Mereka mengenakan celana pendek, kaos kaki setinggi siku kaki, hanya topi sebagai pelindung kepala mereka. Alat tulis dan kertas pada tangan merekalah yang membuat saya menitikan air mata.

Seperti mereka sedang melakukan komunikasi jarak jauh. Duduk diatas pasir tandus. Kawat duri yang berada di belakang mereka membuat keadaan semakin mencekam bagi saya. Saya sempat berbicara dalam batin saya.

“Apa mampu saya melewati masa yang telah dilewati oleh mereka yang telah tiada. Suara tembakan. Darah. Mayat. Gurun. Seketika entah kenapa tiba-tiba saja saya berfikir, ini akan terjadi bila saya meliput perang. Mau tidak mau harus mau dan mampu!”
Mereka yang berada namanya terukir di War Memorial ini adalah pahlawan yang takkan pernah dilupakan sekaligus korban perang. Saat melihat seisi War Memorial, saya berpapasan dengan seorang fellow dari West Papua, Yermias Degei ia mengatakan peperangan harus segera dihentikan.

“Stop peperangan! Mereka ini adalah bukti dari korban perang! Stop penindasan! Stop penjajahan!”

Benar yang disampaikan oleh Yermias, entah berapa kerugian materi yang hilang saat berperang. Tak terhitung nyawa yang hilang.

“Mana teman-teman kita? Pasti Deb mencari kita,” ungkap saya pada Yermias.

Kamis, 01 November 2012

Assertive


Your Assertive Bill of Rights
1.       The right to be treated with respect
2.      The right to have and express your own feelings and opinions
3.      The right to be listened to and taken seriously
4.      The right to set your own priorities
5.      The right to set no without feeling guilty
6.      The right to ask for what you want
7.      The right to get what you paid for
8.      The right to ask for information from professionals
9.      The right to make mistakes
10.   The right to choose to assert yourself
11.    And if I don’t get it right, I have the right to forgive myself.


Minggu, 28 Oktober 2012

My Internasional Flight

Airportnya penuh dengan orang lalu lalang. Kebanyakkan orang-orang yang berada di sekitar saya lebih tinggi daripada saya, berkulit putih dan cap-cus berbicara bahasa Inggris. Saat saya turun dari pesawat, langsung menuju ada karpet biru, sebelah kanan dan kiri kaca, pada ujung jalan ada pengawas perempuan berambut pirang, sambil memegang handytalk (HT) sembari mengarahkan penumpang menuju jalan lain.

Penumpang yang turun dari pesawat berjalan dengan sangat cepat, langkah yang lincah. Tak ada seorang pun yang memegang handphone sambil jalan, bila pun ada maka orang itu menghentikan jalannya lalu menyingkir dari tengah, berbeda sekali dengan di Indonesia yang sudah membiasakan diri berjalan sambil memegang handphone dengan langkah yang cenderung santai.

Saat saya mulai mengikuti langkah cepat mereka, saya tetap saya didahului (mungkin karena kaki saya tak sepanjang mereka) padahal orang-orang yang mendahului berjalan membawa ransel yang lebih besar, dengan koper di tangan kiri. Sontak saya sempat berhenti sejenak menikmati atmosfer airport. Baik pria, wanita serta anak-anak berjalan lincah hilir mudik kurang memperhatikan kiri kanan, tatapan ke depan mencari claim bag.

Senin, 22 Oktober 2012

Esmeralda Santiago di Taman Budaya Medan



Taman Budaya Medan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Medan Timur dikunjungi oleh Konsulat Amerika Kathryn Crockart mengundang Esmeralda Santiago.  Ruangan yang berukuran kurang lebih 10x 15 meter menyambut kehadiran dua wanita yang aktif berbahasa Inggris.

Akomodasi dalam diskusi ini sangat sederhana, ada enam kipas angin dilangit-langit ruangan, namun hanya empat saja yang berputar. Saya tidak tahu kapan terakhir kipas angin tersebut dibersihkan. Saya melihat debu pada baling-baling kipas sangat tebal. Baling-baling kipas yang berwarna biru telah berubah warna menjadi warna coklat, begitu juga dengan jeruji bulat tersebut. Warna putih sudah menjelma menjadi warna coklat juga.

Kamis, 04 Oktober 2012

Papuan Prisoner of Conscience Filep Karma in Jakarta for Medical Treatment


Press Release

Jakarta, Indonesia [28 September 2012].

Filep Karma, apolitical prisoner of conscience from Papua, has attended a two-week medical treatment in Jakarta hospital and has returned to Abepura prison in West Papua on Wednesday evening. He arrived in Jakarta on September 14 and took a colonoscopy treatment in PGI Cikini hospital, Jakarta.

Indonesian physicians in Jayapura, who earlier examined Karma with simple equipment, suspected that he has a colon tumor.As it is not possible to conduct a colonoscopy in West Papua the physicians referred him to the hospital in Jakarta.

Karma was imprisoned in 2004 and is serving 15 years in prison for participating in a peaceful independence demonstration and for raising the Morning Star flag, an important Papuan symbol of independence. The UN Working Group on Arbitrary Detention declared him a political prisoner in September 2011, asking the Indonesian government to immediately and unconditionally release Karma. The government, however, denies the existence of “political prisoners” in Indonesia. His injuries were sustained from acts of torture inflicted on him while in prison. He also injured his hip during a falling 2006.


It took nearly six months for Karma to be able to be transferred to Jakarta despite this referral. Abepura prison officials, under the Ministry of Law and Human Rights, have refused to cover cost of his medical treatment and travel. The Indonesian government’s refusal to cover his costs is in direct contravention of national and international law. According to United Nations Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment (Principle 24), and Indonesian law (Regulation No. 32/1999 on Terms and Procedures on the Implementation of Prisoners' Rights in Prisons) it is required that all medical costs for treatment of a prisoner at a hospital be borne by the State.

Despite the Abepura prison authorities recently giving permission for Mr. Karma to travel to Jakarta, they still refuse to cover the cost of his medical treatment and travel. Funds have been raised through donations from the Prisoners of Conscience Appeal Fund (London), Rev. Socratez Yoman’s church service (Timika), STT Walter Post (Jayapura) and many individuals.

Arya Adikku Sayang….



 Rembulan begitu terang malam itu. Bulat sempurna. Kuning bercahaya, dari tempatku berpijak saat ini tampak seperti ada benua di bulan yang terang itu. Rumah tempatku tinggal menghadap ke Selatan, untuk menikmati cahaya itu aku menghadap ke Timur. Menggagkat kedua tangan tinggi lalu merenggangkan tubuh terkhususnya tulang punggung.

Senyum terindah pada Dewi Bulan sebelumku masuk ke dalam rumah. Dari daun pintu aku sudah dapat melihat adikku, Satria Arya yang kini berusia sembilan tahun duduk sambil memegang pulpen di tangan kanan membaca buku bacaannya lalu menulis pada buku bergaris walau sesekali matanya melirik ke televisi. Satria Arya kini duduk di kelas III SD YPK Budi Murni 7. Postur tubuhnya cukup tinggi dibanding dengan teman sekelasnya. Arya panggilannya. Ia sudah sepundakku.

Saat aku mendekatinya, Arya kembali fokus pada buku di depannya.
“Kakak nggak makan?”
“Bentar lagi,” sambil kubaca tulisan pada buku tulisnya.
“Aduh… Sakit perutku!”
“Jangan banyak alasanya Arya!”

Melihat aku dan Arya bersama saat belajar, biasnaya membuat mamaku tertawa karena ulah Arya. Aku tahu yang ada di dalam pikiran mamaku. Pasti ada aja alasan aneh dari Arya yang tidak dapat dihindari saat belajar. Mulai dari lapar tiba-tiba walau sudah makan, sesak kencing yang dapat dia lakukan tiga kali dalam dua jam, bahkan ia bisa saja sesak berak tiba-tiba dan berlama-lama di kamar mandi.

Kami semua sudah maklum saja, karena Arya adalah anak bungsu. Dan aku sebagai anak sulung selalu saja mendengar laporan-laporan aneh Arya bila sampai di rumah. Ucapnya sering menghiburku. Arya berusia sembilan tahun dan kini aku berusia 23 tahun. Perbedaan yang cukup terasa. Arya lahir saat aku duduk dibangku SMP.

