Minggu, 12 Agustus 2012

Galau...


Untuk Mamak dan Bapakku Tersayang…

Aku heran! Entah apa yang ada dalam pikiran orangtuaku. Saat aku mengerjakan ini salah. Saat mengerjakan itu.

Entah apa yang mau dilakukan selalu dipertimbangkan. Aku tahu bahwa sebelum mengambil keputusan harus ada pertimbangan yang matang. Tapi kalau terlalu banyak menimbang sana-sini. Aku mau jadi apa.

Usai menjalani praktek pengalaman lapangan mengajar aku dapat panggilan untuk bekerja di Mimbar Umum. Aku senang sekali, lagi-lagi orangtua selalu saja pesimis. “Ngapain jadi wartawan. Mau jadi apa? Apa mau jadi tukang minta-minta?”
Aku paham, dengan kondisi ini, karena dikeluarga kami juga ada saudara dari bapakku yang juga berprofesi sebagai wartawan, namun tak tahu entah dari media media mana. Mungkin inilah salah satu hal yang membuat pesimis dengan keadaan wartawan.


“Lagiankan tinggal skripsi Mak. Nggak ada mata kuliah lagi kok. Pasti bisanya itu.”

Yah aku tahu penghasilan wartawan tak sama dengan penghasilan buruh bangunan yang digaji seratus ribu sedari pagi hingga petang. Tapi aku ahanya ingin menunjukkan aku bias loh.  Aku bisa dan aku berniat dan sedang mencoba membahagiaka kalian, entah aku tidak tahu hal yang aku lakukan benar atau tidak dimata kalian.

Walau saat mulai kerja aku meminta ongkos dari kalian, untuk naik angkutan umum. Tapi lihatlah sisi positifnya. Dan ternyata benar, saat niat itu datang, maka tekadkanlah. Sembari menjalani kehidupan sebagai kuli tinta, aku juga masih aktif di pers mahasiswa kampus. Saat beberapa hari bekerja, aku melihat ada pelatihan jurnalistik tingkat se-Sumatera. Dan entah kenapa aku tertarik dengan itu. Aku mengajak rekan satu kampus untuk mendaftar dengan menggirim tulisan feature.

Tak banyak harapanku untuk lolos seleksi tulisan, mengingat kemampuan menulisku. Tapi malamitu aku tetap menulis. Aku mengirim naskah via email dan tanpa disangka. Dari Unimed, aku lolos seleksi, sendiri.

Saat aku mengetahui bahwa aku lolos seleksi, aku senang sekali. Semua kawan-kawan juga loncat kegirangan bahkan ada sampai enam orang memeluk aku sampai terjatuh. Enam orang memeluk sampai terjatuh timpa-timpaan di parkiran. Tapi aku senang dan entah kenapa aku senang.

Saat mengetahui ini, aku yakin kalian akan bangga mendengar bahwa aku lolos seleksi dan akan mendapat pelatihan selama seminggu di Riau. Tapi saat aku menyampaikan itu.

Apapun yang terjadi, aku hanya berdoa agar danaku dicukupkan untuk kesana. Apapun ceritanya, aku meyakinkan kalian bahwa limper pun tak akan ada uang kalian yang akan keluar. Aku bersyukur karena doaku di dengar TUHAN-ku.

Ia mencukupkan aku, bahkan memberikan berlimpah bagi anak-Nya yang sabar. Pulang pelatihan bisa naik pesawat. Dan sejak masuk ke kampus hijau ini, aku ingin sekali naik pesawat gratis. Dan sembari itu satu harapanku terkabul lagi. Aku pulang dengan oleh-oleh yang dibungkus dalam kotak, berharap kalian senang dengan oleh-oleh yang aku bawa. Tapi mungkin karena itu hanya oleh-oleh murah dan mungkin tidak ada harganya. Ya sudah…

Bercerita tentang pelatihan yang aku dapatkan. Ternyata untuk menjadi jurnalis yang sesungguhnya itu sangat banyak tantangan. Banyak elemen-elemen yang harus dipatuhi. Di tengah-tengah pelatihan, sontak aku sadar bahwa kau merasa tak layak untuk menjadi wartawan. Aku merasa belum berkompeten, aku merasa masih sangat minim menguasai semuanya.

Aku ikhlas. Dari pada aku menjadi seorang yang mengerjakan sesuatu tidak becus sempat aku urungkan untuk menjadi wartawan. Yah...aku dulu punya mimpi ingin membagun sekolah. Semoga aku dapat mewujudkan itu. Usai aku bercerita pada seorang kawan yang juga merupakan panitia, dia memberikan banyak masukkan.

Novi, kamu cocok jadi wartawan. Kamu jujur loh!”

Setidaknya aku tidak terlalu mengambil pusing statement temanku itu, karena yang aku tahu kebayakan orang jujur itu adalah orang goblok. Dia meyakinkan aku bahwa untuk menjadi wartawan yang benar kita harus tahu cara yang benar dan bila sebelumnya kamu belum tahu cara benar maka itu bukanlah kesalah dan sekang kalau kamu sudah tahu cara yang benar dan kamu mundur maka itu suatu kesalahan.

