Selasa, 31 Januari 2012

Perjalanan Menuju Kuansing

Cita dan Cinta
Melancong ke Kuansing

Jumat, 20 Januari 2012

Tepat tiga bulan lalu tanggal ulang tahun sekaligus tanggal wisudaku. Moment yang sangat luar biasa, tanggal yang paling dinanti. Sukacita mengalir, syukur melimpah. Baju hitam dilengapi dengan toga, make-up yang dilengkapi dengan sanggul dan bulu mata. Tak lupa sepatu tujuh centimeter juga dikenakan.

Mungkin, akibat persiapan wisuda yang tidak matang, banyak kelalaian yang terjadi. Mulai dari handphone yang lowbet, baju mamakku yang lupa aku ambil, sehingga membuat dia mengambek.. Saya saling cari-carian dengan teman-teman,m bermodal telepati. Maklum saja handphone yang tidak dicas membuat hal ini terjadi. Kekasih hati dari provinsi lain juga menjadi terlantar karena hal ini.

Terimakasih dan suyukur yang melimpah untuk Kekasih Jiwa-ku (Tuhan Yesus Kristus). Terima kasih ya Bapa, trima kasih ya Yesus, trima kasih ya Roh Kudus. Banyak hal yang tidak terduga terjadi dalam hidupku.

Keberanian. Kejujuran. Ketulusan Hati. Rasa Syukur. Cinta. Keyakinan. Kepedulian

Januari adalah bulan yang penuh dengan keberanian. Banyak keputusan yang terjadi. Keputusan cepat, tepat dan berharap membawa kebaikan. Mulai dari menerima tawaran dari orang yang melihat sisi positifku. Membuat keputusan resign dari tempat kerjaanku dan berangkat ke Taluk Kuantan.

Modal nekad. Namun itu semua indah. Beli laptop dari gaji bulan November, THR dan gaji Desember. Sebelum beli laptop, ketepatan ada jam couple yang diskon, lalu tanpa piker panjang langsung saya telepon si Doi. Walaupun dibilangnya agak lebai, namun kebersamaan itu perlu. Setelah itu, laptop dicicil dengan harga  2,1 juta+ 1 rb= 2,2 juta.

Manis..

Merasa penuh sukacita saat merogoh kantung celana depan, kantung belakang, kantung baju dan seluruh cela tas untuk mencari uang lima ribu guna mengisi minyak untuk Satria Baja Hitamku.

Berharap uang dari tulisan buku cair, untuk modal ke Taluk Kuantan. Untung saja cair, 350 ribu. Alhamdullilah ya… Kan sudah aku bilang hidup ini manis.

Agak sedikit kesal sih. Rencananya aku ingin dijemput di PB, tapi dia menyarankan langsung ke Taluk Kuantan. Kan jauh kali perjalanan. Malah ongkos agak mahal lagi. Dasar Kau…. Pengen kena tumbuk juga ya…

Namun dengan menjalani semuanya itu akan menjadi indah. Tiba di loket pada pukul 14.30 WIB. Karena saya mendapatkan sms seperti ini “Info: ketaluk kuantan naek Makmur jm 4 sore dan jm 7 malam. Ongkos kurang lebih 160 ribu. Lebih baik brgkatnya jm 4 sore biar cept nyampek. Selamat menikmati. Thanks”

***

Saat di loket, saya bertemu dengan gadis yang mengenakan jaket abu-abu. Sepatu sport putih melekat di kaki gadis berambut sebahu, senyum menutupi luka perih yang ia simpan. Nina tamatan D3 asal Universitas Primagama jurusan kebidanan yang berada di Jalan Danau Singkarak. Nina Sinaga. Ia mengaku  bersedih, karena pacarnya telah meninggal. Ia telah mengenl pria tersebut sejak dari kecil.