Usai mengajarinya, kami tidur bersama dalam satu kamar. Kipas yang tak bisa dihentikan. Bila kipas terhenti, ia spontan akan bangun.

Mungkin saat kau membaca ini kau sudah menginjak remaja dan mengatakan “gak mungkin aku kayak gini,” Tapi itulah kenyataannya dek. Kita juga dulu pernah lomba makan banyak. Karena di rumah hanya kita berdua yang paling kurus, sedangkan bapak, mama, Putrid an Indra semua berbadan besar. Mereka algojo kita semua dek. With love. And big hug.

Minggu, 12 Agustus 2012

Anak Pelaku Kriminal?


Tulisan ini saya buat, usai saya memarkirkan sepeda motor saya di Terminal Amplas. Saat itu saya melihat seorang anak laki-laki memukuli seorang anak perempuan secara membabi buta. Ia mendaratkan pukulannya tepat dibagian wajah anak perempuan. Melihat dari pakaian yang dikenakan, warna yang sudah pudar, rambut memirang akibat teriknya matahari membuat hati menyimpulkan sendiri, bahwa mereka anak jalanan.

Pemukulan itu terjadi di tempat keramaian. Anak perempuan itu hanya bisa menunduk dan menangkis pukulan-pukul itu dengan tangannya yang kecil. Tak ada perlawanan. Saya juga melihat ada satu bungkusan permen yang sudah kosong dan dibalik, sehingga mereknya berada di dalam dan saya hanya melihat kilatan bungkus plastik tersebut. Bungkus permen kosong yang dibalik itu sering saya lihat saat menaikki angkutan umum.

Lampu merah, terdengar suara gitar, ada suara tutup botol minuman yang sudah digepengkan, suara tepuk tangan dan bernyanyi sambil melihat detik lampu merah yang berjalan mundur. Kemudian menyodorkan bungkusan permen kosong ke penumpang, seraya berharap ada yang merogoh kantong dan menunggu dimasukkan uang ribuan, bila tak ada uang ribuan maka uang receh pun jadi. Walau saat menerima uang receh mereka sedikit mengerutu.

Kembali ke keadaan pemukulan tersebut. Mungkin bagi mereka yang sering lalu lalang di Amplas, itu adalah pemandangan yang sangat biasa. Supir angkutan yang melintas hanya memandang sekilas dan berlalu. Tukang becak yang melihat itu pun menoleh dan menonton, sekejab kembali memandang ke depan, seolah tidak ada peristiwa yang terjadi.

Semua orang yang melihat adegan tersebut berpura-pura tidak melihat. Ada jeritan kesakitan. Batinku, siapanyakah itu kenapa sampai berani memukuli anak perempuan? Kenapa anak perempuan itu tidak melawan atau lari?

Fenomena Kekerasan Anak
Fenomena kekerasan anak ini ibarat gunung es. Teramat sangat sulit terdeteksi. Kekerasan pada anak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor di antaranya faktor budaya yang permisif terhadap tindak kekerasan, dan juga faktor keadaan lingkungan keluarga.

Anak adalah peniru yang handal, pada umumnya apa yang ia dengar akan ia katakan, apa yang ia lihat akan ia tirukan kembali. Namun, malangnya bila orang tua luput memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh anak maka secara tidak langsung orangtua telah gagal melaksakan tugas untuk melindungi anak. Bukan hanya melindungi tubuh mereka agar tidak mendapat kekerasan dari orang lain namun juga gagal melindungi anak dari pikiran-pikiran yang merusak mental.

Media massa, seperti televisi adalah benda elektronik yang sudah berada di tiap keluarga. Banyak tayangan televise yang kuarng mendidik anak, seperti tayangan film yang menunjukkan peran-peran antagonis, penyiksaan, memunculkan peran picik. Jam tayang film tersebut pun pada jam-jam yang rentan di tonton oleh anak.

Tak hanya melalui film, namun juga melalui pemberitaan. Hampir setiap stasiun televisi mempertontonkan tindak kriminal. Mulai dari kronologis, teknik dan tahapan melakukan kejahatan disertai dengan bahasa vulgar dalam pemberitaan. Masih ingatkan pembaca dengan kejadian siswa SD yang menusukan senjata tajam ke tubuh teman sebayanya secara berulang-ulang.

Peristiwa tersebuut terjadi Perumahan Cinere Indah, Depok, Jabar. Tersangka kesal, sebab korban Syaiful Munip meminta kembali telepon seluler yang dicurinya. Pelaku dan korban adalah siswa yang duduk di bangku sekolah dasar (SD). Tetangga tersangka kaget mendengar kabar bahwa tersangka yang masih 13 tahun itu bisa berbuat begitu sadis. Padahal sehari-hari bocah itu dikenal berperilaku baik.

Kini yang tersisa hanya pertanyaan-pertanyaan. Kok, bisa anak seusia itu bisa berlaku keji pada temannya sendiri? Ada hal apa yang terjadi pada tersangka? Apalagi penusukan yang dilakukannya bukan hanya sesuatu yang hanya bermaksud melukai, tapi seperti berniat untuk menghabisi nyawa. Anehnya lagi, setelah melakukan hal tersebut dia berinisiatif membuang temannya di got, mungkin dengan niat membuang korban di got, agar kejadian itu tidak diketahui orang lain.

Pertanyaannya adalah, darimana si anak belajar melakukan ini? Patut dipertanyakan pula dari mana tersangka memperoleh pisau yang dipakai untuk menusuk? Apakah ini sesuatu yang direncanakan ? Bagaimana juga tersangka bisa begitu tega menusuk korban berulang kali lalu membuangnya ke got?

Hal lain yang sangat mencengangkan adalah pengakuan tersangka. Kabarnya tersangka mengaku jika yang dilakukannya adalah hasil meniru adegan kekerasan di film yang ditontonnya di televisi. Jika itu benar, betapa besarnya efek yang ditularkan lewat film yang mungkin tidak pas ditonton oleh anak-anak. Contoh kekerasan lewat penggambaran yang realistis di film-film akan membuat memori yang abadi di kepala si anak. Anak tanpa sadar telah tercuci otaknya dengan film-film tersebut.

Mendidik Anak Tanggung Jawab Siapa?
Setiap orang dewasa yang berada di sekitar anak bertanggungjawab besar atas anak tersebut. Terkhususnya orangtua. Bila  saat anak dididik dengan menggunakan kasih sayang maka akan lahirlah anak yang menyayangi. Namun bila anak didik dengan sadis maka lahirlah generasi yang bernubuat kesadisan. Tenaga pendidik serta merta jua bertanggung jawab terhadap nasib dan masa depan anak.

Apakah kita hanya mau menjadi penonton bila kita melihat ada anak yang mendapat perlakuan kasar?

Menonton sama dengan satu pembiaran, berarti membiarkan anak menjadi korban penganiayaan. Setiap orang harus melindungi anak dan segenap dengan hak-hak anak yang melekat pada anak tersebut.

Kini, bukan hanya orang dewasa yang bertanggung jawab untuk mendidik anak. Media massa baik cetak dan elektronik juga bertanggung jawab untuk mendidik dan menciptakan mental serta psikologis anak yang berkualitas.

Cerita anak jalanan di terminal Amplas yang saya sampaikan di atas hanyalah kisah biasa yang kita anggap sangat biasa-biasa saja. Namun efek sangat luar biasa bila tak ada penangangan. Mau dibawa kemana masa depan anak? Mari kita mulai melindungi anak yang berada disekitar kita. Jangan pernah menutup mata padahal melihat.

Pernah dimuat di Analisa, edisi Senin, 6 Agustus 2012

Galau...


Untuk Mamak dan Bapakku Tersayang…

Aku heran! Entah apa yang ada dalam pikiran orangtuaku. Saat aku mengerjakan ini salah. Saat mengerjakan itu.

Entah apa yang mau dilakukan selalu dipertimbangkan. Aku tahu bahwa sebelum mengambil keputusan harus ada pertimbangan yang matang. Tapi kalau terlalu banyak menimbang sana-sini. Aku mau jadi apa.

Usai menjalani praktek pengalaman lapangan mengajar aku dapat panggilan untuk bekerja di Mimbar Umum. Aku senang sekali, lagi-lagi orangtua selalu saja pesimis. “Ngapain jadi wartawan. Mau jadi apa? Apa mau jadi tukang minta-minta?”
Aku paham, dengan kondisi ini, karena dikeluarga kami juga ada saudara dari bapakku yang juga berprofesi sebagai wartawan, namun tak tahu entah dari media media mana. Mungkin inilah salah satu hal yang membuat pesimis dengan keadaan wartawan.

Jumat, 03 Agustus 2012

Balada Perempuan, Kala Perempuan Bersuara…


Ketika perempuan bicara, kata-katanya mampu membungkam dunia dan selama masih ada perempuan maka masih ada kisah kehidupan. Terbuktikan dalam sekumpulan kisah Balada Perempuan yang disuguhkan dalam buku ini. Memang benar, ketika suara-suara perempuan diperdengarkan, sesungguhnya akan menjadi kegaiban yang mesti kita kuak dengan nurani, sebab suara perempuan ialah bahasa sanubari.

Balada Perempuan menguak sejuta kisah yang dialami perempuan. Tawa, tangis, luka, kgejolak batin, cinta, persimpangan, mimpi, semangat, kematian, kehidupan, keberanian, ketegasan, bertahan hidup dan inspirasi disuguhkan dalam buku Balada Perempuan.

Tujuh adalah angka kesempurnaan. Demikian juga dengan buku Balada Perempuan, ini adalah buku pertama yang ditulis oleh tujuh wanita keroyokan. Mereka berbeda asal, beda wajah, suku, kepribadian, agama, warna kulit, bentuk rambut, namun memiliki mimpi yang sama.

Penulis-penulis Balada Perempuan ini telah terlebih dahulu mengenyam dunia jurnalistik dari Pers Mahasiswa Kreatif Universitas Negeri Medan. Kini mereka merajut impian bersama lalu mewujudkannya dalam satu organisasi yaitu Koper Indie (Komunitas Perempuan Indie).  Ketujuh penulis ini antara lain Yama Kaze, Wulantsubaki, Quelle Idee, Dwifani, Riendytha Nasution, Ayoe Lestari dan Novita Sari Simamora.  Mereka bertujuh adalah mahasiswa Unimed yang tak lelah bermimpi. Dan dengan keberaniannya mereka menjemput impiannya. Mewujudkan menjadi nyata.

Dalam Balada Perempuan, ada kisah “Dunia di Bawah Meja.” Mengajak untuk memiliki keberanian. Pembaca diajak untuk masukilah dunia yang dibuat, lalu rasakanlah betapa indahnya melukis duniamu sendiri. Sangat menakjubkan, karena dalam dunia ini kita diberi kebebasan untuk meramu kebahagiaanmu sendiri.

Kelembutan, kehidupan dan cinta ada pada perempuan. Namun kita juga dapat melihat ketegasan perempuan menentukan pilihan hidup. Buku ini menguak kisah wanita yang aktif dalam dunia tulis-menulis, yang menamatkan bangku pendidikan di bidang pendidikan. Karena tuntutan orangtuanya ia berusaha menjadi wanita dewasa dan ia membahagiakan orangtuanya dengan caranya sendiri.

Disuguhkan juga, bagaimana bila perempuan sudah buka bicara mengkritisi pemerintahan yang tidak becus mengurusi rakyat dan sudah membuncit sambil ber-AC di kursi panas. Balada Perempuan menyuguhkan hal tersebut sebagai tahun panas yang dilanda konflik politik, penuh intrik dan taktik licik para ahli politik.

Bukan hanya mengkritisi ambisi pemimpin negeri. Pembaca juga diajak untuk berfikir positif dalam kebenaran. Dengan mengambil contoh sederhana yaitu tentang proses penerimaan diri dan menghimbau pada nurani untuk berfikir positif. Buku ini juga mengajarkan kita untuk mendengarkan suara hati. Jika suara hati resah, maka mengadulah pada Sang Raja Semesta.

Perempuan-perempuan yang menulis buku ini adalah perempuan yang memiliki motivasi. Impian yang dipadukan dengan pandangan positif dan menjadi harapan lalu nyata. Naskah-naskah yang disajikan dalam buku ini akan mengajak pembaca menjadi orang-orang yang tangguh, dewasa, bijaksana, jujur dan mandiri.

“Aku perempuan. Perempuan yang dapat mengubah duka menjadi suka, tangis menjadi tawa, benci menjadi cinta dan kematian menjadi kehidupan,” mengutip dari puisi pembuka Balada Perempuan.

Buku ini menyajikan sekelumit suara-suara perempuan. Siapa yang dapat mendustai syair hidup yang diiringi nada-nada indah nan menawan. Buku Balada Perempuan diterbitkan oleh Mataniari Project, pada April 2012. Jumlah halaman Balada Perempuan mencapai 150 halaman dan kamu dapat memiliknya, hanya dengan membayar Rp. 40 ribu.
Atau kamu bisa menghubungi 085762888702 untuk membeli buku ini.




Beras Pulut Lintas Agama

Keanekaragaman itu indah. Laksana warna yang berbeda-beda ditangan pelukis maka ia melahirkan lukisan yang indah. Ibarat alunan melodi yang menghasilkan simponi nan merdu. Demikian juga keanekaragaman manusia, suku, ras, budaya maupun agama jika warna itu dipadukan dengan tepat, maka akan membentuk mozaik kehidupan yang indah.

Warna yang berbeda bisa semerawut jika menciptakan coret-coret yang kacau. Saat mengikuti pelatihan jurnalistik di salah satu hotel yang berada di Berastagi, saya berkenalan dengan tiga teman dari Singkil, Aceh.

Mereka datang dari Aceh dengan membawa harapan agar rumah ibadah mereka dapat mereka fungsikan kembali tanpa ada intimidasi dari pihak manapun. Kini warna yang berbeda itu sedikit acak-acakan di Aceh Singkil. Keharmonisan mulai pudar.Bergesekan dan memanas.

Keharmonisan ini rusak karena adanya kasus-kasus intoleransi yang terjadi sehingga meungkinkan terjadi konflik. Sekarang kebersamaan dan kekeluargaan mulai merenggang anta umat. Disela-sela pelatihan sambil menikmati hidangan kue dan secangkir kopi di atas meja bertaplak merah. Teman-teman baru saya dari Aceh merasakan kerinduan akan kue Hari Raya.

Tahun 1990, ternyata tradisi merayakan pesta kemenangan agama lain adalah suatu kenangan yang sangat membekas indah dalam benak mereka. Saat Umat Muslim merayakan Hari Raya maka pada saat hari kemenangan itu, Umat Kristiani datang melakukan kunjungan ke rumah-rumah yang merayakan Hari Raya Idul Fitri dan memberikan satu selampis (Bahasa Batak Karo artinya tandok, anyaman yang terbuat dari daun nipah)

“Selampis itu biasanya diisi dengan beras pulut, gula, minyak makan terkadang kelapa. Itu nantinya akan diolah keluarga yang menerima kembal menjadi lemang, wajid, kembang loyang dan kue.”

Itu masih ia rasakan saat ia duduk di bangku sekolah dasar, sekitar kelas III sampai kelas VI SD.  Hal dilakukan Umat Kristiani saat Umat Muslim merayakan hari kemenangan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Begitu juga sebaliknya, saat umat Kristiani merayakan hari kemenangan, mereka yang umat Muslim datang ke rumah umat Kristen kala tahun baru. Saat itu kegiatan tatap muka, duduk bersama dan saling berceritan, tanpa memandang siapa pun, dari agama manapun.

Semua peserta pelatihan seketika menjadi takjub, hening. Hanya ada suara peserta dari Aceh dengan suara yang merindukan kebersamaan di kampungnya.

Merindukan beras pulut lintas agama.

“Wah…ternyata dulu di Singkil sangat luar biasa harmonis ya!” ketus salah seorang peserta.