Sontak aku merasa bila kebenaran yang aku tahu tidak aku aplikasikan maka aku akan sangat berdosa. Pada saat yang bersamaan aku juga mendapat penguatan dari pemateri pelatihan. Pemateri mengatakan bahwa wartawan akan menjadi seorang benar-benar professional bila dia digaji layak. Ia sedih bila melihat gaji wartawan yang kecil, bahkan ada yang dibawah UMR.

Di akhir-akhir penutupan pelatihan beliau mengajak berbincang, memberikan motivasi agar aku kembali berjuang. Setelah itu beliau menyarankan untuk pindah media dan mencari media yang menggaji karyawan dengan layak. Ia memfasilitasi.

Bimbang melanda.

Walaupun aku dalam kebimbangan, yang aku tahu bahwa aku harus terus melangkah dan aku harus terus maju. Maju dan maju. Entah siapa yang akan aku temui, entah bagaiman rupanya, yang pasti aku akan menceritakan apa yang aku tahu padanya.

Akhirnya aku putuskan untuk pindah media. Walau teman sekantor mengatakan bahwa belum kerja lama namun sudah pindah kerja adalah bukti orang tidak loyal. Saat itu gaji pertamaku. Aku merasa tidak rugi walaupun aku pindah. Sebulan, aku mendapat upah Rp.99 ribu. Bendahara memberikan uang Rp.100 ribu dan ia meminta kembalian seribu rupiah.

Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Setiap harinya aku mengeluarkan kocek sekitar Rp. 15 ribu untuk ongkos, itu adalah subsidi dari orangtua. Kembali aku mengingat nama yang disebutkan pemateri saat terakhir pelatihan. Mencari di handphone lalu menelepon. Entah apa yang membuat aku berani. Aku menelepon seorang pria yang tidak aku kenal dan membuat janji untuk bertemu. Aku memutuskan untuk meniti kembali karirku. Aku masih muda.

Setelah menjalani diskusi, aku akhirnya memutuskan untuk bekerja di Harian Global. Saat itu nama Harin Global lumayan terkenal di Kota Medan. Aku kembali membawa kabar baik ini pada mamaku. Mereka hanya kebingungan karena dalam tempo yang cepat sudah meloncat. Aku melihat mereka mulai tersenyum karena mereka tahu bahwa itu adalah media yang agak sedikit tenar di Kota Medan.

Sembari itu mereka mengingatkan bahwa jangan lupa untuk menuntaskan kuliah. Aku mengiyakan agar aku tamat tepat waktu dan sejak aku masuk kuliah, aku juga sudah tekadkan bahwa selambat-lambatnya aku harus tamat empat tahun. Aku sadar kalau aku anak sulung, sekaligus boru panggoaran dan adikku ada empat orang lagi loh.

Ada kabar baik. Saat itu juga orangtuaku membeli sepeda motor dan mereka dengan rela menghibahkan agar Vario hitam yang aku namai “Satria Baja Hitam” menemaniku selama aku di luar rumah. Aku merasa sangat terbantu. Jadi kalau mau kemana-mana tak perlu ongkos, cukup modal bensin seliter, sudah langsung meluncur.

Yang tadinya aku menguasai jalan lintas angkot, kini aku harus pintar-pintar mencari jalan potong yang cepat. Dan aku harus mengalahkan ketakutanku saat berkendara di jalan raya. Setiap ada niat, pasti ada jalan. Semua dapat kulalui seiring berjalannya waktu. Walaupun sesekali aku berharap pada tukang becak yang berbaik hati untuk menanyakan nama jalan. Bahkan aku pernah bertemu dua kali dengan tukang becak yang aku tanyai saat liputan.

AKU SENANG MENJALANI HARI-HARIKU. Berkelana entah ke antah berantah. Bermodal sms dari komandan batalyon/korlip aku bergerak lihai kesana-kemari. Seharian waktuku habis di atas Satria Baja Hitamku. Lalu masuk kandang pukul 16.00 WIB bemodalkan catatan kecil lalu merangkai kata di depan komputer. Saat jam menunjukkan pukul 17.30 WIB, ruang wartawan pasti selalu sangat rebut.

“Wadohhh…Deadline…Matilah aku…
Wadoh…beritaku belum siap diketik lagi…
Wadoh… gimana nih. Bapak itu gak jumpa pula. Di telepon pun gak diangkat… Wadoh…mamposlah mana bahan gak lengkap lagi…”

Itu terjadi ada seorang wartawan yang melihat jam dan dia berteriak kea rah komputernya, maka teriakan itu akan disambut wartawan lain sambil komat-kamit di depan computer dan mempercapat gerak jari.

Bahkan ada pula yang mewawancarai smabil mengetik, kalau narasumbernya ngomong terlalu cepat, wartawan dengan lihai mengatakan agar ngomong dengan pelan dan singkat, karena ini sudah jam deadline. Aku merasa lucu menikmati dunia ini. Teriak kalangkabut akibat deadline itu hanya sementara, lalu mereka kembali mengetik tuk menyelesaikan berita. Biasanya ada tiga berita yang disetor ke redaktur.

