Kamis, 04 Agustus 2011

Rel Melintang, Kereta Berjalan

Kebimbangan
Tapi tanpa aku sadari aku sudah melangkah majun ke dunia profesi ini. Berjalan di atas rel dengan gerbong yang akan membawaku pada hal-hal yang tidak aku temukan di diktat yang dibelikan oleh orang tuaku dengan peluh keringatnya.

Berbicara tentang peluh keringat dan tetesan air mata. Aku merasa seperti menambah beban pikiran kedua orang tuaku saat aku menaiki gerbong yang membawaku pada sebuah ketentuan. Ah..Tak ada yang perlu dipertanyakan. Tak ada yang perlu disesalkan. Alangkah baiknya akan kubunuh segudang pertanyaan yang berasal dari ubun-ubunku.

Sampai saat ini pun aku masih menikmati gerbong ini, walau sebagian orang disekitarku meneriaki aku, berteriak dan berharap agar aku dapat berhenti di stasiun perhentian dan mencari rel yang membawa pada titiknya nyaman kaum awam.

Namun, saat aku memejamkan mata sejenak. Aku dapat tersenyum sendiri dengan profesiku ini. Walau saat ini aku adalah seorang anak gadis yang berusia 21 tahun, gadis dengan tubuh yang langsing, rambut gondrong dan senyum lebar bagai iklan odol kayak ditipi-tipi, senyum yang mengundang ucapan centil bagi kaum Adam. Walau mata terpejam, sekilas bibir tersenyum namun hati hendak menangis atas rasa yang terlalu banyak tahu akan keadaan miris disekitarku.

Kadang menangis kadang tersenyum. Kadang tertawa kadang merintih. Kadang membentak kadang dibentak. Kadang mengusir kadang diusir. Kadang mengancam kadang diancam. Kadang menangis melihat mereka tertawa, kadang tertawa melihat mereka tertekan. Banyak rasa yang telah aku alami disini.

Mungkin saat aku ditugaskan untuk mengambarkan sesuatu yang dapat mendeskripsikan keindahan perjalanan di gerbong ini, mungkin aku akan sesegera mungkin meremukkan kertasnya dan mengembalikannya. Mau tahu kenapa, karena tak ada bentuk apapun yang dapat mengambarkan keindahan apapun dalam perjalanan gerbong ini. Gerbong tetap melaju sepanjang rel panjang masih melintang.

Penuh rasa, penuh sejuta tantangan. Sempat aku berfikir tentang hal yang sering kualami. Duduk satu ruangan dengan orang-orang nomor satu, satu meja dengan orang-orang berdasi, saling berjabat tangan dengan orang-orang sekolahan tinggi.

Sontak aku tersadar dalam pejamku...

Pertemuan-pertemuan mengatas namakan kepentingan rakyat di tempat berkelas, paling banyak menghabiskan biaya. Duduk di ruangan dingin, sedangkan rakyat berpanas ria mencari sesuap nasi dan memenuhi tanggung jawab pada negara. Tertawa menikmati kemewahan pertemuan yang mengatas namakan rakyat, namun rakyat menjerit dengan air mata berurai minta diperhatikan. Menikamati berbagai hidangan disela-sela pertemuan yang juga masih mengatas namakan rakyat, namun masih banyak anak-anak balita yang menderita gizi buruk. Apa-apaan ini semua?

Saat ini aku dapat merasakan keadaan dua alam, duduk bersama orang yang merasa sok hebat, dan duduk bersama rakyat. Melihat tangis mereka, melihat rintihan anak mereka yang menderita gizi buruk. Ketika mata memandang kondisi nyata itu, telapak tangan hanya mengelus lengan sang ibu dan berkata, "Sabar ya bu." Telapak tangan yang mengelus tubuhmu yang penuh akan kuatir tentang anakmu, maka tangan ini juga yang akan memegang senjata agar keadaan seperti mereka lbih diperhatikan melalui ujung pena.

Akan ku gambarkan keadaan ini pada mereka yang berdasi dan berharap agar mereka orang yang hebat tersebut menyisikan waktunya untuk membaca. Membaca dan melihat rakyatnya.

Menggeram dalam pejam di gerbong yang masih tetap berjalan. Resah melihat semua ini! Banyak hal yang tak terungkap, namun mata memandang ke semua sudut!

Terlalu berisik suara di luar gerbong. Spontan aku terbangun, terbangun karena berkeringat saat menutup mata dan terbangun akibat terikan mereka yang masih terngiah di telingaku. Dan sampai sekarang pun aku masih di gerbong yang melaju, belum tahu berapa panjang rel yang akan dilalui dan belum tahu dimana titik istirahat maupun titik perhentian. Namun masihn terasa telapak tangan yang mengelus lengan penuh bertubi-tubi rasa khawatir.

Kereta masih tetap melaju.

Selasa, 17 Mei 2011

Keluarga Bayi Hydrocepallus Pasrah


Medis Menyerah Menangani
Bayi Hydrocepalus akan Pulang Kampung

Bayi Hydrocepalus yang membutuhkan uluran tangan pembaca, hari ini akan kembali ke kampung halamannya bersama keluarga. Destia masih berusia 4 bulan, namun kini bayi itu sudah menanggung beban yang teramat berat. Kondisinya tak sama dengan bayi lain, ia hanya dapat terbaring di tempat tidur, tak dapat mengerakkan kepalanya hanya dapat menggerakkan tangan dan kakinya yang mulai mengecil akibat penyakit yang dideritanya.
Kemiskinan yang dialami pasangan Sohiruddin (34) dan Siti Amina (27) warga Tanjung Ale, Kecamatan Huta Raja Tinggi Kabupaten Padang Lawas ini membuat mereka pasrah dengan keadaan anak keduanya ini.
Anak pertama dari pasangan suami istri (pasutri) ini terlahir normal dan sekarang berusia 3 tahun. Berbeda dengan anak kedua mereka yang baru berusia 4 bulan dan kini mengalami Hydrocepalus ganas. Tim medis sudah bisa membantunya secara medis, namun bila tim medis tetap melakukan operasi maka akan membahayakan nyawa bayi tersebut bahkan akan mengancama nyawa Destia.
Keadaan ini semakin membuat kedua orang tua pasrah dan ikhlas dengan keadaan Destia, Saat saya kembali menjengguk Destia yang dirawat Lantai IV ruang IX bedah anak RSU Pirngadi Medan terlihat Destia yang sedang tidur lelap dengan keadaam lingkar mata tampak hitam.
Kini bayi perempuan itu terbaring di rumah sakit umum Pirngadi. Bayi ini dalam keadaan tidur lelap sewaktu dijenguk. Siti Amina menjelaskan bahwa Destia tidak bisa dioperasi. “Kemarin dokter sudah bilang sama kami, kalau mau dioperasi lingkar kepala bayi tidak boleh lebih dari 20 cm, sedangkan lingkar kepala Destia sudah 25. Sewaktu dia dirawat di rumah sakit yang ada dikampung dulu, dokter bilang kalau lingkar kepalanya sudah 23 makanya dia kami bawa ke Medan, ternyata kepalanya semakin membesar dan dokter juga menyerah,” ucap Siti tunduk dan pasrah.
Destia juga susah tidur di malam sehingga siang hari Destia baru tertidur lelap. Kondisi yang sangat memprihatinkan juga ditambah dengan kondisi badan Destia yang selalu demam dan ibunya hanya bisa mengkompres dengan air untuk menurunkan panasnya.
Kedua orang tua anak Destia ingin membawa anaknya kembali kerumahnya dikarenakan sudah tidak ada biaya lagi untuk makan dan biaya yang lainnya. Pasutri ini kini menanti uang 480 ribu yang digunakan sewaktu biaya scanning kepala Destia.
“Kata medis Pirngadi alat scan disini rusak, jadi harus scan diluar lalu mereka bilang biayanya akan diganti. Biaya scan anak kami 480 ribu namun mereka sebelumnya mengatakan pada kami akan mengembalikan 350 ribu saja. jadi kami menunggu uang itu keluar, baru kami segera pulang,” jelasnya.
Ibu bayi ini menjelaskan bahwa Destia akan dibawa berobat tradisional dkampung saja. “Biaya ongkos kami pulang kekampung itu tergantung dari biaya yang akan dikeluarkan rumah sakit, karena ongkos satu orang 150 ribu, saya dan suami saya jadi 300 ribu, lalu nyambung lagi dan butuh biaya per orang 25 ribu . Jadi uang itu sangat menentukan nasib kami,” ucap Siti.
Siti dan suami sempat menangisi anaknya di malam hari karena tim medis di Pirngadi tidak dapat lagi menolongnya. “Kami sudah sngat pasrah sekali dek, kami datang kesini berharap agar anak kami sembuh, tapi Allah berkehendak lain. Kami akan bawa di ke kampung sajalah. Untuk biaya berobat kampung akan kami cari setelah kami pulang, karena sudah 10 hari lebih suami saya tidak bekerja,” ujarnya.
Kemudian ayah Destia, Sohiruddin mengungkapkan bahwa untuk  biaya kehidupan disini sangat mencekik leher. “Modal kami kesini sangat minim, kami rela makan tak makan karena kami pun orang susah. Dua hari yang lalu, neneknya yang ikut ke Medan kami suruh pulang, karena kami makan tak makan disini, kami takut nanti keadaan neneknya jadi sakit pula, itupun kami minta tolong sama supir yang membawea neneknya agar tidak bayar, karena kami benar-benar tidak ada biaya. Untung saja supirnya mau membawa neneknya walau tidak bayar, Tuhan maha tahu, dia menolong kami dek,” imbuhnya.


