Jumat, 30 Maret 2012

Tikus, Ayam, Kambing, dan Sapi



Di suatu tempat daerah pertanian di Australia. Hiduplah tikus, ayam, kambing dan sapi. Mereka bersahabat. Dan sesekali bermain bersama di pekarangan rumah sang petani. Namun, saat siang sang tikus melihat ibu petani membawa perangkap tikus dan membawa alat penangkap tikus tersebut ke dalam rumah.

“Waduh... Itu alat perangkap tikus, bisa mati aku terperangkap!” batin tikus saat melihat perangkap tikus yang terbuat dari besi itu.

Lalu tikus ingat bahwa ia masih punya sahabat yang tadi pagi ia lihat di pekarangan. Tikus mendatangi sahabatnya, menceritakan kesusahan yang ia rasakan. Tikus mendatangi induk ayam yang sedang asyik mengais tanah, mematok jagung yang berserak di rumput.

“Tolong... tolong... Induk ayam, tolong saya. Tadi saya melihat istri petani itu membawa perangkap tikus dan itu sangat berbahaya bagi saya!” seru tikus.

“Kok... kok... Apa hubungannya dengan saya kok... itukan tidak berbahaya bagi saya. Itukan hanya berbahaya bagi kamu,” jawab ayam cuek sambil mengais tanah.

Tikus hanya terdiam melihat sahabat yang sering ia ajak bermain tidak memperdulikannya bahwa ia dalam keadaan bahaya sekarang. Namun, saat ayam tidak memperdulikan derita tikus, tikus pun bergegas menemui kambing yang berdiri di dekat pohon besar.

“Kambing... Tolong saya kambing... Saya takut. Sekarang saya dalam bahaya,” teriak tikus sambil berlari menemui kambing.

Kambing spontan terkejut mendengar dan melihat tikus yang berlari dari jauh. “Mmbek... Ada apa?”

“Tadi saya baru saja melihat istri petani itu membawa perangkap tikus masuk ke rumah. Tolong saya kambing. Alat penangkap tikus itu sangat dapat membunuh saya.”

“Oh..mbek... It is not my problem! Mbek.. Alat itukan hanya dapat membunuh kamu, tidak berdampak pada saya.”

Tikus bersedih melihat kambing, sahabatnya sendiri  tidak peduli akan nyawa sahabatnya. Perlahan dengan wajah murung, gelisah dan membayangkan kematian berada di depan mata, sang tikus tak putus asa untuk meminta pertolongan pada sahabatnya yang terakhir. Sapi.

Sapi hanya duduk santai sambil memamabiak rumput yang berada di mulutnya. Tikus menapaki langkahnya perlahan, dengan wajah tertunduk dan ia kini berharap pada sapi. Ia menemui sapi dan duduk tepat di depan sapi yang sedang berbaring di rumput hijau.

“Wahai sapi yang baik... Saya dalam kesulitan. Nyawa saya dalam bahaya. Istri petani baru saja membawa perangkap tikus untuk membunuh saya. Saya takut sapi. Tolong saya...”

“Moo... Kamu dalam bahaya ya? Perangkap tikus itu hanya dapat membunuhmu, bukan membunuhku. Tak ada urusannya denganku... moo...”

Malam harinya. Seperti biasa, tikus selalu beristirahat di dalam rumah pak petani dan dalam gelap ia berlari-lari untuk mencari makan. Tiba-tiba saja... Istri petani itu keluar dari kamar dan berjalan walau keadaan ruang tamu gelap.

Sssttt...sstt...pergelangan kaki istri petani tiba-tiba saja dipatok oleh ular yang masuk ke rumah mereka. Tak lama kemudian, petani menemukan istrinya telah terkapar di dekat kursi kayu yang berada dekat jendela. Pria itu menggendong istrinya masuk ke kamar dan mengikat pergelangan kaki istrinya. Wanita yang ia cintai tak juga siuman. Hari hampir subuh. Ia mencari obat maupun makanan yang dapat membuat wanita itu siuman kembali.

Ia ingat akan resep yang diberikan oleh orangtuanya saat ia sakit. Sup ayam. Subuh, petani membuka pintu kandang ayam dan mengambil ayam dari kandang. Lalu ia meramu sup ayam untuk menyembuhkan istrinya.
Hari demi hari, keadaan istrinya juga tak kunjung sembuh. Hari demi hari, tetangga dan saudara berdatangan untuk menjenguk wanita yang terbaring di tempat tidur. Petani kebingungan, apa yang dapat ia lakukan untuk memberi makan puluhan orang yang datang slih berganti.

Ia teringat akan kambingnya. Kambing tersebut ia korbankan untuk memberi makan puluhan orang yang datang silih berganti menjenguk istrinya. Seminggu kemudian, rumah petani tersebut dipenuhi dengan karangan bunga yang bertuliskan “Turut Berdukacita”. Karangan bunga tersebut memenuhi pekarangan rumah petani dan saat istrinya meninggal, ia memutuskan untuk memotong sapi dalam acara pemakaman istrinya.

Bila ada siapapun yang meminta pertolonganmu. Siapapun itu, sekalipun ia orang kecil, jangan pernah katakan bahwa, "permasalahanmu adalah permasalahanmu, bukan urusanku dan tidak akan berdampak pada hidupku. Maka karena ayam, kambing dan sapi tidak menolong tikus dari kesusahan, mereka pun turut direnggut maut."

Novita Sari Simamora

Cerita ini saya dengar dari Ajahn Brahm saat mengikuti ceramah dharma, bazaar buku dan peluncuran buku dari Ehipassiko Foundation, Selasa, 27 Maret 2012 dari pukul 18.30 - 22.00 WIB. Selecta Royal Ballroom lt 5 & 6.

Minggu, 11 Maret 2012

Wanita Berharga…


Bandar Setia,

Bapakku tadi rencananya mau menggunakan sepeda motor matic yang sering aku gunakan untuk pergi merantau selama setengah jam ke lokasi yang dekat dengan rumah. Namun saat aku dapur sedang mengopek udang dengan mamakku, tiba-tiba saja berteriak dan bernyanyi, ”Apa ini kenapa gak ada minyaknnya Nov! Udah sampai ke garis merah “E” pula lagi! Ini matic kalau udah mati, matilah kau!”

Lebih baik tak menjawab dan diam, kan memang sengaja aku kosongkan, karena kalau tangki bensin berisi, pasti ada aja jalan agar sepeda motor yang kusapa dengan Satria Baja Hitam pergi dari rumah.

Aku di dapur bersama mamakku mengopek udang yang tadi sore di beli mereka di daerah Lau Dendang. Setiap sorenya penjual ikan yang juga berprofesi sebagai nelayan kecil sering menjajakan ikan di pinggir jalan Lau Dendang.

Usai mengopek ikan, aku mencuci tangan dengan sabun, beranjak menuju kamar dan mengambil uang Rp. 5 ribu. Aku bersama Satria Baja Hitamku menuju warung Nainggolan, keluar dari kompleks perumahan. Warung itu hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumahku.

Usai membeli bensin, aku melihat wanita berambut lurus hitam sedang memeluk dan berbisik pada pria di atas sepeda motor yang hamper menurunkannya di pokok nangka. Konon, katanya pokok nangka itu ada yang punya loh…

Satria Baja Hitam dan aku sempat mendahului sepasang anak manusia itu. Lalu aku berjalan perlahan. Perlahan. Di depanku hanya ada sepeda ontel yang di kayuh oleh uwak yang mengenakan kemeja coklat bergaris vertikal. Dan akhirnya sepeda motor yang dibelakangku tadi mendahuluiku.

Aku mengenal wanita itu!

Dan aku tidak bergosip ya, ingat aku hanya ingin tahu saja. Pria yang membonceng wanita itu juga sempat memperlambat motornya dan menurunkan wanita yang ia bonceng tepat di depan rumahku. Ah…untunglah cirri-ciri dia tidak sama dengan cir fisikku. Dia berambut hitam terurai, berkulit putih dan tidak setinggiku. Kalau ciri-ciriku kalian pasti tahu dong…

Dalam hitungan detik sepasang anak manusia itu bernegosiasi dan melaju kembali. Pria berkemeja lengan pendek itu tak menurunkan wanita itu di depan rumahku. Untung aku yang lihat, jadi gosipnya tidak meleber. Tapi coba adikku melihat, pasti dia akan bercerita panjang kali lebar sama Mamakku dan ujung-ujungnya pasti merembet ke aku, selalu anak perempuan paling besar di rumah.

“Padahal rumah dia tidak jauh dari rumahku, namun kenapa ceweknya diturunkan di simpang-simpang jalan ya? Kalau laki-laki itu belum berani jumpai orang tua pacarnya, kenapa dia pacaran? Masa wanita diturunkan di pinggir jalan! Ah.. Tidak beres kali,” ucap benak sembari berteriak wanita adalah makhluk yang berharga.

Sampai di rumah, aku kembali mendengar celoteh bapakku. Ku akui dia orang yang gampang mengoceh, dia agak sedikit jabir daripada mamakku. Namun dia itu bapak yang luar biasa, tapi kali ini dia biasa ajalah,karena repetannya membuat aku pengen merepet balik.

Tapi, kalau bapakku pulang kerja, dia sering mengklakson dengan mulutnya.