Bisanya habis magrib sudah ada tukang pecal yang nongkrong di sebrang jalan kantor. Kalau ada yang sudah menyelesaikan berita maka rekan satu kantor aku membeli pecal dan memakannya di luar sambil merokok. Bila belum selesai dan belum lapar, maka bertahan di dalam ruangan. Sesekali satpam kami yang ganteng menggoda untuk membeli pecal uwak yang diseberang jalan.

Kalau belum selesai berita, namun tak makan siang, maka pelampiasan adalah mie tukang pecal, pakai bakwan disiram bumbu kacang. Beralas daun yang dipincuk, mie dibawa ke dalam ruangan dan jadilah menguyak cepat sambil mengetik. Kalahlah sapi pokoknya kalau sudah ngejar deadline. Walau hanya satu orang yang tak dapat menahan lapar, namun aroma bumbu kacang menggoda seisi ruang redaksi wartawan.

Terkadang untuk menghindari tegangnya deadline ada cengengesan sambil ngejakan berita sambil memandang wajah wartawan-wartawan yang dikejar deadline. Ada yang berlari-lari keluar masuk ruangan. Tak lupa juga ada yang memasang wajah panik di depan telepon kantor, berharap agar narasumber yang ditelepon mau mengangkat telepon.
Bahkan ada pula yang menjadi sesak buang air besar saat deadline.

Gaji pertamaku. Aku sangat senang menerima gaji pertamaku. Jumlahnya sepuluh kali lipat dari gaji pertama yang kuterima dari tempat aku bekerja sebelumnya. Aku langsung servis Satria Baja Hitamku, karena dia yang menemani sepanjang hari. Tak lupa juga perpuluhan. Senang rasanya, bagi seorang anak gadis yang tergolong hemat, angka itu cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Biasanya saat gajian, aku langsung membelikan nasi goreng atau bakso untuk adik-adikku di rumah. Walau sekali sebulan tak apalah.

Maaf bila aku belum dapat memberikan dalam bentuk uang ya. Yang pasti aku yakin, kalau kalian senang bila melihat aku sudah mulai mandiri. Berjalan tiga bulan bekerja di Harian Global, aku teringat akan tanggungjawab untuk menyenangkan orangtuaku. Bahwa aku harus wisuda. Ternyata semua teman-temanku sudah pada seminar proposal semua. Kembali aku menyentuh proposal yang sudah tiga bulan tak kusentuh. Sebelumnya, diantara teman-teman kuliahku, aku sangat cepat mengejar dosen pembimbing skripsi dan bulan Oktober 2010 saat aku PPL, aku langsung ACC judul setelah empat kali diskusi dengan dosen pembimbing.

Aku mulai merancang bab satu, dua dan tigaku. Dan alhamdullilah ya, dalam tempo satu hari satu malam aku menyelesaikan tiga bab itu. Ya seperti biasa, urung tiga bulan tak bertemu, dosenku bertanya kabarku. Sembari itu aku memberikan proposalku pada dosen pembimbingku. Lalu pergi dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Aku mengingat hari untuk bertemu kembali.

Ku naikki dan kuhidupku Satria Baja Hitamku meninggalkan parkiran Unimed. Membuka catatan proyeksi telah dibicaran di kantor. Mengutak-ngatik handphone membuat janji dengan narasumber, bila tak sempat bertemu maka wawancara via phone, bila tak sempat juga wawancara via phone maka menunggu sebentar dan kembali mewawancarainya.

SEMAKIN HARI PERJALANAN LIPUTAN SEMAKIN JAUH. Aku mendapat tugas liputan ke Medan Utara. Itu adalah daerah lintas yang setiap detik jalannya dipenuhi truk container, dump truk dan truk pengangguktan barang. Tangki Satria Baja Hitam yang kutunggangi sudah mulai mengorek kocek angka yang lebih besar. Aku berusaha sehemat mungkin dan berbisik dalam hati, bahwa ini adalah tantangan baru di dunia yang baru.

Panas terik. Hujan. Sudah aku lewati bersama Satria Baja Hitamku.Bahkan mulai dari baju kering, basah hingga kering lagi kerap menjadi makanan sehari-hari. Abu yang melekat pada wajah sudah hampi sama hitamnya dengan abu yang melekat pada Satria Baja Hitamku. Kembali pada dosen yang memegang proposalku, aku harus menjumpainya.

Aku menemui dosen pembimbingku dan beliau mengatakan bahwa proposl masih perlu direvisi, ia meminta agar revisiku cepat kembali dikerjakan karena sudah banyak mahasiswa bimbingannya yang maju siding. Dia juga mengeluhkan bahwa aku adalah mahasiswa bimbingan yang pertama menemuinya, namun kenapa aku yang menjadi penutup pula. Proposal yang telah dicoret-coret bak tulisan cacing itu diserahkan padaku. Sampai mengerutkan jidat untuk membaca coretan proposal.

Saat aku melihat coretan itu, aku berfikir betapa susahnya mencari duit untuk mengeprint proposalku. Bahkan untuk mengeprint proposal, aku sering nego-nego harga sama Neli. Ia teman satu SMAku dan menjadi pegawai rental dekat kampus. Setelah negosiasi, harga berkurang gopek. Tapi, lumayanlah…

Mak…Pak… Apa kalian tahu apa yang sedang kulakukan sekarang? Anakmu ini sedang berjuang untuk menyelesaikan studi, tamat tepat waktu agar tidak mengecewakan kalian.

Semenjak menjadi wartawan, aku sering sekali pulang larut malam. Bila tidak mendapat jadwal piket, aku sering pulang pukul 21.30 WIB. Namun bila sudah dapat jadwal piket tiap empat hari. Aku sering tiba di rumah pukul 24.00 WIB. Pintu terbuka dan untuk menghindari repetan dari kalian aku menghibur diri berkata, “Cinderalla pulang.” Walau agak sedikit was-was melewati malam.

Itulah yang sering sekali terjadi. Ingin rasanya membaca proposal yang telah dicoret-coret, namun tubuh ini terlalu lelah.Akhirnya ku putuskan untuk ganti baju dan langsung bercengkrama dengan kasur dan selimut. Rasanya baru saja merebahkan tubuh di kasurku. Tapi entah kenapa ayam jantan cepat sekali menyambut hadirnya matahari. Seperti biasa, bangun pukul 07.00 lalu mandi, makan, nyapu dan berangkat kerja. Tapi aku lebih sering bangun pukul 07.30 WIB, mandi pakai sistem militer, minum tergesa-gesa, tak sempat beres-beres rumah, hanya membereskan diri sendiri.

Masuk kantor pukul 09.00 WIB, namun wartawan harus tiba di kanto pukul 08.30 WIB, setengah jam sebelum masuk sengaja kami sisihkan untuk membaca koran-koran yang masuk ke kantor kami. Lagi peraturan di kantor kami agak cukup beribet. Terlambat sedikit aja potong gaji, tapi kalau ngerjakan berita sampai malam tak ada plus-plus selain piket malam.

Menyiapkan proyeksi sebelum rapat pagi. Memikirkan apa yang harus diangkat. Melobi narasumber pagi-pagi. Bila sudah fix maka kelar deh proyeksi itu. Aku paling suka mendengar ceramah dari Korlip, bila cermahnya membangun maka aku senang, tapi jangan lama-lama juga, bisa ngantuk lagi akulah. Tapi kalau sudah marah-marah, semua bakalan kena imbasnya. Sial.

Itulah ritme kerja di media cetak. Mental, kecerdikan, gesit dan berani mengatakan kebenaran sangat diuji untuk menjadi wartawan yang profesional. Usai rapat kembali mengendarai Satria Baja Hitamku dan melaju ke warung Ramses. Itu adalah warung yang sering diutangi wartawan kalau bulan tua. Atau kalau lagi makan atau minum, tiba-tiba saja dapat telepon atau informasi penting, jadi dengan segera meluncur. Warung ini juga sering menyimpan makanan atau minuman yang sudah dimakan separoh, disimpan untuk dimakan selanjutnya.

Mengendus kebenaran informasi. Mengumpulkan data, mencari fakta dan terakhir adalah wawancara. Sedari pagi hingga sore berada dilapangan, kemudian masuk sore. Kembali ngantor, mengetik berita dan melihat tingkah wartawan yang aneh-aneh kalau sudah mendekati jam deadine. Segala yang tidak gatal bisa digaruk ketika mendekati jam deadline.

Kelar mengetik berita, aku sempatkan duduk berdiskusi dengan satpam kantor yang paling ganteng sedunia. Dia bercerita banyak pengalaman hidupnya. Satpam yang berkulit putih seperti wajah keturunan padahal bukan bisa dikategorikan gantenglah. Ia suka melakukan perjalanan wisata. Rembulan diluar sana sudah semakin terang dan ia asyik membagi kisaahnya. Menunjukkan kakinya yang pernah kecelakaan, menceritakan sakitnya rasa sakit usai kecelakaan lalu menahankan rasa sakit saat bekerja walau belum sembuh total.

Sambil bercerita, aku melirik jam dinding. “Adikku sedang ngapain ya di rumah? Siapa ya yang ngajari Arya belajar?” Aku masih saja bergulat dan bertanya dalam hati, apakah adik kecilku sudah makan atau belum, tapi biasanya kalau dia lapar, dia akan menggunakan hape mamaku untuk meminta dibelikan makanan di jalan. Arya lahir saat aku duduk di bangku kelas II SMP.

Jam sudah menunjukkan pukul 23 lewat dan aku dapat bebas tugas dari piket malam lalu pamit pada redpel untuk pulang. Saat itu tak ada peristiwa, bila ada peristiwa, aku hany menunggu informasi dari rekan yang piket luar, lalu duduk di depan computer mendengar penjelasan dari rekan, memungut kata yang dilontarkan, bertanya maka ia menjawab. Dan mengetik hingga jadilah satu berita.

“Aku pulang ya bang!”

“Hati-hati dek!” ucap satpam sambil memainkan gemot dengan melambaikan satu tangannya.

Lagi, aku menunggangi Satria Baja Hitamku. Bila malam semakin larut maka akan dapat menarik tinggi gas hingga kecepatan 70km/jam. Bagiku itu sudah sangat kencang, rasanya aku hampir terbang dan helm yang kukenakan hampir terlepas, untung saja pengaitnya terpasang kuat. Aku pegang lagi bagian atas helmku dan focus ke depan dengan gas yang tetap tinggi. Walaupun begitu aku tetap saja tiba di rumah pukul 24.00 WIB. Saat aku membunyikan klakson motorku, aku memasang wajah senyum lebar di depan pintu, agar tak ada repetan. Cinderella pulang.

Di kamar aku menemui adik-adikku yang sudah tidur pulas. Kipas mengarah ke badan Arya. Aku tahu dia selalu sengaja melakukan hal ini. Merapikan selimut mereka, menjaukan kipas, melihat dengan cermat apakah ada nyamuk nakal yang menggigit adik kecilku. Lalu aku meletakkan tas dan istirahat.

Setelah menemui dosenku, aku langsung meletakkan proposal tepat di samping kasurku. Mata selalu saja melihat proposal sebelum tidur, namun enggan rasa tubuh untuk duduk di depan computer dan memperbaikinya. Aku hanya membaca dan melihat coretan yang tak jelas itu, mengerutkan kening dan sesekali aku tertawa bila kata yang ditulis tidak nyambung saat aku membaca coretan itu atau mungkin aku yang tidak tahu membaca tulisan dosenku. Balik ke halaman selanjutnya, membaca dan akhrirnya tidur bersama proposal.

Saat aku terbangun, tiga halaman depan proposal sudah terlipat sedangkan yang lainnya sudah lusuh. Aku tak mau kehilangan bangkai proposal. Sementara teman-temanku di kampus sudah sibuk mempersiapakan makanan untuk dosen penguji. Biasanya saat seminar, setiap dosen yang menguji akan disuguhkan snack ringan. Semakin banyak isi snacknya dengan harapan semakin banyak waktu dosen untuk mengunyah dan sedikit waktu untuk membaca proposal-proposal itu.

Aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Bila aku beruntung, maka temanku akan mengingatkan agar kembali memikirkan proposal. Liputan. Liputan dan liputan. Bertemu dengan orang-orang yang lebih tua bercerita tentang dinamika kehidupan. Lalu mengingat kembali proyeksi dan narasumber yang belum di konfirmasi. Mengendarai Satria Baja Hitamku dan bergegas setelah mendapat telepon dari informan ataupun rekan-rekan pers terkait suatu peristiwa.

Pergi ke tempat yang belum pernah ku kunjungi. Pergi liputan ke daerah Belawan, menyebrang sendiri pakai perahu nelayan pun pernah aku lakukan. Menemukan akan gadis yang masih terlihat anak-anak namun sudah menggendong anak. Menemukan bocah-bocah laut berenang. Tertawa lepas. Saling berosong-sorongan. Tak jauh ada ibu-ibu yang berkumpul membersihkan udang membuang kepala udang ke air. Tampak juga ada orang dewasa yang batuk dan meludah ke air. Mereka tetap berenang, berjingkrak di air dan saling berkejar-kejaran.

Mendengar cerita ibu-ibu, anak gadisnya sudah tak mau melanjutkan ke jenjang SMP, ibu itu curhat kalau anaknya ingin bekerja selama tiga tahun, kemudian mengambil paket B lalu menikah. Sederhana. Ini pemikiran yang kerap aku temui untuk masyrakat pesisir.

Hari semakin siang dan aku harus kembali menyebrang ke daratan. Lalu mengambil Satria Baja Hitam dari tempat penitipan. Menggas lagi dan terbang ke kantor. Astaga…Tiba-tiba saja banjir rob (banjir saat air laut pasang). Aku agak sedikit kebingungan, karena ini lokasi yang jarang aku datangai. Eh…pas mau pulang banjir pula. Dari jauh aku melihat banyak sepeda motor yang mogok. Lantas aku berhenti. Ketinggian air mencapai sedungkul orang dewasa. Penduduk setempat mengungkapkan bahwa hal itu adalah makanan sehari-hari mereka.

Aku menelepon wartawan yang tugas di Medan Utara, untung saja ada seorang wartawan Sindo yang berbaik hati. Dia juga belum pulang. Namun dia mendapatkan kemudahan, karena tidak perlu masuk kantor setiap sorenya karena jarak dari kantor dengan lokasi liputan. Peraturan yang efektif juga tuh. Kami mencari jalan potong dan akhirnya sampai ke Marelan. Sesadarku, jarak Medan Utara dengan Medan Petisah cukup jauh bila aku lalui sore hari dengan kesibukan lalu lintas yang padat. Aku sampai ke kantor hanya beda beberapa menit dengan terbenamnya matahari.

