Kamis, 04 Agustus 2011

Rel Melintang, Kereta Berjalan

Kebimbangan
Tapi tanpa aku sadari aku sudah melangkah majun ke dunia profesi ini. Berjalan di atas rel dengan gerbong yang akan membawaku pada hal-hal yang tidak aku temukan di diktat yang dibelikan oleh orang tuaku dengan peluh keringatnya.

Berbicara tentang peluh keringat dan tetesan air mata. Aku merasa seperti menambah beban pikiran kedua orang tuaku saat aku menaiki gerbong yang membawaku pada sebuah ketentuan. Ah..Tak ada yang perlu dipertanyakan. Tak ada yang perlu disesalkan. Alangkah baiknya akan kubunuh segudang pertanyaan yang berasal dari ubun-ubunku.

Sampai saat ini pun aku masih menikmati gerbong ini, walau sebagian orang disekitarku meneriaki aku, berteriak dan berharap agar aku dapat berhenti di stasiun perhentian dan mencari rel yang membawa pada titiknya nyaman kaum awam.

Namun, saat aku memejamkan mata sejenak. Aku dapat tersenyum sendiri dengan profesiku ini. Walau saat ini aku adalah seorang anak gadis yang berusia 21 tahun, gadis dengan tubuh yang langsing, rambut gondrong dan senyum lebar bagai iklan odol kayak ditipi-tipi, senyum yang mengundang ucapan centil bagi kaum Adam. Walau mata terpejam, sekilas bibir tersenyum namun hati hendak menangis atas rasa yang terlalu banyak tahu akan keadaan miris disekitarku.

Kadang menangis kadang tersenyum. Kadang tertawa kadang merintih. Kadang membentak kadang dibentak. Kadang mengusir kadang diusir. Kadang mengancam kadang diancam. Kadang menangis melihat mereka tertawa, kadang tertawa melihat mereka tertekan. Banyak rasa yang telah aku alami disini.

Mungkin saat aku ditugaskan untuk mengambarkan sesuatu yang dapat mendeskripsikan keindahan perjalanan di gerbong ini, mungkin aku akan sesegera mungkin meremukkan kertasnya dan mengembalikannya. Mau tahu kenapa, karena tak ada bentuk apapun yang dapat mengambarkan keindahan apapun dalam perjalanan gerbong ini. Gerbong tetap melaju sepanjang rel panjang masih melintang.

Penuh rasa, penuh sejuta tantangan. Sempat aku berfikir tentang hal yang sering kualami. Duduk satu ruangan dengan orang-orang nomor satu, satu meja dengan orang-orang berdasi, saling berjabat tangan dengan orang-orang sekolahan tinggi.

Sontak aku tersadar dalam pejamku...

Pertemuan-pertemuan mengatas namakan kepentingan rakyat di tempat berkelas, paling banyak menghabiskan biaya. Duduk di ruangan dingin, sedangkan rakyat berpanas ria mencari sesuap nasi dan memenuhi tanggung jawab pada negara. Tertawa menikmati kemewahan pertemuan yang mengatas namakan rakyat, namun rakyat menjerit dengan air mata berurai minta diperhatikan. Menikamati berbagai hidangan disela-sela pertemuan yang juga masih mengatas namakan rakyat, namun masih banyak anak-anak balita yang menderita gizi buruk. Apa-apaan ini semua?

Saat ini aku dapat merasakan keadaan dua alam, duduk bersama orang yang merasa sok hebat, dan duduk bersama rakyat. Melihat tangis mereka, melihat rintihan anak mereka yang menderita gizi buruk. Ketika mata memandang kondisi nyata itu, telapak tangan hanya mengelus lengan sang ibu dan berkata, "Sabar ya bu." Telapak tangan yang mengelus tubuhmu yang penuh akan kuatir tentang anakmu, maka tangan ini juga yang akan memegang senjata agar keadaan seperti mereka lbih diperhatikan melalui ujung pena.

Akan ku gambarkan keadaan ini pada mereka yang berdasi dan berharap agar mereka orang yang hebat tersebut menyisikan waktunya untuk membaca. Membaca dan melihat rakyatnya.

Menggeram dalam pejam di gerbong yang masih tetap berjalan. Resah melihat semua ini! Banyak hal yang tak terungkap, namun mata memandang ke semua sudut!

Terlalu berisik suara di luar gerbong. Spontan aku terbangun, terbangun karena berkeringat saat menutup mata dan terbangun akibat terikan mereka yang masih terngiah di telingaku. Dan sampai sekarang pun aku masih di gerbong yang melaju, belum tahu berapa panjang rel yang akan dilalui dan belum tahu dimana titik istirahat maupun titik perhentian. Namun masihn terasa telapak tangan yang mengelus lengan penuh bertubi-tubi rasa khawatir.

Kereta masih tetap melaju.