Jumat, 03 Agustus 2012

Bangkai Pluralisme di Aceh


Matahari menyengat tajam menerawang jauh ke tanah Aceh. Aroma ketakutan semakin akrab. Selasa pagi, ibu-ibu melantunkan doa dan kidung pujian kepada Sang Pencipta. Tetap pada awal bulan di Hari Selasa, 1 Mei 2012. Aceh Singkil dipenuhi teriakan.

Lantun tangisan para ibu hanya menjadi tontonan. Menangis sampai suara serak. Pakaian yang mereka kenakan basah, bercampur antar keringat dan air mata. Jumlah ibu-ibu itu berkisar 60 orang.

 “Tuhan… Tolong kami... Tolong… Jangan tutup gereja kami,” jerit para wanita yang berada di halaman Gereja Kristen Protestan Pak-pak Dairi (GKPPD) Siatas. Jeritan itu semakin menjadi-jadi saat penyegelan dilakukan.

Tampak juga beberapa ibu, menangis sesak menahan beban di dada. Aksi penyegelan dilakukan oleh rombongan MUSPIDA, MUSPIKA berserta FPI Aceh Singkil dan Satpol PP. Jeritan para wanita menghiasi penyegelan gereja.

“Jangan… Kami mau beribadah dimana???” jerit wanita yang rambutnya memutih sambil menepuk-nepuk dadanya.

Tak lama kemudian sangkin histerisnya, ada seorang ibu yang tersungkur jatuh di atas tanah dengan kondisi menengadah ke langit seolah meminta keadilan. Ibu yang tersungkur di atas tanah itu digotong perlahan oleh ibu-ibu sambil menahan tangis yang tak terbendung saat menyaksikan rumah ibadahnya disegel.

Tak tanggung-tanggung, aksi penyegelan itu bukan hanya terjadi di satu gereja. Lima gereja yang berdiri tegak berhasil dikeringkan oleh tim MUSPIDA, MUSPIKA berserta FPI Aceh Singkil dan Satpol PP. Hal yang serupa terjadi pada empat gereja berikutnya. umat Kristiani yang menyaksikan rumah ibadah hanya dapat berdiam menahan sesak bercampur ketakutan.

Perlawanan fisik yang kuat tak ada dilakukan oleh umat Kristiani saat menyaksikan di depan mata sendiri, gereja tempat berbicara dengan Sang Pencipta disegel. Mereka hanya bisa menjerik dan berteriak dan mencari dimana keadilan.

Adapun lima gereja yang disegel pada Selasa, 1 Mei 2012 adalah GPPD Biskam di Nagapaluh, Gereja Katolik di Napagaluh, Gereja Katolik di Lae Mbalno, JKI Sikoran di Sigarap dan GKPPD Siatas.

Setelah FPI bersama MUSPIDA, MUSPIKA beserta  Satpol PP merasa berhasil menyegel empat gereja pada 1 Mei maka mereka beraksi pada Kamis, 3 Mei 2012 dan berhasil menyegel 11 rumah ibadah yakni GKPPD Kuta Tinggi, GKPPD Tuhtuhen, GKPPD Sanggabru, JKI Kuta Karangan, HKI Gunung Meriah, Gereja Katolik Gunung Meriah, GKPPD Mandumpang, GMII Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, GKPPD Siompin dan rumah ibadah Pambe – agama lokal/ aliran kepercayaan.

Oknum yang mengatas namakan agama Islam ini masih tidak merasa puas walau telah menyegel 16 rumah ibadah. Mereka kembali ke GKPPD Siatas yang telah disegel pada tanggal 1 Mei, mereka datang untuk memrobohkan pagar gereja. Mereka menghancurkan Rumah Tuhan, layaknya manusia yang tak mengenal Tuhan.

Kini 10 ribu umat Kristiani mencoba mengobati luka ketakutan. Luka itu tercipta karena tidak tegasnya pemerintah terhadap peraturan yang ditegakan. Saat oknum yang mengatas namakan agama mayoritas mengancam kaum minoritas, pemerintah malah menuruti perkataan tersebut. Pemerintah ini, ibarat lebih takut dengan okum yang mengatas namakan agama dari pada Undang-undang  yang jelas keberadaannya.

Akibat penutupan yang dialami gereja, maka umat Kristiani mengalami kesulitan untuk beribadah. Merasa terancam. Trauma akibat penyegelan masih melekat tajam dalam pikiran. Sepuluh ribu umat Kristiani merasa takut untuk beribadah dan melaksanakan ibadah setiap minggu. Ketiadaan gereja yang dapat dihuni bersama ibadah mingguan menjadi kendala utama ditambah dengan ancaman akan perobohan gereja.