Walaupun belum ada satu berita pun yang aku ketik, namun aku berusaha tenang dan tidak panic walau sekitar berteriak “deadline…” Aku terus mengetik, usai satu berita, langsung ku kirim, mengetik lagi, selesai satu berita langsung kukirim dan mengetik lagi, selesai satu berita langsung kukirim. Aku tetap tenang walau bagian bawah celanaku sudah setengah basah. Usai menyelesaikan ketikan, aku bergegas langsung pulang. Meninggal satpam dan mengatakan bahwa aku kena banjir saat liputan. Sampai di rumah celana panjangku yang setengah basah tadi sudah mongering. Tapi aku bersyukur karena Satria Baja Hitamku sangat tangguh dan membantu dalam perjalanan.

AKU PULANG LEBIH CEPAT.

Mak…Pak…kalian tahu gak waktu aku berangkat kerja liputan, saat aku berhenti di lampu merah, aku ditabrak mobil dari belakang. Tapi untung saja saat itu aku memegang kuat stang motorku. Aku bersykur tidak terjatuh. Malangnya lagi, polisi yang di simpang tak ada menegur pengendara mobil. Polisi itu hanya melihat saja. Apa mungkin pembiaran itu sengaja dilakukan karena aku hanya anak gadis bertubuh imut-imut dengan sepeda motor hitamku sedangkan dia naik mobil mewah. Aku hanya melototi pengendara mobil itu.  Lalu spontan turun dari sepeda motorku dan memeriksa bagian belakang motorku.

Mak…Pak… kalian tahu gak kalau aku juga kebanjiran di jalan. Keliling mencari jalan potong menghindari banjir. Celana yang kukenakan basah. Tapi untung saja kalian tidak melihat basahnya, karena ia sudah kering di jalan.

Sesampai di rumah aku menemukan Arya sedang belajar sama mamaku. “Loh…tumben pulang cepat,” ucap mamakku sambil melihat jam. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Aku hanya tersenyum dan berkata, “kalau pulang cepat itu bukan jam segini, tapi jam 12 malam mak…!”
Usai meletakan tas di kamar, mamakku langsung memanggilku untuk mengajari Arya. Mamakku mengaku bahwa penglihatannya sudah tidak dapat melihat jelas. Hanya meletakkan tas dan mengganti baju lalu aku mendekati Arya dan mengajarinya pelan-pelan.

Astaga…hampir enam bulan aku tidak mengajarinya. Aku melihat tulisannya sangat berubah. Entah kenapa jelek sekali, padahal sewaktu dia kelas satu SD. Tulisannya sangat rapi, sewaktu dia kelas dua tulisannya juga sudah lebih cantik dari tulisan Putri, adikku yang duduk di bangku SMA. Rasa bersalahku kumat saat melihat tulisannya yang jelek. Entah kenapa hurufnya kurang-kurang pula. Aku sangat emosi. Tapi itu bukan salah Arya. Baiklah, aku akan usahakan pulang cepat.

Aku tidak tahu siapa yang mengajarinya selama aku tidak ada. Biasanya kalau aku dan Arya belajar, aku selalu duduk dihadapannya memeriksa lembaran-lembaran buku tulis dari sekolah, meminta dia menceritakan apa yang dipelajari dari sekolah. Enam bulan lalu dia rutin menceritakan gurunya tapi saat aku minta dia ceritakan apa yang dipelajari di sekolah, dia hanya mengatakan dari buku yang dipelajari. Tak ada lembaran yang terkena ponten. Selesai aku mengajarinya, aku bisikkan pelan padanya.

“Dek, kalau kakak gak ada, Arya juga harus belajar ya! Jangan banyak kali nonton tipi. Kalau mau nonton malam, kerjakan PR pulang sekolah ya dek!”

Kembali aku mengajarkan agar ia merapikan buku sendiri, merapikan baju sendiri dan meletakkan sepatu pada tempatnya. Hal sepele, tapi bila tidak diajarkan akan sulit. Sewaktu dia tidur, aku hanya dia lamat-lamat, batinku merasa kasihan. “Apa aku terlalu egois dengan aktifitasku sehingga aku tidak mengamati kemajuan dan kemunduran adikku.”

Setelah bapak, mamak dan adik-adikku tertidur, aku kembali mengetik proposalku. Memperbaiki kalimat demi kalimat, memperhatikan tanda baca, menambah referensi lalu membongkar rak buku kuliah, membacanya dan mengetik kembali. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki dan suara raket nyamuk. Kalau ada suara nyamuk yang terjerat dalam raket bertenaga baterai itu, aku sudah tahu bahwa yang terbangun mendengar itu bapakku. Aku yakin dia terbangun gara-gara aku membolak-balik kertas dengan cepat lalu menekan keyboard komputer. Kalau sudah dini hari, biasanya hanya detik jam yang terdengar.

“Tidur kau boru… Udah jam berapa ini.” ucap bapakku dari depan kamarnya.

Aku sengaja berhenti sejenak dan diam. Dan sedikit tersenyum aku tidak menyahut. Biar dia mengira aku udah tidur. Selang beberapa menit, aku lanjut lagi mengetik dan aku menekan keyboard computer pelan-pelan. Tahu-tahu bapakku bersuara lagi.

“Tidurlah boru. Udah jam berapa ini? Besok lagi itu!”

“Iya pak… Sikit lagi nih.”

Aku kembali mengetik. Rasanya tak puas bila tidak menyelesaikan saat itu juga.