“Dia selalu memanggilku dengan kata adek sedari kecil. Orangtuanya sudah kenal aku dan orangtuaku juga sudah kenal dengan dia,” ucapnya sambil menarik nafas. “Aku susah melupakannya kak. Dia meninggal tanggal 10 Januari, sedangkan ulangtahun aku 14 Januari. Hanya tiga bulan dia sakit dan itupun sudah dibawa ke berbagai rumah sakit yang berada di Medan ini Kak,”

Nina menunjukkan foto kekasihnya yang telah meninggal dari camera digitalnya. Tampak di foto itu ada seorang pria yang terlelap dalam peti dan di sampingnya tampak ada seorang ibu yang mengenakan ulos pada kepalanya dan handuk putih disibakkan menghapus air matanya. Ada juga beberapa inang-inang (dalam bahasa Batak, ibu-ibu) yang duduk bersila di lantai melihat sang Ibu yang menangisi anaknya dan ada juga inang yang memberikan kata-kata penghiburan

“Aku hanya dua kali melihat waktu dia meninggal, di pagi dan di malam. Aku tidak sanggup melihatnya saat penguburan. Aku sekarang meninggalkan Kota Medan hanya ingin meninggalkan bekas luka lama ini. Sekarang aku mau berangkat ke Pekanbaru.”

Tampak matanya masih berkaca-kaca mengenang kepergian kekasih yang ia sayangi. Serasa saya merasa bahwa semua yang ia ceritakan seperti adegan sinetron, namun ini adalah realita kehidupan yang tan dapat dipungkiri. Saya hanya bias mengatakan “Bersabarlah… Nanti kamu pasti akan temukan pria yang cocok.Buka diri dan buka hatimu.”

“Iya Kak. Tapikan semua pria tidak sama.”

“Tenanglah dik. Nanti pasti akan ada. Cukup kamu banyak-banyak berdoa saja.”

“Ah… Semoga saja kak.”

“Pasti nanti ada dik.”

“Sekarang ini sih ada laki-laki yang dekat dengan saya, itu teman dari pacarku kak. Dia melarang aku untuk berangkat. Ini bentar lagi dia datang,” ucapnya sambil mencari handphone dan membaca pesan masuk, seiring terdengar nada dari handphone monopoli. “Handphone ini pun kak pacarkau yang meninggal itu yang membelikan.”

“Baik dia ya. Dia yang sudah meninggal sudah tenang disana.”

“Iya kak. Dia baik sekali kak. Dulu sih aku punya hp, tapi karena di asrama tidak boleh menggunakan hp, jadi hp aku ditangkap. Biar kami bisa komunikasi, jadi dia belikan hp ini.”

Nina merasa sedikit legah setelah bercerita pada saya. Kembali lagi saya tanyakan, “berangkat jam berapa?”

“Jam lima kak. Tapi masih ada yang aku tunggu.”

“Ya sudah. Kakak ke belakang dulu ya. Karena bus kakak tidak kunjung datang.”

Saya pun mengangkat ransel sambil memegang bolu Meranti rasa keju di tangan kanan saya. Bertanya pada kernet bus. “Bang, mobi ke Taluk Kuantan mana?”

“Belum datang mobilnya.”

“Loh, inikan sudah jam lima sore pak.”

Kernet yang berada di stasiun Makmur tersebut langsung berlalu dan lalu-lalang dengan kesibukan yang ia miliki. Kembali lagi saya duduk dengan seorang pria yang aura Jawa kebon terpancar wajahnya. Tegur sapa kembali terjadi.

“Mau kemana?” tanya pria yang mengenakan baju kotak-kotak itu.

“Ke Taluk Kuantan, tapi busnya belum datang!”

“Berangkat jam berapa?”

“Jam lima.”

”Loh berangkat jam lima? Ini udah jam lima lewat 10? Coba Tanya lagi sama supir-supir situ noh, biar tidak kelewatan. Mana tahu bapak yang tadi tidak tahu.”

“Oh iya ya. Okelah,” ucapku sambil beranjak dari bangku.

***

Lima menit kemudian, bus tersebut langsung datang dan kernet tadi sempat saya tegur, langsung menyapa dan berkata, “Taluk Kuantan… Taluk Kuantan…”

Langsung aku masuk, tapi ternyata sebelum masuk, saya dicegat dulu oleh pria yang berkumis dengan handuk putih di lehernya, untuk menujukkan karcis. Lalu karcis itupun saya ambil.

Duduk di bangku nomor 4 adalah pesan dari pria yang menyayangiku. “Dek, nanti pilih bangku yang nomor empat ya, biar kakimu tidak bengkak. Karena di bangku nomor 4, kaki bisa diluruskan,” ucap Charly pada saat bertelepon.


Nekad adalah kata yang kini kulakukan. Saat aku duduk di bangku, sejenak aku berfikir. Apakah tidakan yang aku lakukan ini salah atau tidak? Apakah aku terlalu takut cintaku hilang sehingga aku harus mengejar dan menjumpai sang kekasih? Apakah aku terlalu murah sehingga, aku sebagai wanita harus menjumpai sang lelaki yang berada di seberang provinsi.

Sepanjang jalan, aku selalu mengingat lalu Sheila on 7 “Untuk Perempuan”
“Jangan mengejarnya. Jangan mencarinya. Dia yang kan menemukannmu. Kau ada diharinya… Tidaklah mawar hampiri kumbang, bukanlah cinta bila kau kejar. Tenanglah tenang..Diakan datang dan memungutmu ke hatinya yang terdalam bahkan dia takkan bertahan tanpamu.”

Lagu ini menjadi tamparan keras bagiku.

Banyak tanya dalam benakku yang belum dapat ku jawab. Perjalanan yang panjang. Aku sudah di bus sekarang dan tak ada hal yang dapat aku lakukan selain menaiki bus dan duduk manis sampai di tujuan.

Memejamkan mata sejenak. Semoga hal yang aku lakukan ini membawa kebaikan. Tidak membuat malu keluargaku.

***

Usai menenangkan fikiranku, aku menyapa pria yang berotot, duduk tepat disebelah kananku. Agus namanya. Aku tidak menanyakan usianya karena dia terlebih dahulu menyapaku dengan kata “dek”

Agus anak Pak Jumadi, ia hanya berbekal dua kotak ke Taluk Kuantan. Kotak yang pertama diletakkan di kakinya. Itu kotak sebesar kardus mi instant. Satu lagi kotak kue yang dia pangku, dibungkus dengan plastik kuning. Ia tidak mengenakan jaket saat 18 jam duduk di mobil. Kami berangkat pukul 17.00 WIB, Kamis (19/1) dan tiba pukul 13.00 WIB, Jumat (20/1).

Agus hanya mengenakan kaus hitam bertangan pendek sehingga otot besar yang berada di kedua lengannya terlihat. Bahunya bidang. Ia termaksud memiliki body yang seksi. Celana jeans hitam dan topi hitam. Pakaian yang sederhana untuk perjalanan panjang.

Pria yang kental dengan logat Minang ini mengaku telah sepuluh tahun berada di Kota Medan. Kini ia bekerja sebagai buruh bangunan di Galang. Ia mengatakan bahwa mencari uang itu sakit. Menjadi buruh bangunan dan bekerja mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 adalah akitvitas rutin di pagi hingga sore. Namun, itu menjadi luar biasa saat ia mengaku, bahwa ia memiliki pekerjaan lain, yakni menjaga warung internet mulai pukul 18.00 hingga pukul 05.00.

“Kalau begitu kerjanya, kapan tidurnya?” tanyaku ingin tahu.

“Ya tidur-tidur ayamlah dek..”

“Astaga… Walaupun cari uang. Kesehatan juga tetap dijaga bang. Tapi rajin pudingkan?”

“Ah…Mana ada pudding… Ya kayak gini-gini aja”

Mendengar ceritanya, aku hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Tak banyak lagi kata yang aku ungkapkan. Kami sejenak menjadi hening. Sedikit menoleh ke kiri, menatap tembus ke jendela adalah hal yang dapat kulakukan selain menatap dia.

Sesekali kulirik handpone seluler yang ada di saku kananku. Masuk sms yang bertuliskan, “dimana dek?” lalu aku jawab “bus”

Menghela nafas panjang dan dalam kerap kali aku lakukan untuk menghilangkan rasa gamang dalam batinku. Sebenarnya aku ingin loncat dari bus ini, namun disisi lain aku tidak ingin mengecewakan seseorang yang menunggu diseberang provinsi sana. Menelap gelisah dalam lelap adalah hal terbaik.

Terbangun dalam dari kantukpun tak surut juga menghilangkan gundah dalam hati gadis berambut ikal ini. Membuka mata dan merogoh kantung kiri, didapati hp n6303i. Semakin muncul rasa takut dan apa hal yang harus disampaikan ketika terlihat 12 kali panggilan tak terjawab dari Baapakku..

Maafkan aku, lebih baik kali ini diam dari pada memberikan alasan yang ngawur. Liputan.

19 January until 24 January 2012