Selain gerbang gereja digembok, tembok gereja juga ditempeli pamflet yang berbunyi bahwa dalam 3 x 24 jam, pemerintah kabupaten harus membongkar bangunan gereja tersebut. Pamflet yang ditempel pada dinding adalah ancaman yang berasal dari pemerintah sendiri.

Kini umat Kristiani melaksanakan ibadah mingguan dengan sembunyi-sembunyi. Seakan Negara Indonesia bukanlah negara beragama yang membiarkan warga Negara dengan bebas warga negaranya memeluk agama yang diyakini tanpa adanya paksaan dan ancaman dalam melaksanakan ibadahnya. Namun kesulitan dan ketakutan untuk beribadah kini ada.

Tepat hari Minggu, usai penyegelan, Minggu 6 Mei 2012, Gereja Katolik Napagaluh melakukan Kebaktian Minggu di halaman rumah seorang Majelis Gereja (Vorhanger) dan GMII Mandumpang melaksanakan Kebaktian Minggu di halaman Taman Kanak-kanak (TK) Tunas Harapan Bangsa karena ketakutan terhadap penyegelan Tim Monitoring pemerintah.

Sedangkan umat Kristiani lainnya, terkurung dalam ketakutan dan lebih memilih untuk tidak beribadah karena tidak adanya jaminan keselamatan dari ancaman.

Peraturan yang Melanggar
Gerombolan yang melakukan penyegelan tersebut menggunakan dalih Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tentang Rumah Ibadah yang tertera dalam; Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil Nomor 2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara komunitas Islam dan Kristen dari tiga kecamatan di Aceh Singkil (Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Gunung Meriah, dan Kecamatan Danau Paris) yang diteken pada 11 Oktober 2001.
Surat perjanjian itulah kini menjadi pemantik penyegelan gereja. Dalam surat tersebut disepakati bahwa komunitas Kristen hanya boleh mendirikan satu gereja dan empat undung-undung (kapel atau tempat doa) di Aceh Singkil.

Pembatasan jumlah gereja dan penyegelan yang terjadi serta ancaman pembongkaran gereja mengakibatkan Umat Kristen dan agama minoritas lainnya merasa tertekan dan terancam. Kondisi ini membuat hak masyarakat atas jaminan kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan tidak terpenuhi bahkan dirampas oleh pengambil kebijakan. Hal ini bertentangan dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia UUD 1945 khususnya Pasal 28 dan 29 dan melanggar UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 4 dan 22.

Bila pemerintah daerah berpatokan pada perjanjian sebelumnya yakni perjanjian yang dibuat pada tahun 1979 lalu diperkuat dalam Pernyataan Bersama Umat Islam dan Kristen tahun 2001yang mengharuskan umat Kristen hanya bebas mendirikan satu gereja dan empat undung-undung (rumah ibadah kecil sejenis mushola pada umat Islam).

Perjanjian tersebut selain diskriminatif, intoleransi dan bertentangan dengan konstitusi dan HAM karena dalam implementasinya ternyata selain membatasi pendirian gereja, juga adanya  pelarangan kunjungan rohaniawan Kristen (pastor/pendeta) ke wilayah Aceh Singkil untuk melaksanakan tugasnya.

Pemerintah seharusnya tidak bisa didikte atau dikendalikan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang anti toleransi dan HAM.  Penyegelan rumah ibadah di Aceh Singkil terbukti melanggar keamanan publik, ketertiban publik, kesehatan  publik, moral publik, dan hak-hak dan kebebasan mendasar orang lainnya sebagaimana telah diatur di dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 hasil Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik terutama pasal 18 ayat (3).

Kasus penyegelan gereja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Menteri Agama harus turun tangan. Bila ini terus dibiarkan, maka akan muncul fenomena dimana kelompok minoritas merasa tidak aman dalam beribadah. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan konstitusi yang secara jelas melindungi hak warga untuk beribadah. Jika ini dibiarkan maka ungkapan pluralisme hanya tinggal bangkai bagi Aceh.

Dan sampai tulisan ini diterbitkan, gembok-gembok yang digunakan untuk menyegel masih tancap dan melekat kuat pada gerbang dan pintu-pintu gereja.

1 komentar:

  1. PRIHATIIINN...!!!
    SETELAH67 TAHUN MERDEKA KOK JADI MAKIN SUSAH UTK BERIBADAT YAACH...???

    BalasHapus