Mak…Pak… aku mengerjakan ini semua untuk kalian. Aku ingin buktikan walaupun aku sudah bekerja, namun aku tidak akan mengecewakan kalian. Walau kalian kerap kali melarang aku bekerja. Walau kadang kalian mencibir profesiku, tapi aku cukup meyakini bahwa yang aku kerjakan tidak salah.

Akhirnya selesai juga revisiku sampai bab tiga. Aku menghitung jumlah halaman proposalku. Yang aku tahu jumlahnya bertambah dari jumlah sebelumnya. Aku merogoh kantung celana dan membuka dompetku. Aku hanya tertawa menghibur diri sendiri dan berharap cukup. Melihat proposal lama, mencocokkan halamannya, berharap ada halaman yang sama usai direvisi, namun harapan berbeda dengan kenyataan.

Daripada aku bingung memikirkan uang. Mending aku langung simpan di flashdisk.

Tidur empat jam lebih dari cukup. Aku bangun hampir pukul delapan pagi. Mandi lalu minum teh manis, memanaskan Satria Baja Hitam dan terbang kembali. Usai sampai ke kantor, lalu proyeksi sana-sini. Dan sudah aku rencanakan kalau aku akan pergi ke rental Neli untuk memprint proposalku. Aku hanya menyodorkan uang beberapa ribuan dan berbisik pelan agar tidak di dengar karyawan yang lain.

“Nel, ngutang dulu ya… Uangku gak cukup. Ini tinggal goceng lagi untuk isi bensin. Maklumlah Nel, bulan tua.”

Neli tertawa dan mempersilahkanku untuk membayar setengah dan setengahnya lagi setelah gajian. Aku langsung meluncur menjumpai dosenku. Aku sudah komit kalau dalam satu jam dia masih sibuk terus akan akan meninggalkannya , lalu datang pada hari lain. Untungnya, saat aku dating dosenku baru saja tiba di gerbang kampus dan aku menunggunya di depan meja absensi dosen. Beberapa temanku yang sedang menunggu dosen melihat dan tertawa sambil seloro. “Hahaha…udah jarang-jarang nampak kau Nov, sekali datang langsung cegat dosen di tempat absensi dosen pula tuh…”

Aku juga tertawa. Aku merasa sangat beruntung karena bisa berjumpa tanpa menunggu lalu menjelaskan proposalku, menunjukkan yang sudah direvisi lalu memberikan yang baru. Sekarang gantia, biasanya aku yang memberika segudang pertanyaan sama orang yang aku temui sekarang sebaliknya.

Mak…Pak…Kalian tahukah kalau aku siang pagi kehabisan uang untuk memprint proposal. Aku juga mengutang sama rentalnya. Bukannya aku tak mau meminta pada kalian. Tapi aku merasa aku harus mandiri dan bertanggungjawab pada diriku sendiri.

Aku ingin tumbuh. Dari bayi perempuan yang mungil, menggemaskan, terkadang membuat kalian khawatir dan kini aku ingin menunjukkan aku bisa. Aku dapat mencukupkan kebutuhanku sendiri. Walau terkadang kalian mengatakan padaku “entah apa-apa aja yang kau lakukan!” Tapi aku tak akan pernah putus asa. Aku akan terus berjalan. Berjalan. Walau terkadang aku bingung saat mengadapi persimpangan. Aku ingin banyak bercerita pada siapapun terkhususnya pada kalian, tapi bibir ini enggan berkisah pada kalian. Mungkin karena sebelum aku bercerita, sudah terlebih dahulu aku menduga apa dari jawaban dari persimpangan kebimbanganku.

Aku putuskan untuk bercerita banyak pada tembok kamar. Sambil lipat tangan, menutup mata, menumpahkan segala kesahku hinggaku tidur terlelap.

SIDANG DENGAN NILAI A. Seminggu sebelum sidang aku sudah memberitahukan pada kordinator liputanku bahwa aku akan sindang. Pada tanggal sidang itu, aku minta izin untuk tidak liputan, karena pengalaman teman-teman, sidang selesai sampai jam 18.00 WIB. Lagian aku juga tidak mau terengah-engah saat sidang karena diburu berita. Sebelumnya, saat seminar, aku sudah mengenakan baju putih, rok span hitam dan sepatu tinggi. Biasalah, wartawan yang akrab dengan jeans akhirnya menjelma menjadi orang kalem, walaupun begitu, satu jam sebelum seminar, aku mendapat telepon dari korlip dan memerintahkan untuk memeriksa kamar mayat, karena disana ada kasus. Akhirnya liputan deh. Menghitung jumlah mayat, ngumpulkan data, penyebab kematian, membaca hasil otopsi. Kembali lagi ke kampus, walau aku sudah mengenakan rok span, dan sepatu tinggi, namun aku masih saja tetap dapat berlari kecil untuk mengejar waktu.