Selampis dibawa sebagai oleh-oleh sekaligus ungkapan turut berbahagia kala merayakan hari kemenangan. Kembali mereka mengalirkan kisah indah yang mereka alami. Ternyata, apresiasi merayakan hari kemenangan lintas agama itu tak hanya dengan berbagi selampis. Masyarakat Aceh Singkil juga sempat melakukan makan bersama di los (Bahasa Batak Karo artinya pekan). Los di Aceh Singkil dibuka setiap Hari Selasa. Saat Hari Raya, Umat Muslim mengundang melalui Mukim (camat) untuk mengundang masyarakat kampung, mulai dari umat Kristen Protestan, Khatolik bahkan umat yang memiliki kepercayaan leluhur turut hadir saat makan bersama kala Hari Raya. Dan itu semua didanai oleh Umat Muslim.

Serupa, tahun baru juga kegiatan itu juga saling berbalas. Umat Kristiani mengundang seluruh masyarakat kampung, tak terkecuali siapapun untuk dapat hadir mengikuti makan bersama, namun bedanya umat Kristiani memberikan bahan mentah kepada umat Muslim seperti beras, kambing, ayam dan bahan lainnya agar diolah menjadi makanan saat makan bersama. Ini dilakukan untuk menjaga kebersamaan, dan saat itu juga bergantian, Umat Kristianilah yang mendanainya.

Bukan hanya umat Kristiani maupun Muslim yang memiliki hari kemenangan, namun undangan juga datang dari Umat Parmalim. Pada Maret, umat Parmalim mengundang masyarakat kampung dari agama apapun untuk makan bersama di hari kemenangan umat parmalim.

Sambil melayangkan bola matanya ke atas seraya kembali mengingat masa makan bersama di los. Makanan akan banyak bila masyarakat setempat sedang panen, bila panen maka akan makan daging lembu, kalau lagi tak panen, biasanya masak daging kambing dan ayam.

Sekitar tahun 1990, los yang berada di Singkil masih terbuat dari kayu. Tanpa cat. Tiang penyanggah terbuat dari kayu yang masih bulat. Bagian meja terbuat dari kayu yang dibelah membentuk persegi, sedangkan atapnya terbuat dari daun rumbia. Semua ada di saat los buka. Mulai dari gula, kelapa, tepung, sayur-sayuran, buah-buahan, pala dan bumbu-bumbu dapur lainnya. Uniknya saat dipekan, beras dijual dalam bamboo besar. Bambu yang bermuatan dua liter dan dijual seharga Rp. 500.

Keadaan itu masih sempat mereka rasakan. Namun keadaan los 20 tahun lalu tak lagi sama dengan los di era ini. Kini los sudah terbuat triplek dan dimodifikasi dengan broti-broti kayu penuh dengan cat dan beratap seng.

Los di Aceh Singkil adalah saksi bisu perayaan hari kemenangan lintas agama yang dihiasi dengan cerita sampai mengundang tawa mengoncang perut. Makan bersama, dudul di lantai los, saling mengover mangkok yang berisi daging ke orang-orang yang disebelah kanan maupun kiri, tanpa melakukan diskriminasi agama dan suku. Teko yang berisi air juga mengisi setiap gelas-gelas kosong, dan air dari teko tidak pernah tak keluar karena perbedaan agama dan suku.

Kuali tempat memasak daging dan dandang tempat memanak nasi untuk orang satu kampong mungkin merindukan kembali dan bertanya, “kapan kami dipakai untuk memberi makan satu kampong?”

Ember timba kecil dan mangkuk-mangkuk plastik tempat cuci tangan, piring-piring kaleng berisi nasi, daging dan sayur. Serta gelas-gelas dengan air yang sempat berkumpul di sungai, pasti merindukan mandi bersama dan elusan tangan-tangan perempuan yang ikhlas hatinya untuk berbincang di pinggir sungai sambil membasuh peralatan makan telah digunakan.

 Apakah tuan dan puan tak merindukan masa itu?

“Ketika cinta itu mulai pudar, ingat aja saat-saat ini, saat dimana cinta kita begitu berbunga, saat-saat indah yang kita lalui bersama, sehingga ingatan itu akan memekarkan kembali cinta yang pudar itu.” Sepenggal kalimat yang dikatakan oleh tokoh pria pada tokoh wanita pada sebuah film cinta. Benar, ingatan akan cinta yang begitu indah bisa menumbuhkan kembali rasa yang mungkin mulai hilang di hati seseorang.

Demikian juga pada kasus yang terjadi di Aceh Singkil ini. Cinta yang mulai layu, keharmonisan yang mulai memudar, rasa kekeluargaan yang semakin menjauh, dan kebersamaan antar umat beragama yang mulai bergesekan. Namun, seperti adegan percintaan diatas, mungkin ingatan akan kehangatan persaudaraan dan keharmonisan bisa kembali pulih.

Bagaimana Bulan Ramadhan 2012?


Suara magrib tahun ini mengingatkan aku akan masa-masa puasa beberapa tahun silam. Masih jelas dalam ingatanku. Saat aku duduk di bangku SMAN 1 Percut Sei Tuan. Itu sekitar tahun 2004. Tahun itu aku memutuskan untuk berangkat ke kampong mamaku. Tigalingga namanya. Bila dari Sidikalang butuh waktu satu jam untuk menjumpai Tigalingga.

Saat itu, sekolahku libur dari awal puasa hingga lebaran. Ini bagiku liburan yang sangat panjang. Berangkat sendiri ke kampung adalah cara yang paling praktis untuk menikmati liburan. Itu kali pertama kali aku pulang kampung tanpa orangtua dan adik-adikku.

Silahturahmi ke rumah tulang-nantulang, tante, udak-nangudak dan juga ke rumah opungku. Saat itu aku masih dapat bercakap-cakap dengan opungboru dan opungdoliku di kampung. Walau sudah berumur sekitar 80an, namun mereka masih bias memindahkan satu goni gabah dari teras ke dalam rumah. Simalolong (mata) mereka juga masih dapat membaca tulisan pada Bible. Walau kulit sudah keriput, tapi semangat dan cinta mereka tak pernah kusut.

Berjalan kaki ke ladang. Aku rasa 500 meter lebih itu ada untuk mencapai ladang opung. Jauh nian. Keadaan sekitar, hamper semua rumah terbuat dari papan, bilapun ada yang terbuat dari beton, itu hanya sebagian aja. Pepohonan masih banyak.Tak ada kata lelah bagiku. Bayangkan aja, opungku aja bisa jalan kaki samaku dan tak ada bilang lelah.

Pergi ke ladang durian, menabur abu di padi. Memungut durian yang jatuh. Saat itu aku ke ladang bersama opungboru (nenek). Mencabut ubi untuk makanan babi, lalu memasak makanan babi dan memberikan ke babi yang ada di kandang.

Itulah kisah yang pernah aku jalani di tahun 2004.

***

Saat aku kuliah, pada semester tujuh (tepatnya tahun 2010) aku menjalani masa PPL (praktek pengalaman lapangan). Itu adalah masa bulan puasa yang aku lewatkan bersama siswa-siswaku yang duduk di bangku sekolah dasar.

Mereka sangat lucu-lucu. Bocah ingusan, setiap kali jam istirahat aku selalu merasakan aroma keringat anak-anak yang lucu-lucu. Kadang ada yang bergaya menggoda, kadang ada yang berwajah bingung, terkadang juga ada yang mengupil bahkan saat aku mengajar, aku sempat merasakan aroma kentut siswaku dan semua siswaku saling tuding-menuding akibat aroma yang sangat menyengat tersebut.

Aku hanya bisa tertawa dalam hati menyaksikan tingkah siswaku. Maklum saja, karena mereka masih kelas II SD. Harus banyak sabar menghadapi mereka. Aku pernah juga menghadapi siswa yang tiba-tiba saja menjadi pendiam, duduk di bangku dengan wajah pucat. Lalu saat aku mendekat, aku merasakan bau kotoran.

Astaga… Anak itu boker di dalam celananya… Wow…’selai kacang’ menetes sampai ke betisnya.

Itu pengalaman yang sangat unik bagiku ketika mengajar di bulan puasa.

Selanjutnya, pada tahun 2011, aku menjalani profesi yang berbeda. Dan ini sangat bertolak belakang sekali dengan bidang ilmu yang aku jalani selama duduk di bangku universitas. Namun, selama kuliah aku mendapatkan pendidikan di luar kuliah melalui organisasi yang aku jalani di Pers Mahasiswa Kreatif Unimed.


Setelah aku menjalani masa puasa di kampong, lalu menikmati masa puasa bersama siswa-siswa SD yang lucu-lucu. Dan tahun 2011, aku menjalani masa puasa bersama para kuli tinta. Bergerak kesana kesini untuk menjumpai narasumber, berlomba dengan waktu, mendapat perintah dan berbagai informasi via telepon dan SMS. Namun itu adalah kenikmati dan dinamisnya kehidupan.

Sampai saat ini aku tidak menyangka akan melewati masa-masa itu dengan beragam kondisi, bermacam lokasi dan beranekaragam orang.

Lalu di tahun 2012 ini bagaimana aku menjalani puasa dengan orang-orang disekitarku ya?





Medan dan Indonesia Juara DBD


Sejak tahun 1968 Indonesia telah terkenal sebagai jawara demam berdarah dengue (DBD). DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, saat itu ada 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %) Bermula hal itu nama Indonesia melambung tinggi pada jajaran ASEAN.

Penandatanganan Asean Dangue Day (ADD) bertujuan memperkuat kerjasama regional dan membangun komitmen upaya pengendalian DBD di negara-negara Asean. Selain Indonesia sebagai tuan rumah, penunjukkan Indonesia sebagai lead country, diharapkan pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara ASEAN lainnya.
Mengapa harus Indonesia yang menjadi tuan rumah? Setelah menoleh kebelakang ternyata keputusan akan Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Dengue Dayatau Hari Dengue se-ASEAN tak salah sasaran hal ini di karenakan Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mencatat jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tahun 2009 mencapai sekitar 150 ribu. Angka ini cenderung stabil pada tahun 2010, sehingga kasus DBD di Indonesia belum bisa dikatakan berkurang.
Serupa pada tingkat kematiannya, tidak banyak berubah dari 0,89 pada tahun 2009 menjadi 0,87 pada pada 2010. Ini berarti ada sekitar 1.420 korban tewas akibat DBD.dari data inilah Kementerian Kesehatan mengungkapkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengidap demam berdarah dengue (DBD) tertinggi di ASEAN.
Fenomena ini dengan munculnya kasus Demam berdarah Dengue (DBD) di awal tahun 2012 ini tidak menutup kemungkinan angka ini akan semakin bertambah apalagi sudah ada daerah yang berstatus kejadian luar biasa (KLB).
Bila pemerintah tidaklah serius dalam hal menanggapi kasus DBD yang semakin mengancam ini ,kemungkinan besar Indonesia akan kembali mempertahankan jumlah penderita DBD Terbanyak di ASEAN.
Potensi penularan dapat terjadi karena mobilitas penduduk. Maka dari itu kesadaran Indonesia untuk membasmi DBD dengan cara bekerja sama dengan Negara lain terjadi melalui penandatanganan DBD.

Setahun sudah penandatanganan ADD tersebut, apakah komitmen untuk mengentaskan DBD telah tercipta?

Medan Juara DBD di Sumut

Bila di ASEAN, Indonesia menjadi juaranya, kini di Sumatera Utara, Medan menjadi peraih prestasi tertiinggi. Perbandingan penderita DBD di Kota Medan dengan kota-kota lain adalah 500:100. Angka 500 adalah adalah angka yang tinggi dengan tingkat kematian mencapai 87 orang.

Inilah keanehan bangsa ini, kasus DBD yang sempat menjadi kasus luar biasa (KLB), kenapa hanya ditonton saja? Dan sudah maksimalkah upaya dari Depatermen Kesehatan?

Besar kemungkinan penyuluhan yang dilaksanakan hanya sekedar program atau ceremony untuk menyelesaikan program. Korban ceremony yang tidak berbobot siapa? Masyarakat!
Jangan hanya kampanye slogan saja, apa hanya dengan kampanye iklan 3M (menutup, mengubur, menguras) maka penurunan terjadi. Apa arti penurunan data bila faktanya dilapangan masih banyak warga yang tewas akibat DBD.

Berdasarkan data yang dihimpun tahun 2010 dari Dinas Kesehatan Sumut warga yang paling banyak menderita DBD adalah Kota Medan dengan jumlah 580 penderita, lalu menyusul Pematang Siantar 197 orang dan Deli Serdang 169 orang.

Bila kita melihat jumlah tersebut, angka di atas sangat drastis dan tak dapat dipungkiri Medan dikatakan sebagai jawaran DBD di Sumut. Namun, apa juara kebobrokkan in akan terus dipertahankan?

Kita bisa melihat masih banyak nyawa yang direnggut akibat DBD. Pada tahun 2010, yang meninggal akibat DBD 87 orang, dan pada tahun 2011 ada 56 penderita meninggal dunia akibat DBD. Berdasarkan data, dari media cetak maupun elektronik yang bersumber dari dinas kesehatan setempat. Sejauh masih ada penderita DBD yang meninggal dunia, maka yang perlu dipertanyakan adalah bagaimanakah penyuluhan yang diberikan oleh dinas kesehatan.
Salah satu tradisi buruk yang di pelihara bangsa ini adalah ketika menghadapi satu permasalahan itu bukan dengan mempersiapkan diri untuk mencegah kemungkinan muncul maslah tersebut,melainkan menunggu terjadi barulah mengambil tindakan untuk pencegahan.Ironisnya tradisi seperti ini malah menginfeksi sestem penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) dengan 3M Plus,lihatlah kalau ada suatu kasus barulah ramai-ramai mengkampanyekan 3M Plus itupun kalau demam berdarah dengue sudah menelan korban.

Apakah penyuluhan hanya sekedar 3M (menguras, menutup, menimbun). Bila ini masih dilakukan maka wajar saja bila DBD masih menjalar di Kota Medan. Dan slogan 3M ini telah menjadi slogan dinas kesehatan sejak tahun 80-an.
Anehnya Demam Berdarah Dengue (DBD) sudah banyak diketahui oleh petugas kesehatan dan bahkan masyarakat awam, namun kejadian luar biasa (KLB) masih sering terjadi. Hemat penulis kejadian luar biasa (KLB) ini terjadi dikarenakan pemahaman tentang DBD dan cara pengendalian serta antisipasi pencegahannya masih sebatas retorika dan seremonial belaka.
Walaupun telah terjadinya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari model medical yang menitik beratkan pelayanan pada diagnosis dan pengobatan penyakit ke model sehat yang lebih holistik serta merupakan cara pandang atau pola pikir yang mengutamakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (aspek promotif) serta pencegahan penyakit (aspek preventif) tidak membawa angin segar bagi penangan DBD di tanah air,malah semuanya hanya sebatas pergeseran paradigma bukan diringi dengan tindakan.
Pergeseran paradigma dalam pelayanan kesehatan terjadi. Peranan petugas kesehatan terutama pada bidang promosi kesehatan dan tindakan pencegahan (preventif) lebih proaktif turun ke masyarakat secara terus menerus memberikan contoh dan meningakatkan pemahaman serta membagun rasa kepedulian masyarakat,agar masyarakat lebih mandiri dan turut aktif melakukan tindakan pencegahan.sehingga demam berdarah dengue (DBD) tidak menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa ini,otomatis pula Indonesia tak perlu lagi menjadi negara yang menghuni klasmen puncak penderita demam berdarah dengue (DBD) di ASEAN.

Naskah ini pernah diterbitkan oleh Harian Analisa.

Bangkai Pluralisme di Aceh


Matahari menyengat tajam menerawang jauh ke tanah Aceh. Aroma ketakutan semakin akrab. Selasa pagi, ibu-ibu melantunkan doa dan kidung pujian kepada Sang Pencipta. Tetap pada awal bulan di Hari Selasa, 1 Mei 2012. Aceh Singkil dipenuhi teriakan.

Lantun tangisan para ibu hanya menjadi tontonan. Menangis sampai suara serak. Pakaian yang mereka kenakan basah, bercampur antar keringat dan air mata. Jumlah ibu-ibu itu berkisar 60 orang.

 “Tuhan… Tolong kami... Tolong… Jangan tutup gereja kami,” jerit para wanita yang berada di halaman Gereja Kristen Protestan Pak-pak Dairi (GKPPD) Siatas. Jeritan itu semakin menjadi-jadi saat penyegelan dilakukan.

Tampak juga beberapa ibu, menangis sesak menahan beban di dada. Aksi penyegelan dilakukan oleh rombongan MUSPIDA, MUSPIKA berserta FPI Aceh Singkil dan Satpol PP. Jeritan para wanita menghiasi penyegelan gereja.

“Jangan… Kami mau beribadah dimana???” jerit wanita yang rambutnya memutih sambil menepuk-nepuk dadanya.

Tak lama kemudian sangkin histerisnya, ada seorang ibu yang tersungkur jatuh di atas tanah dengan kondisi menengadah ke langit seolah meminta keadilan. Ibu yang tersungkur di atas tanah itu digotong perlahan oleh ibu-ibu sambil menahan tangis yang tak terbendung saat menyaksikan rumah ibadahnya disegel.

Tak tanggung-tanggung, aksi penyegelan itu bukan hanya terjadi di satu gereja. Lima gereja yang berdiri tegak berhasil dikeringkan oleh tim MUSPIDA, MUSPIKA berserta FPI Aceh Singkil dan Satpol PP. Hal yang serupa terjadi pada empat gereja berikutnya. umat Kristiani yang menyaksikan rumah ibadah hanya dapat berdiam menahan sesak bercampur ketakutan.

Perlawanan fisik yang kuat tak ada dilakukan oleh umat Kristiani saat menyaksikan di depan mata sendiri, gereja tempat berbicara dengan Sang Pencipta disegel. Mereka hanya bisa menjerik dan berteriak dan mencari dimana keadilan.

Adapun lima gereja yang disegel pada Selasa, 1 Mei 2012 adalah GPPD Biskam di Nagapaluh, Gereja Katolik di Napagaluh, Gereja Katolik di Lae Mbalno, JKI Sikoran di Sigarap dan GKPPD Siatas.

Setelah FPI bersama MUSPIDA, MUSPIKA beserta  Satpol PP merasa berhasil menyegel empat gereja pada 1 Mei maka mereka beraksi pada Kamis, 3 Mei 2012 dan berhasil menyegel 11 rumah ibadah yakni GKPPD Kuta Tinggi, GKPPD Tuhtuhen, GKPPD Sanggabru, JKI Kuta Karangan, HKI Gunung Meriah, Gereja Katolik Gunung Meriah, GKPPD Mandumpang, GMII Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, GKPPD Siompin dan rumah ibadah Pambe – agama lokal/ aliran kepercayaan.

Oknum yang mengatas namakan agama Islam ini masih tidak merasa puas walau telah menyegel 16 rumah ibadah. Mereka kembali ke GKPPD Siatas yang telah disegel pada tanggal 1 Mei, mereka datang untuk memrobohkan pagar gereja. Mereka menghancurkan Rumah Tuhan, layaknya manusia yang tak mengenal Tuhan.

Kini 10 ribu umat Kristiani mencoba mengobati luka ketakutan. Luka itu tercipta karena tidak tegasnya pemerintah terhadap peraturan yang ditegakan. Saat oknum yang mengatas namakan agama mayoritas mengancam kaum minoritas, pemerintah malah menuruti perkataan tersebut. Pemerintah ini, ibarat lebih takut dengan okum yang mengatas namakan agama dari pada Undang-undang  yang jelas keberadaannya.

Akibat penutupan yang dialami gereja, maka umat Kristiani mengalami kesulitan untuk beribadah. Merasa terancam. Trauma akibat penyegelan masih melekat tajam dalam pikiran. Sepuluh ribu umat Kristiani merasa takut untuk beribadah dan melaksanakan ibadah setiap minggu. Ketiadaan gereja yang dapat dihuni bersama ibadah mingguan menjadi kendala utama ditambah dengan ancaman akan perobohan gereja.

Selain gerbang gereja digembok, tembok gereja juga ditempeli pamflet yang berbunyi bahwa dalam 3 x 24 jam, pemerintah kabupaten harus membongkar bangunan gereja tersebut. Pamflet yang ditempel pada dinding adalah ancaman yang berasal dari pemerintah sendiri.

Kini umat Kristiani melaksanakan ibadah mingguan dengan sembunyi-sembunyi. Seakan Negara Indonesia bukanlah negara beragama yang membiarkan warga Negara dengan bebas warga negaranya memeluk agama yang diyakini tanpa adanya paksaan dan ancaman dalam melaksanakan ibadahnya. Namun kesulitan dan ketakutan untuk beribadah kini ada.

Tepat hari Minggu, usai penyegelan, Minggu 6 Mei 2012, Gereja Katolik Napagaluh melakukan Kebaktian Minggu di halaman rumah seorang Majelis Gereja (Vorhanger) dan GMII Mandumpang melaksanakan Kebaktian Minggu di halaman Taman Kanak-kanak (TK) Tunas Harapan Bangsa karena ketakutan terhadap penyegelan Tim Monitoring pemerintah.

Sedangkan umat Kristiani lainnya, terkurung dalam ketakutan dan lebih memilih untuk tidak beribadah karena tidak adanya jaminan keselamatan dari ancaman.

Peraturan yang Melanggar
Gerombolan yang melakukan penyegelan tersebut menggunakan dalih Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tentang Rumah Ibadah yang tertera dalam; Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil Nomor 2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara komunitas Islam dan Kristen dari tiga kecamatan di Aceh Singkil (Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Gunung Meriah, dan Kecamatan Danau Paris) yang diteken pada 11 Oktober 2001.
Surat perjanjian itulah kini menjadi pemantik penyegelan gereja. Dalam surat tersebut disepakati bahwa komunitas Kristen hanya boleh mendirikan satu gereja dan empat undung-undung (kapel atau tempat doa) di Aceh Singkil.

Pembatasan jumlah gereja dan penyegelan yang terjadi serta ancaman pembongkaran gereja mengakibatkan Umat Kristen dan agama minoritas lainnya merasa tertekan dan terancam. Kondisi ini membuat hak masyarakat atas jaminan kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan tidak terpenuhi bahkan dirampas oleh pengambil kebijakan. Hal ini bertentangan dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia UUD 1945 khususnya Pasal 28 dan 29 dan melanggar UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 4 dan 22.

Bila pemerintah daerah berpatokan pada perjanjian sebelumnya yakni perjanjian yang dibuat pada tahun 1979 lalu diperkuat dalam Pernyataan Bersama Umat Islam dan Kristen tahun 2001yang mengharuskan umat Kristen hanya bebas mendirikan satu gereja dan empat undung-undung (rumah ibadah kecil sejenis mushola pada umat Islam).

Perjanjian tersebut selain diskriminatif, intoleransi dan bertentangan dengan konstitusi dan HAM karena dalam implementasinya ternyata selain membatasi pendirian gereja, juga adanya  pelarangan kunjungan rohaniawan Kristen (pastor/pendeta) ke wilayah Aceh Singkil untuk melaksanakan tugasnya.

Pemerintah seharusnya tidak bisa didikte atau dikendalikan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang anti toleransi dan HAM.  Penyegelan rumah ibadah di Aceh Singkil terbukti melanggar keamanan publik, ketertiban publik, kesehatan  publik, moral publik, dan hak-hak dan kebebasan mendasar orang lainnya sebagaimana telah diatur di dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 hasil Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik terutama pasal 18 ayat (3).

Kasus penyegelan gereja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Menteri Agama harus turun tangan. Bila ini terus dibiarkan, maka akan muncul fenomena dimana kelompok minoritas merasa tidak aman dalam beribadah. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan konstitusi yang secara jelas melindungi hak warga untuk beribadah. Jika ini dibiarkan maka ungkapan pluralisme hanya tinggal bangkai bagi Aceh.

Dan sampai tulisan ini diterbitkan, gembok-gembok yang digunakan untuk menyegel masih tancap dan melekat kuat pada gerbang dan pintu-pintu gereja.

Ngerinya Negri Indopahit...


Ini adalah tulisan yang penulis buat ketika merasakan radikal mulai mengalir di Sumatera Utara. Yah…kita katakan saja perbedaan agama yang mulai mayoritas dan minoritas itu mulai menjadi-jadi di Sumatera Utara (Sumut), apalagi di Kota Medan.
Sadar tidak sadar, bahwa sebelumnya karena keakraban, kasih dan hidup dalam perbedaan yang harmonis, Sumut dikatakan sebagai “miniatur Indonesia”.

Tapi kini? Keharmonisan heterogen itu mulai pudar. Jangan katakan racun yang berada di Pulau Jawa yang setiap harinya kita lihat di media cetak dan televisi selalu saja menyorot nasib siminor atas ulah simayor. Jangan katakan virus itu sudah sampai ke Provinsi Sumatera Utara ini.

Walaupun, dikatakan kita harus menjaga keberagaman, menghormati hak-hak agama lain, tapi detik ini itu tinggal kata. Jangan menutup mata bung, intoleransi beragama terjadi untuk ke sekian kali di provinsi “miniatur Indonesia” ini.

Terbukti dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Aktivitas keagaamaan Konghucu ditolak oleh segelintir orang yang mengatas namakan agama mayoritas.
Protes terhadap batalnya Kongres Internasional Agama Konghucu di Medan yang seharusnya digelar pada 22-26 Juni 2012, sudah sampai ke seluruh penjuru dunia dan semakin membuktikan kalau Indonesia memang tidak toleran.
Ada beberapa alasan yang dilontarkan. Oknum yang mengatas namakan agama Islam mengatakan bahwa acara itu tidak layak digelar di Medan karena penganut agama Kongkucu sangat sedikit. Tentu alasan ini tidak berpijak pada hukum. Sekecil apapun jumlahnya, mereka harus mendapatkan hak yang sama di mata hukum
Sebelumnya, di Tanjung Balai, protes terhadap rumah ibadah pernah terjadi pada Vihara Tri Ratna. Saat itu umat Buddha di Tanjung Balai mengalami ketakutan karena protes yang dilakukan segelintir masyarakat yang mengatas namakan agama. Bukan hanya itu, pimpinan tertinggi Vihara Tri Ratna dipaksa untuk menandatangani surat kesepakatan untuk tidak meletakkan patung pada tempat paling tinggi. Padahal, sebelumnya, pembangunan dan pemugaran vihara tersebut didukung oleh masyarakat setempat yang mayoritas muslim.
Segelintir orang itu mengatas namakan nilai-nilai kemusliman dan Melayu yang berada di Tanjung Balai pudar akibat vihara tersebut. padahal sebelumnya sejak tahun 1970-an vihara itu telah berdiri di Tanjung Balai. Konflik tersebut telah terjadi sejak dua tahun lalu. Pembiaran akan konflik itu kerap terjadi. Tak ada satu pasal pun yang dilanggar. Tak ada pelanggaran hokum. Dimana aparat keamanan?
Peristiwa di Tanjung Balai ini hampir sama dengan Kongres Internasional Konghucu, dengan alasan mengesampingkan kearifan local, menghilangkan nilai agama mayoritas. Ini adalah alasan yang aneh yang sangat melompat dari logika dan nalar berpikir saya. Apakah agama juga produk lokal?
Dimana Aparat Keamanan?
Ketika ancaman, tekanan dilakukan oleh segelintir orang terhadap masyarakat untuk menjalankan kegiatan keagamaannya, dimana aparat keamanan kita? Penulis yakin mereka tidur, tapi kenapa pembiaran kerap terjadi. Bukan hanya pembiaran, bahkan lebih parahnya lagi, mereka lebih mendukung pihak yang melakukan penekanan.
Inilah hukum Indonesia. Setiap pihak manapun berhak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Perlindungan jangan hanya diberikan kepada pihak yang lebih banyak massanya. Telah tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 dan 29 bahwa negara menjamin setiap warga negara untuk bebas berserikat dan menjalankan agamanya. Keberadaan polisi perlu dipertanyakan!
Padahal Konghucu adalah satu dari enam agama yang diakui Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No 6 Tahun 2000. Dengan adanya pembatal, ketika salah satu agama dilarang melakukan kegiatan agamanya oleh elemen tertentu, artinya negara telah gagal menjalankan tanggung jawabnya.

Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Moh. Hatta mengucapkan “Lakum Dinukum waliyadin yang artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku, maka umat Islam harus menghormati dan melindungi agama apa pun.” Menurutnya dalam Islam tegas dan jelas dijelaskan tentang kerukunan umat beragama.

Namun, keberadaan kelompok yang mengatas namakan agama Islam semakin bertambah, bak jamur di musim hujan. Lahirnya kelompok-kelompok radikal yang terus saja menekan minoritas dan juga melakukan penekanan terhadap aparat keamanan, yang sudah teruji nyata bahwa radikalisme yang lebih diutamakan daripada orang-orang yang lebih terancam keselamatannya.

Apapun alasannya, dunia sudah menyoroti Indonesia sebagai negara yang sangat mudah dihina dan dilecehkan sekaligus sebagai negara yang tidak toleran. Laporan Indonesia terhadap dewan HAM PBB tidak perlu lagi dibantah, karena kejadian yang satu ini mengamini laporan tersebut. Mau bagaimana lagi?
Dan yang paling disayangkan bahwa negara tidak boleh turut campur dalam agama yang diemban oleh masing-masing warga negara. Kini Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang perizinan mendirikan rumah ibadah sudah ada di hadapan kita. Ini bukti peraturan yang melanggar konstitusional. Kendati Peraturan ini tidak sesuai dengan Seputar Ijin Mendirikan Rumah Ibadah prinsip-prinsip HAM, terutama kebebasan beribadah, kita berharap peraturan ini bisa membantu masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini menjalankan ibadahnya dengan baik. Kita tidak berharap Peraturan ini digunakan justru untuk menghalangi atau membatasi orang untuk beribadah. Kalau ternyata PBM ini lebih melancarkan pembangunan gedung-gedung ibadah sebagai wujud kerukunan otentik di antara warga, maka ia telah menjadi berkat bagi negeri ini. Kalau sebaliknya, maka PBM ini mesti ditinjau kembali, bahkan dicabut.

Beragam sikap dalam menyikapi terbitnya peraturan ini. Pun gereja-gereja dalam lingkungan PGI. Salah satu kekuatiran yang mengemuka adalah kemungkinan digunakannya Peraturan ini sebagai instrumen baru untuk menghalangi penggunaan rumah, ruko dan bangunan lain sebagai tempat beribadah sementara. Hal serupa telah menjadi pengalaman di berbagai tempat dalam penerapan SKB nomor 1/1969. Oleh karenanya berkembang wacana di kalangan berbagai pihak yang hendak mengadakan judicial review, class action, unjuk rasa, bahkan pembangkangan sipil. Semua ini tentu harus dihargai.

Kiranya permasalahan di seputar pendirian rumah ibadah sejak diterbitkannya SKB nomor 1/1969 hingga dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomo 8/2006 dan 9/2006. Dengan sengaja draft pertama serta proses perkembangan draft tersebut disertakan dalam buklet ini. Kiranya bisa menjadi pembelajaran bersama bagi semua.

Land Conflict to be Let-Up

Sumatera, Indonesia
Until the latest 2012, a number of land conflicts are getting and it has apparently not got the government’s attentions of Indonesia. In 2011, Agrarian Consortium found 69.975 spouses were in such conflict in Indonesia. They were disputing for the 476.048 hectare land.

This sort of conflict between the local residents, the stakeholders, and consensual agreement is creating insecure circumstances in Rawa Tripa, one of suburbs in Aceh. The countryside is now in rapid descent caused by the fast growing palm plantations in Nagan Raya and . The area is being managed by the stakeholders of the plantations    

The residents of the 7 villages disapprove of the palm plantations that they doubt as illegitimate sabotage on their land. This conflict has been ongoing since 1990 until date.  

The let-up that continuously happens has caused destructions in Rawa Tripa and extinction of conserved animals such as Sumatera Orangutan (Pongo Abelii), Sumatera Tiger (Panthera Tigris Sumantraensis), Bear (Helarctos Malayanus), Swamp Crocodile (Crocodylus Porosus), Python (Sanca), Wau-Wau and Kedih.   

The same conflict has also taken place around Sungai Mencirim, Kutalimbaru sub-district, North Sumatera. At times it provokes the local residents and the private company, PT. Perkebunan Nusantara II. When the conflict took place both sides brought and set a truck on fire. The last conflict occurred in May, 5 burned truck incidents and 17 injured.

This conflict in Kutalimbaru has been ongoing since 1980’s. As a matter of fact, Susilo bambang Yudhoyono declared the land tenure that the land should be taken over by the local residents. But the responsible department has still not shown any significant action.

The worst conflict took place in Mesuji, South Sumatera. The incident cost lives. However, this conflict remains ongoing.

30 people died in the tragedy of Mesuji since 1999. The conflict between the local residents and the stakeholders apparently shows that the government might have to hand over the 10.500 Hectare land on 45th section to the residents of Lampung because it is land of legacy.
 
The 3 companies located on the 45th section are PT. Silva Inhitani that is located on the 45th section, Mesuji-Lampung district, PT. Barat Selatan Makmur Investindo in Desa Sri Tanjung, Lamoung and PT. Sumber Wangi Alam in Desa Sodong, Mesuji, Ogan Komering Ilir.

If this conflict is not solved, there will more people that die in vain. The responsible department should pay more attention to such conflict. Based on the track record of North  Sumatera Police Department there have been 2.833 conflicts in North Sumatera from 2005 – 2011.

The government should not just sit back and watch the conflict. The responsible department should find back up plans at once to settle this kind of conflict that might take place at any time.

If the government keeps coming up with the let-up, this conflict could be a time bomb that explodes at anytime. And it will turn out to be political and social chaos in place. The president should direct all related sectors to settle it.

With the increase of land conflicts, it unexpectedly appears to be human right ignorance. If the government is not following it up, then the nation is guilty for human.


The author is a graduate of State University of Medan

Naskah ini pernah dikirim ke New York Times, daripada tidak diterbitin, mending masukkan ke blog aja deh...

Jumat, 01 Juni 2012

Konser Lady Gaga Batal, Langkah Awal Kekuasaan Radikal?


Konser Lady Gaga batal. Bagaimana reaksi oknum-oknum yang mengancam pembubarkan konser ini? Ketika promotor membatalkan konser ini, maka bagi Front Pembela Islam (FPI) ini adalah angin segar bagi organisasi masyarakat (ormas) ini. Mereka berencana akan menggelar syukuran tepat di tanggal konser Gaga dijadwalkan manggung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), yaitu 3 Juni 2012.
Promotor Lady Gaga membatalkan untuk konser ini menjaga keselamatan Lady Gaga dan untuk menjaga keselamatan penonton. Padahal sebelumnya, manajemen Lady Gaga telah menyetujui penampilan Lady Gaga lebih sopan saat manggung. Seperti yang tertulis dalam Okezone, FPI cabang Bekasi mengaku telah membeli 157 tiket tersebut untuk masuk ke dalam konser Lady Gaga dan membubarkan dari dalam, jika konser tersebut tetap dilaksanakan.

Hukuman apa yang diberikan kepada pihak yang memberikan ancaman? Perlindungan apa yang telah diberikan? Anehnya lagi, Polda Metro juga ikut-ikutan menentang bahwa konser Lady Gaga bertentangan dengan moral dan budaya bangsa Indonesia. Lihatlah! Kini kepolisian pun sudah ikut-ikutan membicarakan moral. Seharusnya polisi menindak tegas oknum-oknum yang melakukan ancaman.

Kini hampir perlahan hampir mandul dengan kebobrokan dan pembiaran yang disengaja. Ini kesekian kalinya Indonesia sengaja meludah ke atas.

Bom Waktu

Setelah konser Lady Gaga dibatalkan oleh oknum radikal yang mengatas namakan agama. Kini ancaman tersebut terjadi di Acehpihak yang mengatas namakan agama ini membuat pemerintah setempat untuk menutup 17 gereja yang berada di Kabupaten Aceh Singkil.

Penyegelan 17 gereja tersebut berhasil dilakukan dengan dalih Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah; Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil No 2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara komunitas Islam dan Kristen dari tiga kecamatan di Aceh Singkil pada 11 Oktober 2001.

Kini lebih dari 1500 keluarga berada di Kabupaten Aceh Singkil dirundung ketakutan. Penyegelan terhadap gereja mereka membuat ibu-ibu setempat histeris. Tangis ketakutan membumi. Bahkan ada ibu yang pingsan saat penyegelan gereja mereka dilakukan. 

Bukan hanya di Aceh, hal tersebut terjadi. Radikal kini telah mengepakkan sayapnya ke Riau, tepatnya di Kabupaten Taluk Kuantan tahun 2011. Tiga gereja berhasil dibakar sampai rata dengan tanah. Polda kini hanya mengubur kasus pembakaran ketiga gereja tersebut dan menutup kasus tersebut. Warga Taluk Kuantan mengesalkan tindakan polisi yang menutup kasus tersebut.

Radikal yang mengatas namakan agama juga masih mengancam HKBP Fildelfia Bekasi. Sampai kini tidak adanya kebijaksaan pemerintah untuk menegakkan kebenaran. Hukum dipermainkan. Bahkan jemaat HKBP Filadelfia tidak diperbolehkan untuk melaksanakan kebaktian. Istri pendeta juga dilempar dengan telur. Kemarin (27/5), Jemaat HKBP Filadelfia Bekasi terpaksa membubarkan diri karena puluhan masyarakat intoleransi mengepung mereka.

Minggu lalu, massa intoleran menghadang dengan melempar telur busuk, air comberan dan sempat ada aksi dorong-dorongan. Penyegelan HKBP Filadelfia Desa Jejalenjaya, Tambun, Bekasi sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Pemerintah setempat menganggap izin pembangunan gereja ilegal. Namun Mahkamah Agung memutuskan pembangunan izin gereja sah.

Pemerintah mencoreng nama bangsa sendiri. Pemerintah tidak buta. Pemerintah bisa melihat kekejaman ini pada media cetak, elektronik maupun pada media online. Namun, pembiaran masih tetap saja dilakukan pemerintah.

Bila bicara tentang tindak tanduk kebobrokan bangsa Indonesia, masih ingat peristiwa Cikeusik? Peristiwa ini telah merenggut nyawa orang Ahmadiyah. Pelaku yang dengan bar-bar menghakimi nyawa orang sampai tewas, hanya divonis hukuman paling tinggi 6 bulan penjara dan terendah 3 bulan penjara. Layak untuk orang-orang yang menghabisi nyawa orang lain?

Dalam diskusi buku Irshad Manji kelompok radikal ini berhasil membubarkan acara ini dengan paksa, memporak-porandakan tempat tersebut, memecahkan kaca jendela bahkan kelompok radikal itu memukul peserta diskusi. Setelah sipembuat kekacauan beraksi, seperti film-film India yang sering diputar di layar televisi Indonesia, setelah pelaku pergi lalu polisi datang.

Penindasan dan tindak kekerasan harus segera dihentikan dengan mebubarkan kelompok-kelompok radikal ini. Batalnya konser Lady Gaga adalah kebanggaan dan keberhasilan dari ancaman yang disampaikan oleh kelompok tersebut. Dan kelompok tersebut berhasil menakut-nakuti bangsa Indonesia.

Bila dibiarkan, maka kelompok ini akan melakukan aksi otoriternya dengan paham yang mereka pertahankan tanpa memikirkan korban yang berjatuhan. Pemerintah harus lebih tegas untuk memberikan hukuman kepada pihak-pihak yang berniat melakukan ancaman. Jangan biarkan orang-orang bersifat bar-bar mencoreng nama bangsa Indonesia.

Kini dukungan gugatan hukum kepada kepolisian meningkat dua kali lipat dalam dua minggu terakhir. Gugatan dilatarbelakangi karena polisi membiarkan organisasi radikal terus melakukan kekerasan. Bila terus dibiarkan maka pembiaran ini akan menciptakan bom waktu!***

Penulis aktivis Komunitas Perempuan Independent (Koper Indie)
Opini - Rabu, 30 Mei 2012 00:03 WIB
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Analisa, Opini - Rabu, 30 Mei 2012 00:03 WIB