Minggu, 28 Oktober 2012

My Internasional Flight

Airportnya penuh dengan orang lalu lalang. Kebanyakkan orang-orang yang berada di sekitar saya lebih tinggi daripada saya, berkulit putih dan cap-cus berbicara bahasa Inggris. Saat saya turun dari pesawat, langsung menuju ada karpet biru, sebelah kanan dan kiri kaca, pada ujung jalan ada pengawas perempuan berambut pirang, sambil memegang handytalk (HT) sembari mengarahkan penumpang menuju jalan lain.

Penumpang yang turun dari pesawat berjalan dengan sangat cepat, langkah yang lincah. Tak ada seorang pun yang memegang handphone sambil jalan, bila pun ada maka orang itu menghentikan jalannya lalu menyingkir dari tengah, berbeda sekali dengan di Indonesia yang sudah membiasakan diri berjalan sambil memegang handphone dengan langkah yang cenderung santai.

Saat saya mulai mengikuti langkah cepat mereka, saya tetap saya didahului (mungkin karena kaki saya tak sepanjang mereka) padahal orang-orang yang mendahului berjalan membawa ransel yang lebih besar, dengan koper di tangan kiri. Sontak saya sempat berhenti sejenak menikmati atmosfer airport. Baik pria, wanita serta anak-anak berjalan lincah hilir mudik kurang memperhatikan kiri kanan, tatapan ke depan mencari claim bag.

Senin, 22 Oktober 2012

Esmeralda Santiago di Taman Budaya Medan



Taman Budaya Medan yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Medan Timur dikunjungi oleh Konsulat Amerika Kathryn Crockart mengundang Esmeralda Santiago.  Ruangan yang berukuran kurang lebih 10x 15 meter menyambut kehadiran dua wanita yang aktif berbahasa Inggris.

Akomodasi dalam diskusi ini sangat sederhana, ada enam kipas angin dilangit-langit ruangan, namun hanya empat saja yang berputar. Saya tidak tahu kapan terakhir kipas angin tersebut dibersihkan. Saya melihat debu pada baling-baling kipas sangat tebal. Baling-baling kipas yang berwarna biru telah berubah warna menjadi warna coklat, begitu juga dengan jeruji bulat tersebut. Warna putih sudah menjelma menjadi warna coklat juga.

Kamis, 04 Oktober 2012

Papuan Prisoner of Conscience Filep Karma in Jakarta for Medical Treatment


Press Release

Jakarta, Indonesia [28 September 2012].

Filep Karma, apolitical prisoner of conscience from Papua, has attended a two-week medical treatment in Jakarta hospital and has returned to Abepura prison in West Papua on Wednesday evening. He arrived in Jakarta on September 14 and took a colonoscopy treatment in PGI Cikini hospital, Jakarta.

Indonesian physicians in Jayapura, who earlier examined Karma with simple equipment, suspected that he has a colon tumor.As it is not possible to conduct a colonoscopy in West Papua the physicians referred him to the hospital in Jakarta.

Karma was imprisoned in 2004 and is serving 15 years in prison for participating in a peaceful independence demonstration and for raising the Morning Star flag, an important Papuan symbol of independence. The UN Working Group on Arbitrary Detention declared him a political prisoner in September 2011, asking the Indonesian government to immediately and unconditionally release Karma. The government, however, denies the existence of “political prisoners” in Indonesia. His injuries were sustained from acts of torture inflicted on him while in prison. He also injured his hip during a falling 2006.


It took nearly six months for Karma to be able to be transferred to Jakarta despite this referral. Abepura prison officials, under the Ministry of Law and Human Rights, have refused to cover cost of his medical treatment and travel. The Indonesian government’s refusal to cover his costs is in direct contravention of national and international law. According to United Nations Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment (Principle 24), and Indonesian law (Regulation No. 32/1999 on Terms and Procedures on the Implementation of Prisoners' Rights in Prisons) it is required that all medical costs for treatment of a prisoner at a hospital be borne by the State.

Despite the Abepura prison authorities recently giving permission for Mr. Karma to travel to Jakarta, they still refuse to cover the cost of his medical treatment and travel. Funds have been raised through donations from the Prisoners of Conscience Appeal Fund (London), Rev. Socratez Yoman’s church service (Timika), STT Walter Post (Jayapura) and many individuals.

Arya Adikku Sayang….



 Rembulan begitu terang malam itu. Bulat sempurna. Kuning bercahaya, dari tempatku berpijak saat ini tampak seperti ada benua di bulan yang terang itu. Rumah tempatku tinggal menghadap ke Selatan, untuk menikmati cahaya itu aku menghadap ke Timur. Menggagkat kedua tangan tinggi lalu merenggangkan tubuh terkhususnya tulang punggung.

Senyum terindah pada Dewi Bulan sebelumku masuk ke dalam rumah. Dari daun pintu aku sudah dapat melihat adikku, Satria Arya yang kini berusia sembilan tahun duduk sambil memegang pulpen di tangan kanan membaca buku bacaannya lalu menulis pada buku bergaris walau sesekali matanya melirik ke televisi. Satria Arya kini duduk di kelas III SD YPK Budi Murni 7. Postur tubuhnya cukup tinggi dibanding dengan teman sekelasnya. Arya panggilannya. Ia sudah sepundakku.

Saat aku mendekatinya, Arya kembali fokus pada buku di depannya.
“Kakak nggak makan?”
“Bentar lagi,” sambil kubaca tulisan pada buku tulisnya.
“Aduh… Sakit perutku!”
“Jangan banyak alasanya Arya!”

Melihat aku dan Arya bersama saat belajar, biasnaya membuat mamaku tertawa karena ulah Arya. Aku tahu yang ada di dalam pikiran mamaku. Pasti ada aja alasan aneh dari Arya yang tidak dapat dihindari saat belajar. Mulai dari lapar tiba-tiba walau sudah makan, sesak kencing yang dapat dia lakukan tiga kali dalam dua jam, bahkan ia bisa saja sesak berak tiba-tiba dan berlama-lama di kamar mandi.

Kami semua sudah maklum saja, karena Arya adalah anak bungsu. Dan aku sebagai anak sulung selalu saja mendengar laporan-laporan aneh Arya bila sampai di rumah. Ucapnya sering menghiburku. Arya berusia sembilan tahun dan kini aku berusia 23 tahun. Perbedaan yang cukup terasa. Arya lahir saat aku duduk dibangku SMP.

Usai mengajarinya, kami tidur bersama dalam satu kamar. Kipas yang tak bisa dihentikan. Bila kipas terhenti, ia spontan akan bangun.

Mungkin saat kau membaca ini kau sudah menginjak remaja dan mengatakan “gak mungkin aku kayak gini,” Tapi itulah kenyataannya dek. Kita juga dulu pernah lomba makan banyak. Karena di rumah hanya kita berdua yang paling kurus, sedangkan bapak, mama, Putrid an Indra semua berbadan besar. Mereka algojo kita semua dek. With love. And big hug.