Itulah pengalaman seminarku. Hari sidang tiba, aku kembali membaca skripsiku, mengingat halaman demi halaman. Dan tak kusangku dari kawan-kawan yang lain hanya aku sendiri yang mendapat penguji seorang professor. Alamak…cilaka duabelas! Tapi ya sudahlah, aku kembali menenangkan diri, toh aku sering berhadapn face to face dengan professor, guru besar, direktur-direktur dan itu semua aman terkendali. Tapi masalahnya, saat itu aku berprofesi sebagai wartawan dan sekarang aku berperan sebagai mahasiswa biasa. Pikiran terus berkecamuk. Tok…tok…tok…

Aku masuk ke dalam ruangannya dan berkata bahwa ia adalah pengujiku. Untuk menghilangkan groji, aku menyalam dosenku. Kontak fisik. Itu sering kulakukan untuk menghilangkan grogiku kalau jumpa dengan narasumber yang belum aku ketahui asa muasalnya. Saat dia bertanya, aku tinggal cepat mengatakan bahwa ia dapat melihat pada halaman sekian. Bila dia bertanya lagi aku katakan coba lihat halaman sekian dan aku jelaskan sedikit dengan kata-kata. Tak terasa 35 menit juga aku berada di ruang kantornya. Mungkin kalau aku sedang liputan, aku sudah bisa buat tiga straight news dari durasi wawancara 35 menit itu.

Aku sangat bersyukur telah melewati satu professor itu. Aku bersyukur pada TUHAN dan aku yakin kalau orangtuaku akan senang. Lalu aku mendatangi dua orang dosen lagi. Pertanyaan sana-sini dilontarkan. Intinya tak perlu gugup dalam menjawab pertanyaan. Kalaupun tidak tahu, jangan nampak kali tidak tahu. Ah…tapi aku yakin tidak mungkin ada yang tidak diketahui kalau skripsi itu buatan sendiri.

Mak…Pak…Aku dapat nilai A. Dari dua puluh empat orang yang ujian, nilai tertinggi ke tiga. Mak…Pak….Aku yakin kalian pasti senang. Aku langsung meng-sms mamakku.

“Mak, aku sidang dapat nilai A.”

“Bagus… Puji Tuhan ya!”

Ada rasa haru, senang, takjub dan tidak menyangka. Aku hanya dapat bersyukur pada TUHAN, karena aku pasti gak bisa melakukan ini sendirian. Ini kekuatan dari-Nya. Aku langsung melepas sepatu tinggi yang telah kukenakan sedari pagi. Lalu duduk selonjor, ibarat manusia tak bertulang. Aku tersenyum kembali mengingat nilaiku. Beberapa rekan kantor sengaja meng-sms menanyakan kabarku dan aku balas bahwa aku dapat nilai A. Lalu mereka membalas, “Makan-makannya dinanti ya Nov.”

Walah…malah lagi bokek. Banyak pengeluaran dan aku hanya tertawa saja. Gaji cukup-cukup makan. Dan memikirkan keperluan wisuda. Menjilid skripsi teryata juga butuh uang sampai empat ratus ribu. Otakku mulai membagi-bagikan pengeluaranku untuk sebulan ke depan.

Lagi-lagi harapanku sesuai dengan kenyataan. Empat tahun yang lalu. Aku melihat spanduk pengumuman wisuda. Saat itu tanggal wisuda jatuh pada 21 dan 22 Oktober. Selanjutnya, aku sangat berharap kalau tanggal ulangtahunku bertepatan dengan tanggal wisudaku dan itu nyata.

ULANGTAHUN DAN WISUDA. Tepat pada tanggal 20 Oktober 2011 aku diwisuda dan saat itu aku diwisuda dengan umur genap 22 tahun. Terima kasih semua buat yang telah mendukungku. Terima kasih juga buat kamu-kamu yang telah memberikan motivasi dan mengirimkan doa agar aku tetap semangat dan ceria.

Mak…Pak….Terima kasih buat kalian berdua. Aku paham, walau kalian kesusahan kalian untuk menyekolahkanku sampai ke jenjang sarjana. Aku tahu mamak dan bapak belum pernah diwisuda. Ini adalah kado untuk kalian. Aku harap kalian bangga. Kalian juga tidak perlu khawatir dengan nilaiku. Walau sedari kecil aku tidak pernah mendapatkan peringkat satu, tapi setidaknya aku selalu melakukan yang terbaik semaksimal mungkin.

Walaupun aku tahu bapak agak sedikit kecewa dan terkadang sepulang kerja dari pangkalan, bapak sering membanding-bandingkan anak supir lain dengan anak bapak sendiri. Sakit bagiku mendengarnya, tapi itu aku anggap sebagai motivasi dan cambukan agar aku dapat melakukan yang terbaik.

Aku anak gadis kalian. Kini aku tumbuh menjadi perempuan yang tegar dan tabah. Kerap kali dihadapkan pada persimpangan. Dalam doa, aku selalu berdoa agar dapat membuat kalian bahagia. Namun aku kebingungan, apa yang harus kulakukan untuk membuat kalia benar-benar bahagia tanpa menggerutu.

Aku mohon izinkan aku membahagiakan kalian dengan caraku sendiri. Jangan khawatir padaku. Aku dapat menjaga diri. Aku hanya mohon doa dari mamak dan bapak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar