Jumat, 03 Agustus 2012

Ngerinya Negri Indopahit...


Ini adalah tulisan yang penulis buat ketika merasakan radikal mulai mengalir di Sumatera Utara. Yah…kita katakan saja perbedaan agama yang mulai mayoritas dan minoritas itu mulai menjadi-jadi di Sumatera Utara (Sumut), apalagi di Kota Medan.
Sadar tidak sadar, bahwa sebelumnya karena keakraban, kasih dan hidup dalam perbedaan yang harmonis, Sumut dikatakan sebagai “miniatur Indonesia”.

Tapi kini? Keharmonisan heterogen itu mulai pudar. Jangan katakan racun yang berada di Pulau Jawa yang setiap harinya kita lihat di media cetak dan televisi selalu saja menyorot nasib siminor atas ulah simayor. Jangan katakan virus itu sudah sampai ke Provinsi Sumatera Utara ini.

Walaupun, dikatakan kita harus menjaga keberagaman, menghormati hak-hak agama lain, tapi detik ini itu tinggal kata. Jangan menutup mata bung, intoleransi beragama terjadi untuk ke sekian kali di provinsi “miniatur Indonesia” ini.

Terbukti dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Aktivitas keagaamaan Konghucu ditolak oleh segelintir orang yang mengatas namakan agama mayoritas.
Protes terhadap batalnya Kongres Internasional Agama Konghucu di Medan yang seharusnya digelar pada 22-26 Juni 2012, sudah sampai ke seluruh penjuru dunia dan semakin membuktikan kalau Indonesia memang tidak toleran.
Ada beberapa alasan yang dilontarkan. Oknum yang mengatas namakan agama Islam mengatakan bahwa acara itu tidak layak digelar di Medan karena penganut agama Kongkucu sangat sedikit. Tentu alasan ini tidak berpijak pada hukum. Sekecil apapun jumlahnya, mereka harus mendapatkan hak yang sama di mata hukum
Sebelumnya, di Tanjung Balai, protes terhadap rumah ibadah pernah terjadi pada Vihara Tri Ratna. Saat itu umat Buddha di Tanjung Balai mengalami ketakutan karena protes yang dilakukan segelintir masyarakat yang mengatas namakan agama. Bukan hanya itu, pimpinan tertinggi Vihara Tri Ratna dipaksa untuk menandatangani surat kesepakatan untuk tidak meletakkan patung pada tempat paling tinggi. Padahal, sebelumnya, pembangunan dan pemugaran vihara tersebut didukung oleh masyarakat setempat yang mayoritas muslim.
Segelintir orang itu mengatas namakan nilai-nilai kemusliman dan Melayu yang berada di Tanjung Balai pudar akibat vihara tersebut. padahal sebelumnya sejak tahun 1970-an vihara itu telah berdiri di Tanjung Balai. Konflik tersebut telah terjadi sejak dua tahun lalu. Pembiaran akan konflik itu kerap terjadi. Tak ada satu pasal pun yang dilanggar. Tak ada pelanggaran hokum. Dimana aparat keamanan?
Peristiwa di Tanjung Balai ini hampir sama dengan Kongres Internasional Konghucu, dengan alasan mengesampingkan kearifan local, menghilangkan nilai agama mayoritas. Ini adalah alasan yang aneh yang sangat melompat dari logika dan nalar berpikir saya. Apakah agama juga produk lokal?
Dimana Aparat Keamanan?
Ketika ancaman, tekanan dilakukan oleh segelintir orang terhadap masyarakat untuk menjalankan kegiatan keagamaannya, dimana aparat keamanan kita? Penulis yakin mereka tidur, tapi kenapa pembiaran kerap terjadi. Bukan hanya pembiaran, bahkan lebih parahnya lagi, mereka lebih mendukung pihak yang melakukan penekanan.
Inilah hukum Indonesia. Setiap pihak manapun berhak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Perlindungan jangan hanya diberikan kepada pihak yang lebih banyak massanya. Telah tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 dan 29 bahwa negara menjamin setiap warga negara untuk bebas berserikat dan menjalankan agamanya. Keberadaan polisi perlu dipertanyakan!
Padahal Konghucu adalah satu dari enam agama yang diakui Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No 6 Tahun 2000. Dengan adanya pembatal, ketika salah satu agama dilarang melakukan kegiatan agamanya oleh elemen tertentu, artinya negara telah gagal menjalankan tanggung jawabnya.

Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Moh. Hatta mengucapkan “Lakum Dinukum waliyadin yang artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku, maka umat Islam harus menghormati dan melindungi agama apa pun.” Menurutnya dalam Islam tegas dan jelas dijelaskan tentang kerukunan umat beragama.

Namun, keberadaan kelompok yang mengatas namakan agama Islam semakin bertambah, bak jamur di musim hujan. Lahirnya kelompok-kelompok radikal yang terus saja menekan minoritas dan juga melakukan penekanan terhadap aparat keamanan, yang sudah teruji nyata bahwa radikalisme yang lebih diutamakan daripada orang-orang yang lebih terancam keselamatannya.

Apapun alasannya, dunia sudah menyoroti Indonesia sebagai negara yang sangat mudah dihina dan dilecehkan sekaligus sebagai negara yang tidak toleran. Laporan Indonesia terhadap dewan HAM PBB tidak perlu lagi dibantah, karena kejadian yang satu ini mengamini laporan tersebut. Mau bagaimana lagi?
Dan yang paling disayangkan bahwa negara tidak boleh turut campur dalam agama yang diemban oleh masing-masing warga negara. Kini Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang perizinan mendirikan rumah ibadah sudah ada di hadapan kita. Ini bukti peraturan yang melanggar konstitusional. Kendati Peraturan ini tidak sesuai dengan Seputar Ijin Mendirikan Rumah Ibadah prinsip-prinsip HAM, terutama kebebasan beribadah, kita berharap peraturan ini bisa membantu masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini menjalankan ibadahnya dengan baik. Kita tidak berharap Peraturan ini digunakan justru untuk menghalangi atau membatasi orang untuk beribadah. Kalau ternyata PBM ini lebih melancarkan pembangunan gedung-gedung ibadah sebagai wujud kerukunan otentik di antara warga, maka ia telah menjadi berkat bagi negeri ini. Kalau sebaliknya, maka PBM ini mesti ditinjau kembali, bahkan dicabut.

Beragam sikap dalam menyikapi terbitnya peraturan ini. Pun gereja-gereja dalam lingkungan PGI. Salah satu kekuatiran yang mengemuka adalah kemungkinan digunakannya Peraturan ini sebagai instrumen baru untuk menghalangi penggunaan rumah, ruko dan bangunan lain sebagai tempat beribadah sementara. Hal serupa telah menjadi pengalaman di berbagai tempat dalam penerapan SKB nomor 1/1969. Oleh karenanya berkembang wacana di kalangan berbagai pihak yang hendak mengadakan judicial review, class action, unjuk rasa, bahkan pembangkangan sipil. Semua ini tentu harus dihargai.

Kiranya permasalahan di seputar pendirian rumah ibadah sejak diterbitkannya SKB nomor 1/1969 hingga dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomo 8/2006 dan 9/2006. Dengan sengaja draft pertama serta proses perkembangan draft tersebut disertakan dalam buklet ini. Kiranya bisa menjadi pembelajaran bersama bagi semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar