Selasa, 03 April 2012

Filadelfia Choir Selamat Ulang Tahun ke-8

Paduan Suara FILADELFIA Universitas Negeri Medan



Berdiri pada 27 Maret 2004 dan genap pada 27 Maret 2012 berusia 8 tahun. Terima kasih buat segala dukungan kakak dan abang dalam membangun paduan suara kita ini. Saya juga sangat berterima kasih kepada pendiri karena kalian selalu memberikan dukungan dana dan doa pada kami.

Kami yakin bahwa kami tidak sendiri. Kita bisa membangun ini karena kita bersama. Tak ada kata menyerah. Saling menyokonglah kita. Mari kita saling mengingatkan untuk lebih peduli.
Terima kasih buat adik-adik yang telah hadir.
Evi Kristina Ujung, Lusiana Lubis, Mardiana Silaban, Deslina Zebua, Lewi Sidabutar, Jetti Napitupulu, Norita Purba, Dedy Pranata S, Dayni Christmas S, David Hutabarat, Tutwuri Situmeang, Martina H Silalahi, Elsabat Lumbantoruan dan Afriando.
Terima kasih juga buat Kak Ivana Sibuea, Bang Arief Sihombing, Kak Sarma, Kak Mira Sitopu, Kristina Hutabarat, Iyus dan gitaris kita.



 Gambar di atas adalah korban lomba tatarias dari kawan-kawan Paduan Suara Filadelfia Unimed.
Di sayap kiri adalah Dedi Pratana (Juara II, perwakilan dari Bass), Novita Sari Simamora (Juara III, perwakilan dari Sopran II) dan David Hutabarat (Juara I, perwakilan dari Tenor).
Jujur aja nih.... Masa kecantikan aku dikalahkan sama dua orang ini.... hahaha....

Hidup Filadelfia...Yes.....yes.....yes.....

 Ini adalah juri dari segala juri. Juri yang paling tampan adalah Arief S Sihombing, juri yang imoet-imoet adalah Miss Ivana Sibuea dan juri yang selalu berusaha untuk tampil cuantik adalah Miss Sarma. Mereka bertiga didatangkan dari negara terpisah dengan cara yang terpisah-pisah...
 Ini adalah Tut Wuri, korban tata rias dari Sopran I. Kasian kali kau Wuri, yang tadi awalnya cantik dan mempesona, tapi akibat make up dari Sopran I, langsung berubah menjadi.....teng....tereng.....teng.....teng.......




Dan yang tak kalah uniknya, lomba memasak. Coba perhatikan mejanya. Itu apa tuh yang disajikan di atas meja. Bentuknya menakutkan kali.... wuih....cerem.....

"Agar-agar cinta ala Alto..."





Saat lomba Sopran I menyajikan urap dan bubur jagung. Di urapnya ada rasa kincung yang menambah selera, bubur jagungnya manis, jagung dan arenya berpadu menjadi satu.

Dan yang tak mau kalah Sopran II menyajikan mie bihun jagung yang dibuat tanpa bahan pengawet bertema "Nature, awas Global Warming..." Mie yang dibuat dengan ekstra pedas, agar setiap yang makan tahan terhadap global warming.

Tenor menyajikan nasi goreng spesial yang katanya nih bergizi dan e(s) buah tanpa 's'. Manisnya terasa, perpaduan apel, pepaya dan buah lain benar-benar terasa.

Untuk Bass memasak kentang goreng yang dililit sama mie instan. Ini makanan kontra bagi juri. Tapi habis juga toh..... Kan mereka bawa sikit, sama kayak Alto..... haha....haha....

Hati-hati loh.... alto kita imoet-imoet tapi muatannya banyak.....

Rintangan Membuatku Kuat Tanpa Menangis


Persiapan untuk mengadakan event belum juga menampakan hasil. Menjalankan proposal kesana-kesini, melawan teriknya mentari, dikejar-kejar hujan, pakaian pembungkus tubuh basah hingga kering di badan dan makan sekali sehari dengan satu nasi bungkus bagi tiga orang.

Saat menjalaninya terasa sulit, mengesalkan, menguji kesabaran, membuat menarik nafas dalam-dalam, memikirkan win-win solution dan keadaan sulit yang pernah aku jalani ini mengajarkanku untuk tidak menyalahkan siapapun akan keadaan yang terjadi dan yang telah terjadi.

Saat jaket, baju, celana jeans dan dalaman disapa hujan, aku menerima sms dari Budiah Sari Siregar. Pesan itu semakin menambah kebingungan dan mengajak aku tetap tenang dan mencari jalan baru, lokasi pelaksanaan event oleh Koper Indie (Komunitas Perempuan Independent) mulai terkendala di tempat. Tempat yang semula dilobby kini telah berisi selama sebulan. Auditorium Unimed adalah pilihan yang paling tepat bagi kami mahasiswi Unimed, karena medannya telah kami kuasai.

Namun, takdir belum berpihak pada kami. Dan akhirnya Budiah Sari Siregar yang telah kami percayakan untuk melobby tempat, segera mencari tempat. Ballroom hotel dengan kapasitas 1000 orang telah ditemukan namun harganya membuat aku terkejut., 17 juta harga sewa ballroom.

“Itu masih harga sewa Nov, tadi aku udah menghungi managernya dan ia minta proposalnya. Bapak itu ngajak ketemu jam 8 malam di rumahnya,” jelas Budiah yang sering kusapa dengan Diah.

“Ya udah, bagus tuh…” jawabku.

“Aku tadi udah survei rumah bapak itu. Rumahnya dekat kos aku. Tadi aku liat ada anjing di depan rumah bapak itu, aku takut ama anjing, kau kawani aku ya...”

“Ha ha ha… Okelah. Jam 8 kan.. Sip”

Pembicaraan via sms itu mengurungkan niatku untuk pulang cepat ke rumah. Tepat pukul 19.30 WIB, aku langsung bergerak menuju kos Budiah yang berada di Jalan Pahlawan, Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Medan Perjuangan. Diah segera membukakan pintu pagar untukku dan berkata “Tadi waktu konfirmasi mau datang, bapak itu bilang besok aja jumpa di hotel. Gak jadi ke rumahnya.”

“Astaga… Gak konsisten kalipun itu manager… Jadi gimana nih… Alasannya?”
“Katanya dia sering pulang terlambat ke rumah… Kau masuk aja dulu…”

Satria Baja Hitamku ku parkirkan di depan pagar putih tepat di bawah pohon Cherry yang sudah berbuah merah. Pembicaraan malam ini, tindakan saat ini akan mempengaruhi hari esok. Kami saling berbagi kisah perkembangan yang telah terjadi, hal-hal yang telah dilakukan dan juga yang belum dilakukan. Bahkan kemungkinan terburuk telah kami prediksikan.

Menjalankan proposal door to door masih belum membuahkan hasil or inkonfirmasi, jadi kami putuskan untuk menjalankan proposal door to door via email, ini cara hemat untuk hemat bahan baker minyak (bbm). Pencarian alamat email dan pengiriman tawaran kerjasama telah kami bagikan ke berbagai perusahaan. Walau dalam kondisi sulit dan bingung kami masih dapat bercengkrama dengan tawa, serasa tak ada beban walau mata sangat kantuk. Rasa lapar sedari pagipun terobati karena roti coklat yang disuguhkan. Saat melaap roti itu, aku sudah tak mengingat bahwa di hari yang sama sudah dua kali badan kena hujan dan kering lagi.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 22.35 WIB. Email dan Facebook Koper Indie langsung kami sign out. Modem di disconnect. Dan Laptop turn off. Aku langsung pamit pulang menuju Bandar Setia Ujung, karena mamaku sudah menelepon dan bertanya dimana posisiku.

Saat menaiki Satria Baja Hitamku, aku langsung ingat bahwa tangki bensinnya tak akan sanggup untuk perjalanan sampai ke rumahku. Mengisi bensin di Simpang Unimed kini menjadi pilihan terakhirku.

Entah kenapa usai mengisi bensin, aku merasa bahwa sepeda motorku agak sedikit goyang. Batinku menenangkanku dan berkata dalam hati, “Mungkin ini karena belum makan nasi makanya agak sedikit oyong.”

Perjalanan aku lanjutkan dengan memegang stang motorku dan lebih focus untuk berjalan lurus. Namun sepeda motorku terasa berat. Ku berhenti sejenak dan melihat ke bawah. Banku baik-baik saja dan tidak dalam keadaan kempis.

Kini aku tiba di turunan jembatan Unimed, dekat bakaran jagung. Disebelah kiri yang ada hanyalah kebun coklat. Sedangkan di sebelah kananku ada rumah, namun lampu terasnya tidak hidup.

Dan berhenti kembali untu memastikan keadaan banku. Entah kenapa perasaanku kurang enak saat itu. Aku turun dari sepeda motor dan melihat kondisi banku. Sepeda motor yang melintas sangat kencang bila memasuki kebun coklat ini. Aku memeriksa ke bawah, ban depan dan ban belakang, semua masih aman.

Dan aku menaiki sepeda motorku. Berjalan lalu belok kiri, aku benar-benar sadar. Saat masuk ketikungan Lau Dendang, aku tersadar bahwa ban depanku telah kempis. Sudah pukul 23.00 WIB. Tak ada satu pintu rumah yang terbuka. Teras rumah warga sangat gelap. Semua pengendara motor dan mobil melaju sangat cepat seolah hendak segera enyah dari kebun coklat. 30 meter dari lokasi aku berhenti ada kebun jagung.

Gelap. Sunyi. Tak tahu mau minta pertolongan siapa. Hanya bisa mencagak dua motorku, lalu memeriksa ban depan, apakah ada paku atau tidak. Lagi-lagi handphoneku berdering, sengaja tidak aku angkat. Itu dari mamaku.

Ingin rasanya berteriak minta tolong, menangis dalam keadaan genting. Tak ada seorangpun yang dikenal. Tak ada seorangpun yang berhenti dan menolongku. Namun, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.

Sepasang suami istri berhenti di depan rumah yang terbuat dari papan. Teras gelap. Wanita yang dibonceng menggedor pintu dan memanggil orang yang berada di rumah. Suaminya menunggu di atas sepeda motor matic sambil bepangku tangan menghindari telapak tangan dari dinginnya malam. Seorang anak laki-laki tanpa mengenakan baju muncul di depan pintu.

“Pak…Pak…di daerah sini mana tukang tambal ban pak?”

“Kenapa? Kempis ya? Di dekat jembatan arah mau ke Unimed itu ada dek… Tapi tutup…”

Aku tak tahu mau berkata apa menjelang dini hari dengan kondisi ban kempis di tengah gelapnya malam. Dan aku adalah seorang anak gadis. Saat aku menegur pria itu, terlihat istrinya berhenti melangkah masuk ke dalam rumah dan memperhatikanku. Jaket hitam dan helm yang kukenakan, membuatku terlihat seperti lelaki.

“Jadi dimana lagi yang ada pak?”

“Coba kamu ke arah Simpang Beo. Disitu ada tukang tambal ban.”

“Apa jauh lagi pak? Ban aku sudah kempis kali pak..”

“Rumahmu dimana?”

“Bandar Setia Pak…”

“Oh… Mending arah sana aja, karena itu searah dengan rumahmu. Lagian ban depan yang kempis. Gak apa-apa itu. Bawa jalan aja.”

Hatiku sedikit lega mendengar perkataan itu. “Terima kasih ya pak… Ibu… Yuk bu… Makasih ya bu…” Aku bergegas segera menaiki Satria Baja Hitamku sambil berharap agar angin tidak semakin habis dari ban dalam.

Aku sengaja melaju kencang di kegelapan, mengingat di sebelah kiri kebun coklat dan di kanan kebun jagung. Usai melewati kebun tersbut, aku menemukan satu tempat doorsmeer dan toko itu telah tutup. Tanpa berhenti, aku terus melaju dan melihat ban-ban yang digantung pada tiang warung. Tampak dua pria duduk di depan warung temple ban.

Aku berhenti, berharap, salah seorang diantar mereka berdua merupakan pekerja di tempat itu. Namun harap tak sesuai dengan kenyataan. “Kenapa dek? Kempes ya? Oh… Ke Simpang Beo aja. Belok kiri. Kira-kira seratus meter lagi ada tukang temple ban. Rumahnya disitu dek…”

Sebelum sampai ke simpang beo aku melihat bengkel yang masih buka. Seorang pria sedang membuka busi motor dari motor astrea. “Bang, mau nempel ban bang…”

“Aduh dek… Tempelannya habis pula…”

Tanpa banyak bicara, aku langsung balik kanan. Membawa Satria Baja Hitamku melaju kea rah Simpang Beo. Simpang tersebut disebut orang Simpang Beo karena di simpang itu, tepat dipinggir jalan ada patung Burung Beo yang diletakkan diatas tiang putih, tiang dan patung dengan ketinggian 3,5 meter.

Sampai di Simpang Beo, aku menemukan dua tukang tambal ban telah tutup. Aku berhenti dan menegur seorang bapak-bapak yang mengenakan celana coklat dengan sarung kotak-kotak yang diselempangkan bahunya. “Sekitar 100 meter lagi, disitu ada tukang tempel ban. Kesana aja dek…”

“Baiklah…”

Dan akupun berjalan. Meyakini petunjuk dari warga sekitar Lau Dendang. Dan akhirnya pencarian itu berahir sudah. Aku menemukan warung jajanan yang gandeng dengan tukang temple ban.

Pria berambut menyapaku dan melihat keadaan ban depanku. “Kenapa? Kempis ya?”

“Nggak Pak… Kayaknya ini bocor pak…”

Kepala pentil, segera dilepas. Angin dari ban dalam dikeluarkan. Aku masih saja berdoa agar lubangnya tidak dua. Pria tua itu berumur 62 tahun. Tangan kecilnya memengang dua besi untuk melonggarkan ban dalam. Ia mengeluarkan ban dalam dari ban luar dengan sangat pelan. Perlahan tapi pasti.

Akhirnya ban dalam berhasil dikeluarkan. Ban dalam diisi angin, lalu dicelupkan ke dalam ember hitam yang tidak memiliki bibir ember lagi. Pria beranak delapan itu jongkok memperhatikan gelembung angin yang muncul dipermukaan air.

“Cuma satu lubang…”

Akhirnya aku dapat bernafas lega, setelag meihat keadaan banku. Tukang tambal ban yang sering disapa Uwak Rebu langsung menempel ban depanku. Kembali handphoneku berbunyi. Itu telepon dari mamaku. “Iya Mak… Bentar lagi… Udah di jalan nih…” Lalu HPku langsung kumatikan.

Aku benar-benar tak ingin memberitahukan keadaan itu pada mamaku, karena ia pasti akan memberitahukan pada Bapakku. Itu akan membuat bapakku merepet lalu ia akan khawatir keadaanku. Karena sebelumnya, aku pernah memberitahukan hal itu dan ia langsung merepet lalu berinisiatif untuk menjemput.

Walaupun bapakku jago merepet, tapi bapakku jago masak dan juga baik hatinya.

Kembali ku tanyakan pada Wak Rebu harga tempelannya, “Harganya Rp. 7000,- aja dek. Gak bisa Rp. 6000 ribu. Lagian ini udah malam. Kalau sudah malam harganya biasa Rp 8000,-”

“Uwak udah lama tinggal disini ya?”

“Uwak tinggal disini sejak tahun 1952. Awalnya tinggal di daerah Tuntungan sama orangtua dan kami pindah ke Lau Dendang tahun 1952.”

Pria tua yang telah memiliki 13 cucu ini memberitahu bahwa ia lahir tahun 1949. Saat pertama pindah ke Lau Dendang di tahun 1952,ia mengaku hanya menggunakan lampu sentir yang membuat lubang hidung hitam. “Di depan rumah uwak ini dulu lalang, kebun orang. Pokoknya dulu masa-masa susah dan gelap.”

Uwak Rebu dan keluarga mulai merasakan terangnya listrik pada tahun 1986. Mendengar tahun ia tinggal di daerah Lau Dendang ini, aku mulai tertarik pada pembicaraan pria  tua yang tingginya sekitar 158 cm.

“Dulu zaman uwak tinggal disini masih ngeri kali. Kalau kalian sudah enak, sudah terang kayak sekarang ini. Emangnya udah berapa lama kamu tinggal disini?”

“Masih 10 tahun di Bandar Setia wak”

“Oh… Kalau di Bandar Setis, dulu ada namanya Titi Bambu. Kamu tahu gak itu?”

“Gak tahu wak. Emang dimananya wak. Kalu aku di Bandar Setia Ujung wak”

“Ya di Bandar Setia lah...”

Sambil berbicara, ban dalam sudah dimasukkan ke dalam ban luar. Dipompa, lalu cagak diturunkan. “Walau usia uwak 62 tahun, tapi uwak masih segar ya,. Apa sudah lama jadi tukang tambal wak?”

“Kalau tambal ban, baru aja nih, tahun 2007 lalu. Dulu uwak tukang becak. Untungnya uwak sampai sekarang masih sehat,” ucapnya sambil menggerakkan kedua tangannya ke depan dan belakang dengan senyum yang terlihat jelas kerutan di pipi.

Bola matanya bercahaya.

“Ini ya Wak, 7ribu… Makasih wak.”

Saat aku mengendarai Satria Baja Hitam yang sudah sehat. Kembali mamaku menelepon dan berkata “Udah dimana?” Lalu aku menjawab cepat “Udah dijalan mak. Bentar lagi nyampek.”

Pasti mamaku bertanya dalam hati, dari tadi nelpon jawabannya udah dijalan tapi kok gak nyampek-nyampek. “Bunda, maafkan aku… Aku tak ingin membuat siapapun khawatir. Cukup doakan anakmu ini.”

Sesampaik di rumah, aku melihat mamaku membuka pintu untukku. Mamaku tidak bertanya, kok lama kali tapi dia bilang “Apa udah makan kau?”

“Apa ada makanan mak?”

“Maksudku, biar mindahkan kulkas kita. Kan kau kuat…”

“Ha ha ha…..” aku tertawa sambil membuka lemari yang masih ada ikan dencis dan sayur buncis. Tapi hilang sudah selera makan. Cukup minum saja. Lalu kami berdua, memperbaiki posisi kulkas karena kaki kulkas sudah patah.

Usai memindahkan kulkas, memasukkan isi kulkas yang sempat dikeluarkan lalu masuk ke kamar dan melihat memperbaiki posisi tidur adikku Satria Arya Dao Mara Simamora. Ia selalu tidur dengan kipas yang dekat sekali dengan wajahnya.

Good Night

Novita Sari Simamora