Jumat, 03 Agustus 2012

Beras Pulut Lintas Agama

Keanekaragaman itu indah. Laksana warna yang berbeda-beda ditangan pelukis maka ia melahirkan lukisan yang indah. Ibarat alunan melodi yang menghasilkan simponi nan merdu. Demikian juga keanekaragaman manusia, suku, ras, budaya maupun agama jika warna itu dipadukan dengan tepat, maka akan membentuk mozaik kehidupan yang indah.

Warna yang berbeda bisa semerawut jika menciptakan coret-coret yang kacau. Saat mengikuti pelatihan jurnalistik di salah satu hotel yang berada di Berastagi, saya berkenalan dengan tiga teman dari Singkil, Aceh.

Mereka datang dari Aceh dengan membawa harapan agar rumah ibadah mereka dapat mereka fungsikan kembali tanpa ada intimidasi dari pihak manapun. Kini warna yang berbeda itu sedikit acak-acakan di Aceh Singkil. Keharmonisan mulai pudar.Bergesekan dan memanas.

Keharmonisan ini rusak karena adanya kasus-kasus intoleransi yang terjadi sehingga meungkinkan terjadi konflik. Sekarang kebersamaan dan kekeluargaan mulai merenggang anta umat. Disela-sela pelatihan sambil menikmati hidangan kue dan secangkir kopi di atas meja bertaplak merah. Teman-teman baru saya dari Aceh merasakan kerinduan akan kue Hari Raya.

Tahun 1990, ternyata tradisi merayakan pesta kemenangan agama lain adalah suatu kenangan yang sangat membekas indah dalam benak mereka. Saat Umat Muslim merayakan Hari Raya maka pada saat hari kemenangan itu, Umat Kristiani datang melakukan kunjungan ke rumah-rumah yang merayakan Hari Raya Idul Fitri dan memberikan satu selampis (Bahasa Batak Karo artinya tandok, anyaman yang terbuat dari daun nipah)

“Selampis itu biasanya diisi dengan beras pulut, gula, minyak makan terkadang kelapa. Itu nantinya akan diolah keluarga yang menerima kembal menjadi lemang, wajid, kembang loyang dan kue.”

Itu masih ia rasakan saat ia duduk di bangku sekolah dasar, sekitar kelas III sampai kelas VI SD.  Hal dilakukan Umat Kristiani saat Umat Muslim merayakan hari kemenangan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Begitu juga sebaliknya, saat umat Kristiani merayakan hari kemenangan, mereka yang umat Muslim datang ke rumah umat Kristen kala tahun baru. Saat itu kegiatan tatap muka, duduk bersama dan saling berceritan, tanpa memandang siapa pun, dari agama manapun.

Semua peserta pelatihan seketika menjadi takjub, hening. Hanya ada suara peserta dari Aceh dengan suara yang merindukan kebersamaan di kampungnya.

Merindukan beras pulut lintas agama.

“Wah…ternyata dulu di Singkil sangat luar biasa harmonis ya!” ketus salah seorang peserta.

Selampis dibawa sebagai oleh-oleh sekaligus ungkapan turut berbahagia kala merayakan hari kemenangan. Kembali mereka mengalirkan kisah indah yang mereka alami. Ternyata, apresiasi merayakan hari kemenangan lintas agama itu tak hanya dengan berbagi selampis. Masyarakat Aceh Singkil juga sempat melakukan makan bersama di los (Bahasa Batak Karo artinya pekan). Los di Aceh Singkil dibuka setiap Hari Selasa. Saat Hari Raya, Umat Muslim mengundang melalui Mukim (camat) untuk mengundang masyarakat kampung, mulai dari umat Kristen Protestan, Khatolik bahkan umat yang memiliki kepercayaan leluhur turut hadir saat makan bersama kala Hari Raya. Dan itu semua didanai oleh Umat Muslim.

Serupa, tahun baru juga kegiatan itu juga saling berbalas. Umat Kristiani mengundang seluruh masyarakat kampung, tak terkecuali siapapun untuk dapat hadir mengikuti makan bersama, namun bedanya umat Kristiani memberikan bahan mentah kepada umat Muslim seperti beras, kambing, ayam dan bahan lainnya agar diolah menjadi makanan saat makan bersama. Ini dilakukan untuk menjaga kebersamaan, dan saat itu juga bergantian, Umat Kristianilah yang mendanainya.

Bukan hanya umat Kristiani maupun Muslim yang memiliki hari kemenangan, namun undangan juga datang dari Umat Parmalim. Pada Maret, umat Parmalim mengundang masyarakat kampung dari agama apapun untuk makan bersama di hari kemenangan umat parmalim.

Sambil melayangkan bola matanya ke atas seraya kembali mengingat masa makan bersama di los. Makanan akan banyak bila masyarakat setempat sedang panen, bila panen maka akan makan daging lembu, kalau lagi tak panen, biasanya masak daging kambing dan ayam.

Sekitar tahun 1990, los yang berada di Singkil masih terbuat dari kayu. Tanpa cat. Tiang penyanggah terbuat dari kayu yang masih bulat. Bagian meja terbuat dari kayu yang dibelah membentuk persegi, sedangkan atapnya terbuat dari daun rumbia. Semua ada di saat los buka. Mulai dari gula, kelapa, tepung, sayur-sayuran, buah-buahan, pala dan bumbu-bumbu dapur lainnya. Uniknya saat dipekan, beras dijual dalam bamboo besar. Bambu yang bermuatan dua liter dan dijual seharga Rp. 500.

Keadaan itu masih sempat mereka rasakan. Namun keadaan los 20 tahun lalu tak lagi sama dengan los di era ini. Kini los sudah terbuat triplek dan dimodifikasi dengan broti-broti kayu penuh dengan cat dan beratap seng.

Los di Aceh Singkil adalah saksi bisu perayaan hari kemenangan lintas agama yang dihiasi dengan cerita sampai mengundang tawa mengoncang perut. Makan bersama, dudul di lantai los, saling mengover mangkok yang berisi daging ke orang-orang yang disebelah kanan maupun kiri, tanpa melakukan diskriminasi agama dan suku. Teko yang berisi air juga mengisi setiap gelas-gelas kosong, dan air dari teko tidak pernah tak keluar karena perbedaan agama dan suku.

Kuali tempat memasak daging dan dandang tempat memanak nasi untuk orang satu kampong mungkin merindukan kembali dan bertanya, “kapan kami dipakai untuk memberi makan satu kampong?”

Ember timba kecil dan mangkuk-mangkuk plastik tempat cuci tangan, piring-piring kaleng berisi nasi, daging dan sayur. Serta gelas-gelas dengan air yang sempat berkumpul di sungai, pasti merindukan mandi bersama dan elusan tangan-tangan perempuan yang ikhlas hatinya untuk berbincang di pinggir sungai sambil membasuh peralatan makan telah digunakan.

 Apakah tuan dan puan tak merindukan masa itu?

“Ketika cinta itu mulai pudar, ingat aja saat-saat ini, saat dimana cinta kita begitu berbunga, saat-saat indah yang kita lalui bersama, sehingga ingatan itu akan memekarkan kembali cinta yang pudar itu.” Sepenggal kalimat yang dikatakan oleh tokoh pria pada tokoh wanita pada sebuah film cinta. Benar, ingatan akan cinta yang begitu indah bisa menumbuhkan kembali rasa yang mungkin mulai hilang di hati seseorang.

Demikian juga pada kasus yang terjadi di Aceh Singkil ini. Cinta yang mulai layu, keharmonisan yang mulai memudar, rasa kekeluargaan yang semakin menjauh, dan kebersamaan antar umat beragama yang mulai bergesekan. Namun, seperti adegan percintaan diatas, mungkin ingatan akan kehangatan persaudaraan dan keharmonisan bisa kembali pulih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar