Selasa, 11 Desember 2012

Kunjungan ke War Memorial, Canberra



Delapan wartawan telah melewati penerbangan Melbourne-Canberra selama 55 menit. Mereka paling sedikit membawa dua tas untuk persiapan selama tujuh hari.

Keberangkatan ke Canberra dipandu oleh wanita yang berambut coklat berbaju hitam putih dan tas coklat di selempangkan di bahu kanannya. Deborah Muir namanya.

“One, two, three……Eight. Okay,” ucapnya saat berada sembari menghitung jumlah fellow.
Deb selalu menghitung jumlah peserta, terutama bila ada peserta usai menyebrangi jalan, berjalan dikeramaian dan persimpangan. Entah berapa Deb mengucapkan angka satu sampai delapan. Untungnya dia lebih tinggi dari kami semua, jadi dia tak perlu jinjit sewaktu menghitung kami.

Berbekal semangat, pengalaman, rasa ingin tahu, maka naluri jurnalis kami kembali berkobar. Sesampai melewati proses pemeriksaan bandara yang cukup menyita waktu untuk membongkar tas, akhirnya rasa itu terbayar sudah sesampai di Canberra.

Usai menitipkan barang-barang di hotel kami langsung bergegas mencari makan siang. Saat makan siang pun Deb tak lupa untuk menghitung jumlah kami. Australian War Memorial adalah tujuan berikutnya. Sesampai disana kami sudah melihat gedung War Memorial yang saling berhadapan dengan Old Parliament House.

Setelah menatap lamat-lamat ke Old Parliament House, seketika itu saya tersadar bahwa ada ratusan kursi putih yang berbaris rapi menghadap ratusan karangan bunga. Pada karangan bunga terdapat nama negara.  Ada karangan bunga dari Negara Indonesia tempat kelahiran saya, ada dari Bosnia, Timor Leste, Mexico, Arab Saudi, Malaysia dan masih banyak ratusan karangan bunga. Dan karangan yang paling mungil adalah karangan bunga dari siswa sekolah dasar.
“Their name liveth for everymore,”terukir di atas batu yang dipenuhi karangan bunga.


Saat masuk ke dalam gedung War Memorial, saya benar-benar disuguhkan dengan atmosfer tahun 1800-an. Foto, patung, pakaian para militer yang berjuang, tongkat, serta peralatan makan hingga perang. Gedung Austalian War Memorial ini dibuka pada 1941 yang terdiri dari tiga bagian: Area Commemorative (kuil) termasuk Hall of Memory dengan Makam Prajurit Australia diketahui, galeri Memorial ini (museum) dan Pusat Penelitian (catatan). Memorial ini juga memiliki Sculpture Garden luar ruangan. Memorial saat ini buka dari 10 sampai 5 sore.


Two Light horse signaller outside a redoubt in the Sinai Desert, 1918

Salah satu foto yang membuat saya larut adalah dua orang tentara yang duduk di daerah Sinai. Mereka mengenakan celana pendek, kaos kaki setinggi siku kaki, hanya topi sebagai pelindung kepala mereka. Alat tulis dan kertas pada tangan merekalah yang membuat saya menitikan air mata.

Seperti mereka sedang melakukan komunikasi jarak jauh. Duduk diatas pasir tandus. Kawat duri yang berada di belakang mereka membuat keadaan semakin mencekam bagi saya. Saya sempat berbicara dalam batin saya.

“Apa mampu saya melewati masa yang telah dilewati oleh mereka yang telah tiada. Suara tembakan. Darah. Mayat. Gurun. Seketika entah kenapa tiba-tiba saja saya berfikir, ini akan terjadi bila saya meliput perang. Mau tidak mau harus mau dan mampu!”
Mereka yang berada namanya terukir di War Memorial ini adalah pahlawan yang takkan pernah dilupakan sekaligus korban perang. Saat melihat seisi War Memorial, saya berpapasan dengan seorang fellow dari West Papua, Yermias Degei ia mengatakan peperangan harus segera dihentikan.

“Stop peperangan! Mereka ini adalah bukti dari korban perang! Stop penindasan! Stop penjajahan!”

Benar yang disampaikan oleh Yermias, entah berapa kerugian materi yang hilang saat berperang. Tak terhitung nyawa yang hilang.

“Mana teman-teman kita? Pasti Deb mencari kita,” ungkap saya pada Yermias.