Minggu, 01 Mei 2011

Polemik Vihara Tri Ratna Tanjung Balai



Di Tanjung Balai saya menghadapi orang-orang yang takut berbicara. Ketakutan akan peristiwa yang pernah terjadi di tahun 1998 adalah alasan utama mereka untuk bungkam. Ketidak berdayaan untuk membela dan mempertahankan keberagaman tidak terucap dari mulut mereka. Dari wajah minoritas ini, telah terlihat ketakutan untuk memeluk agama dan membela agama yang telah mereka anut selama bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun.


TELAH BANYAK keyakinan yang kami sampaikan bahwa kita dapat hidup dalam keberagaman dan ajakkan yang kami sampaikan kepada kaum minoritas untuk bersikap sedikit terbuka dan sedikit berbagi beban serta mengajak dan mengajari mereka untuk membela diri mereka sendiri. Kami hanya ingin menjembatani.

“Ternyata kalian tahu ya, masalahnya itu,”

“Lebih baik kalian menemui pengurus Viharanya saja, karena banyak orang yang menginginkan patung itu ditunkan. Kita tidak mau masalah tambah berabe.,”

Kami kesulitan untuk mencari orang-orang yang benar-benar menginginkan orang yang ingin patung itu tetap berdiri. Sulit menyakinkan pada mereka bahwa ada orang-orang yang peduli dengan hak kaum minoritas.  Ketika kami bertanya masalah terkait penurunan patung Buddha Rupang setinggi 6 meter yang terletak di atas vihara, wanita berkulit putih ini, hanya melipat tangan di dadanya, sesekali ia membuat tangan kirinya perut lalu siku kanannya diletakkan dipergelangan tangan kirinya, jari-jari yang di telapak tangannya diletakkan di hidung dan mulutnya. Sesekali wanita Tionghoa ini menyibak rambut hitam yang panjangnya sepunggung. Pandangannya hanya ke menuju pada lantai, walau terkadang ia melayangkan padangannya pada kami.

Perjalanan ini membuat kami memahami seberapa besar tekanan dan ketakutan yang dipendam oleh umat Buddha yang dijajah oleh kaum mayoritas di Tanjung Balai.

Di Tanjung Balai kami menumpang bermalam di rumah teman satu kuliah kami. Dia adalah seorang lelaki dan kami berdua adalah wanita. Rumahnya berada dijalan Arkat. Arif namanya. Arif menjelaskan bahwa Ketua Vihara Tri Ratna Tanjung Balai yang bernama Suwanto Saimah telah tewas akibat kecelakaan yang merenggut nyawanya.

“Kan Ketua Vihara Tri Ratna sudah meninggal ditabrak becak, biasanya tukang becak itu mangkal disimpang rumah ini, tapi karena sudah jam setengah dua belas malam, pastinya dia sudah tak ada lagi disimpang,” jelas Arif pada kami.

“Tukang becak itu, biasanya kami panggil siKolak-kolak, soalnya dia ada tungkik-tungkiknya. Sikolak-kolak itu memang ada kurang-kurangnya, makanya dia tidak dituntun orang Vihara,” tambahnya.

Pagi hari, sekitar pukul delapan kami menunggu Sikolak-kolak di persimpangan rumah dan ia pun belum terlihat. “Jam segini dia belum ada, dia biasanya nongkrong disini agak siangan, lagian nanti kalau kalian jumpa sama dia, sama aja sia-sia, dia tak bisa ngomong,” tambah Arif.

Akhirnya kami memutuskan pergi menuju Vihara Tri Ratna dengan menaiki kendaraan becak motor (betor). Nama tukang becak yang membawa kami adalah Yusuf (49) warga Jalan Arkat Lingkungan V, Kelurahan Sungai Merbau, Kecamatan Teluk Nibung. Ketika Yusuf mengendarain becaknya, ia banyak bercerita tentang hal yang ia ketahui. Yusuf pun membenarkan peristiwa meninggalnya Ketua Vihara Tri Ratna.

“Ketua viharanyakan sudah meninggal karena ditabrak becak,” ungkap Yusuf pada kami.

Yusuf juga memberitahukan kepada kami bahwa sempat terjadi demo karena patung yang ada diatas Vihara. Yusuf mengatakan bahwa ia sendiri kurang mengetahui penyebab ceritanya.

“Saya tidak terlalu paham, tapi dengar-dengar katanya mau dibongkar setelah ganti walikota. Selanjutnya saya belum tahu. Saya tidak tahu, apakah vihara itu bisa dibongkar atau tidak, karena itu sudah disetujui dan ditanda tangani,” ungkapnya di atas becak motor.

Sesampai di depan gerbang Vihara Tri Ratna kami takjub melihat keadaan Sungai Asahan yang terhampar luas tepat di depan Vihara Tri Ratna. Kami melihat boat kecil yang bersandar di tepi pesisir, tampak ada dua lelaki yang sedang duduk diatas sepeda motornya masing-masing.

Sungai Asahan adalah batas Utara Vihara. Bila kami melihat disebelah kanan Vihara atau tepatnya disebelah Timur berbatasan dengan Klenteng. Lokasi ini dimanfaatkan oleh seorang ibu untuk berjualan jajan-jajanan. Sedangkan untuk disebelah Barat berbatasan langsung dengan rumah penduduk, dan disebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Asahan.


Kami kesulitan untuk menemui pengurus Vihara, yang tampak hanyalah empat orang pekerja sedang memperbaiki lapangan. Pada saat itu jam menunjukkan pukul 09.00, sembari berharap ada seorang pengurus yang datang, kami juga minta izin untuk memfoto, serta menggunakan handycam di area vihara dan naik ke lantai dua vihara.

VIHARA TRI RATNA ini telah ada sejak tahun 1984. Awal sebelum pembangunan vihara, bangunan yang terletak di Jaln Asahan ini berbentuk sebuah rumah bercat putih memiliki dua pilar yang berada sekitar tiga meter dari pintu masuk bangunan. Disediakan 40 orang panitia pembangunan untuk melakukan pembangunan Vihara. Pembangunan tersebut dinamakan pembangunan Vihara Tri Ratna.

Akhirnya, pembangunan Vihara selesai pada tanggal 3 November 1984 pukul 02.00 wib, kemudian diadakan upacara ritual yang dipimpin oleh Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia Y.A Maha Stavira Ashin Jinarakhita (alm).

Peremian penggunaan Vihara Tri Ratna dilaksanakan pada pagi hari, tanggal 3 November 1984 yang diresmikan oleh Walikota Tanjung Balai Asahan H. Ibrahim Gani (alm). Demi menjalin persatuan yang kokoh dan bertanggung jawab terhadap pembangunan Vihara, maka dibentuklah susunan kepengurusan. Kepengurusan Vihara Tri Ratna diketuai oleh Tiong Chun, wakil ketua Lie Thien Cai, sekretaris adalah Susianny Intan, Bendahara Goh Bun Seng serta komisarisnya adalah Goh Seng Hong.

Lalu seiring berjalannya waktu kepengurusun pun diganti. Ketua I adalah Suwanto Saimah (alm), Ketua II Andy Wibowo, Sekretaris Tony, Wakil Sekretaris Dewi, Bendahara Tieng Beng Cuan dan Wakil Bendahara Suriadi Kie.


PEMUGARAN kembali Vihara Tri Ratna dilakukan pada tahun 2006, dengan luas bangunan 1432 m2 . Pada saat pemugaran hendak dilaksanakan, Walikota Tanjung Balai pada saat itu datang untuk menuangkan semen sebagai tanda peresmian pembangunan Vihara Tri Ratna Tanjung Balai yang disaksikan oleh rombongan dan segenap pengurus Vihara Tri Ratna Tanjung Balai.

Kata sambutan saat peresmian pemugaran juga dilantunkan Sutrisno Hadi selaku Walikota Tanjung Balai  di tahun 2006, namun saat ini dia tidak Walikota lagi. Pakaian safari biru dongker selalu menjadi ciri khasnya, topi hitam beserta bordir Burung  Garuda dikenakan di kepalanya. Ia berdiri did depan podium yang bertaplak warna kuning. Semua keadaan masih aman saat itu.

Pembangunan berlangsung selama tiga tahun. Vihara Tri Ratna Tanjung Balai yang telah dipugar selesai di bulan November 2009. Vihara yang sebelumnya dua lantai, kini menjadi enam lantai. Lantai dasar dijadikan aula, lantai dua dan tiga sebagai ruang kebaktian, lantai empat tempat tinggal Bhikkhu dan Bhikkhuni, lantai lima tempat meidtasi sedangkan lantai enam tempat berdirinya patung Buddha Rupang, yang berdiri diatas teratai dengan ketinggian delapan meter yang dipesan dari Bandung. Ir. Leo Wijaya adalah arsitektur bangunannya.

Bangunan yang dahulunya bercat putih kini berubah menjadi banguan bercat kuning. Vihara Tri Ratna yang bercat kuning ini, diresmikan kembali pada hari Minggu, 8 November 2009.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakt Buddha (Dirjen Bimas) Buddha Depag RI Drs. Budi Setiawan datang dan menandatangani prasasti pertanda diresmikannya Vihara Tri Ratna Tanjung Balai. Walikota Tanjung Balai saat itu pun turut menandatangani prasasti yang telah disediakan. Mulai dari Majelis Ulama Islam sampai pemuka-pemuka agama pun turut hadir saat peresmian dilangsungkan.

Wakil Walikota Tanjung Balai Drs H.M. Thamrin Munthe melantun rasa bangga saat kata sambutan. Pemerintah Kota (Pemko) bertanggungjawab penuh akan pembinaan umat beragama di Kota Tanjung Balai. Thamrin juga mengacungkan jempol akan sikap hormat menghormati umat beragama yang diwujudkan dalam bentuk saling tolong menolong di daerah heterogen yang multi etnis ini. Terbukti dengan tidak adanya hambatan saat pemugaran vihara enam lantai yang menghadap ke  Sungai Asahan.





SEORANG PANITIA pembangunan Vihara Tri Ratna yang bernama Sujadi menjelaskan pembangunan telah selesai dan diresmikan dua tahun lalu. “Inikan sudah dibangun kenapa harus diributkan?” ungkapnya.

 “Ini ributnya ini gara-gara pilkada. Ada pihak yang sengaja membuat itu lebih parah,”

Pemugaran yang telah dilaksanakan selam tiga tahun berjalan lancar, namun dua tahun selang setahun diresmikan, ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa izin bangunan vihara itu tidak sah, ada yang mengatakan vihara itu mengganggu umat Islam dan ada yang mengatakan lambang vihara yang diletakkan di atas vihara itu melambangkan kemusrikan bagi umat Islam.

“Kita inikan berdasarkan Pancasila, kenapa harus diributkan, ada yang bilang mengganggu sholat, karena patungnya nampak,” ungkap Sujadi

Sujadi menjelaskan keadaan peresmian acara Vihara. "Sewaktu pidato, Pak Tamrin Munthe bilang, Kota Tanjung Balai bisa dibilang Kota Wisata Agama, karena ada Masjid, ada Vihara dan juga ada Gereja. Kita bersedia saling bantu membantu. Waktu ada MTQ, kita ikut juga membantu. Tak ada korban. Kalau mereka mau ribut ya silahkan, kalau patung inikan perlengkapan dari rumah ibadah, inikan lambang kita, sama kayak mesjid, kalau tidak ada kubah sama tak masjid,” katanya.

Setelah dua tahun patung Buddha Rupang setinggi 6 meter berdiri di atas Vihara Tri Ratna. Ada kelompok yang mengatas namakan Gerakan Islam Bersatu (GIB) untuk menurunkan patung tersebut. Penghuni Kota Tanjung Balai mayoritas umat Islam.

Perlindungan bagi kaum minoritas yang berjumlah 2000an jiwa di Tanjung Balai ini tidak ada. Terbukti dengan adanya gerakan-gerakan organisasi masyarakat selaku kaum mayoritas menginginkan kaum minoritas untuk menuruti kemauan mereka. Kemauan kelompok-kelompok Islam tersebut adalah menurunkan Patung Buddha Rupang diletakkan diatas Vihara Tri Ratna tersebut.

Ketua Gerakan Islam Bersatu Taufik Hajar Manurung mengatakan bahwa Izin bangunan tidak ada, yang ada hanya izin bangunan tingkat empat,

“Sejarah, Tanjung Balai adalah adanya balai di ujung tanjung. Sekarang terjadi perubahan, ada patung diujung tanjung, berarti dari segi kultur  budaya, adanya penyalahgunaan budaya. Maka hal ini sangat riskan sekali, bila Tanjung Balai dikotori patung. Kami meminta kepada pemerintah harus melaksanakan kesepakatan yang telah ditandatangani sewaktu Muspida Plus,” ungkapnya.

Hal seperti ini juga terdengar ketika kami mewawancarai seorang pemuka agama Islam. Sahlan Sitorus kami temui usai sholat Jum’at di Masjid Raya Ahmadsyah, yang merupakan anggota MUI Tanjung Balai. Sahlan mengatkan bahwa karena adanya patung di atas vihara, maka Tanjung Bali ini terlihat seperti kota musrik. “Izin mendirikan bangunan ada, tapi izin patung mereka tidak ada. Ada empat orang yang datang di Muspida Plus. Pihak Vihara Tri Ratna diajak rapat sama walikota. Nama juga sudah didesak walikota orang itu,” tegasnya.

Surat Kesepatan Bersama tentang penyelesaian permasalahan patung Buddha Amitabha yang berada di atas Vihara Tri Ratna Kota Tanjung Balai. Surat itu ada tiga lembar.

Menyatakan, Kesatu memindahkan posisi patung Buddha Amitabha yang berada di atas atau atap vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai ke tempat lain yang tetap terhormat tanpa mengurangi penghormatan terhadap keberadaan patung tersebut. Kedua, pemindahan posisi patung Buddha Amitabha sebagaimana dimaksud pada dictum Kedatu dilakukan oleh pengurus Vihara Tri Ratna Tanjungbalai. Ketiga, pemindahan posisi patung Buddha Amitabha ini demi menjaga kerukunan umat beragama di Kota Tanjungbalai

Surat tersebut dibubuhi Sembilan tanda tangan. Walikota Tanjungbalai saat itu Dr.H.Sutrisno Hadi,Sp.Og, Wakil Ketua DPRD Kota Tanjungbalai Surya Darma.AR, Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungbalai Herry Sunaryo,SH, Wakapolres Tanjungbalai Napitu Kompol/NRP750108, Dandim 0208/Asahan Letkol (Inf) Herry Christianto, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Tanjungbalai H.Ahmad jais, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tanjungbalai Drs.H.Datmi Irwan, Ketua MUI Kota Tanjungbalai yang diwakili oleh H Syahron Sirait dan Ketua Yayasan Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai Suwanto Saimah.

Muspida Plus dilaksanakan pada hari Selasa, tapatnya tanggal 3 Agustus 2010. Ada penandatangan surat yang berjudul “KESEPAKATAN BERSAMA” saat muspida dilaksanakan.

Terdapat unsur pemaksaan dalam penandatanganan surat yang diberikan sewaktu Muspida Plus.

Sujadi merupakan seorang dari empat orang yang hadir dalam Muspida Plus. “Waktu itu kami dipaksanya di Muspida plus. Waktu kesepatan kita ikut. Kita agama Buddha dipaksa untuk tidak mengorbankan. Jangan sampai ada korban,jangan sempat ada korban,” ungkapnya di dalam lokasi Vihara.

Ia berkata sambil terbata-bata. Kami terdiam mendengar keluhan Sujadi.
“Personil kita tidak cukup, sempat ada korban personil kita tak cukup. Sampai didalam kami pikirkan, mengambil korban itu, agama Buddha tidak boleh mengambil korban. Begitu keluar suratnya keluar langsung kita tanda tangani. Waktu Muspida plus, datang untuk musyawarah langsung dikasih surat dan tanda tangan,” tambahnya.

Lelaki yang memiliki kulit putih keriput serta ada bintik-bintik hitam di kulit tangannya akibat dimakan usia menjelaskan keadaan saat Muspida Plus. “Penandatanganan langsung di Muspida Plus. Didepan orang dari Kodim, Jaksa, Polisi, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) serta  tokoh-tokoh agama,”

“Kita takut dan menjaga, tak mau ada korban lagi seperti peristiwa tahun 98. Karena tahun 98 dulu, orang China dihantam rumah-rumahnya,”

Dengan adanya penandantangan Surat keputusan Bersama yang dilaksanakan pada tanggal 3 Agustus 2010, hal tersebut telah menunjukkan adanya diskrimisnasi pada Kaum Buddha.

Selanjutnya, Direktur Aliansi Sumut Bersatu (ASB) Veryanto Sitohang menyatakan, ASB mengecam, mengutuk keras dengan tegas tindakan tersebut. “Seharusnya pemerintah mengormati kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan dan mendirikan rumah ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 29. Saya juga sangat berharap agar pemerintah memperhatikan hak-hak kaum minoritas. Sudah sangat jelas bahwa surat kesepakatan bersama yang telah ditandatangani untuk menurunkan patung tersebut melanggar hak asasi manusia,” jelas Veryanto.

Patung Buddha Rupang tersebut berada di lokasi Vihara. “Patung itu ada di lokasi paling atas vihara, bukan berada di luar, dan bila diketahui, bahwa menurut ajaran agama Buddha, patung Buddha harus diletakkan di posisi paling atas,” tambahnya.

Apa yang akan terjadi bila Salib yang berada bangunan teratas gereja diturunkan?
Serta apa jadinya bila Bulan dan Bintang yang ada di atas masjid diturunkan?

Setiap umat beragama berhak menjunjung tinggi agama yang mereka miliki, tak tidak boleh ada pihak manapun yang menentang dan yang melarang. Kebebasan untuk memeluk agama, kebebasan untuk menjalankan agama, kebebasan untuk memiliki rasa aman dalam memeluk agama pun harus kita jaga.

AGAMA BUKANLAH HAL YANG PERLU DIPERDEBATKAN


Pemeluk agama Islam terbanyak berada di 18 kota dan kabupaten Sumatera Utara yakni di Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Langkat,  Asahan, Deli Serdang, Labunan Batu, Medan, Serdang Bedagai,  Sibolga, Tanjung Balai, Binjai, Tebing tinggi, Padang Sidempuan, Batubara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu Utara, dan Labuhan Batu Selatan.

Agama
Jumlah
Persentase
Islam
8.403.997
65,46 %
Kristen Protestan
3.417.574
26,62 %
Katolik
   613.674
   4,78 %
Buddha
    362.042
   2,82 %
Hindu
     23.109
    0,18 %
Lain-lain
      17,974
    0,14 %


Sementara umat Kristen terbanyak di sembilan kota dan kabupaten Sumut yakni Tapanuli Utara, Nias, Nias Selatan, Karo, Dairi, Toba Samosir, Samosir, Pakpak Barat, dan Humbang Hasundutan. Sedangkan jumlah umat Islam dan Kristen hampir berimbang berada di Tapanuli Tengah dan Pematang Siantar.

Bangunan Rumah Ibadah
Jumlah
Masjid
9.199
Mushollah
10.325
Gereja Kristen
10.277
Gereja Katolik
2.124
Kuil
63
Vihara
367
Cellya
77
Jumlah Rumah Ibadah
32.432

Pemeluk agama Islam terbanyak berada di 18 kota dan kabupaten, yakni di Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Langkat, Asahan, Deli Serdang, Labunan Batu, Medan, Serdang Bedagai, Sibolga, Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi, Padang Sidempuan, Batubara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu Utara, dan Labuhan Batu Selatan. Sementara umat Kristen terbanyak di sembilan kota dan kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Nias, Nias Selatan, Karo, Dairi, Toba Samosir, Samosir, Pakpak Barat, dan Humbang Hasundutan.
Sedangkan jumlah umat Islam dan Kristen hampir berimbang berada di Tapanuli Tengah dan Pematang Siantar.

 Catatan Perjalanan
Jumat, 8 April 2011

Selasa, 12 April 2011

Warga Nelayan Kampung Seberang : Kami Ingin Tetap Menjadi Warga Medan

Belawan | Jurnal Medan
Terkait pemekaran yang hendak dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap Medan Utara, warga Kecamatan Medan Belawan khususnya Kelurahan Belawan I, Kampung Nelayan Seberang belum mengetahui hal tersebut.
Ngatini (42) warga Kampung Nelayan yang mendirikan rumah papannya diatas air mengatakan bahwa ia belum mengetahui akan niat pemerintah terhadap daerah yang dihuni mereka.
“Saya belum tahu tentang pemekaran itu, tapi kalaupun dimekarkan kami tetap adalah warga Medan. Memang tanah yang kami tempati ini adalah tanah Kabupaten Deliserdang, tapi kami ini warga Medan dan memiliki KTP Medan,” jelasnya.
Kepala Lingkungan XII Kelurahan Belawan I Safarruddin mengatakan bahwa ia mengetahui pemekaran tersebut. “Sekarang ini saya menangani 525 KK, saya hampir kebingungan menangani semua keluhan warga. Sekarang ini lingkungan belum bias dibagi, karena belum ada pemekaran. Jadi agar saya tidak kelabakan, saya jadi menggunakan orang untuk membantu saya menangansi semua keluh kesah warga saya,” pungkasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa daerah banyak warga pendatang dari Medan. “Karena sewa rumah mahal di darat, jadi ada sebagian warga yang menyewa rumah di pesisir. Anak-anak disini banyak yang putus sekolah karena tidak mampu dan kurangnya niat anak untuk sekolah. Pasalnya anak-anak disini lebih banyak memilih membantu orang tuanya untuk mencari nafkah,” imbuhnya.
Ditempat terpisah, Ketua DPC HNSI Zulfahri Siagian menyatakan penduduk yang berdomisili di Kampung Nelayan Seberang ada sebanyak 600 KK adalah nelayan yang sangat berkeinginan untuk menjadi masyarakat Medan yang ditandai dengan KTP yang dimiliki walaupun tanahnya milik Deliserdang.
“Masyarakat daerah tersebut sangat tertinggal dalam masalah air bersih sedangkan sumur bor yang digunakan saja banyak yang tidak berfungsi. Hal ini harus diperhatikan pemerintah,” ungkapnya