Sabtu, 07 September 2013

Lampu Aladin Ala Bank Indonesia...



Bak lampu ajaib Aladin yang siap memenuhi permintaan siapapun. Mengabulkan keinginan siapapun. Namun bukan tanpa tujuan. Lampu Aladin mengabulkan permintaan tuannya karena menjalankan tugasnya.

Lampu Aladin siap menunjukkan kemampuan yang dimiliki kepada tuannya. Itu adalah nilai lebih yang sampai kini selalu  dikenang oleh banyak orang. Tak heran, lampu Aladin selalu diperebutkan penyamun. Lampu tak berkuping tapi bisa mendengar.

Tak heran, lampu tersebut diincar. Apapun yang diinginkan selalu dikabulkan. Ingin punya emas, uang banyak, istana di langit sampai menjadi penguasa pun bakal dikabulkan.

Baik orang miskin maupun kaya, ingin mengadukan nasib dan menyampaikan kepentingannya pada lampu Aladin.

Kini lampu Aladin ada di Indonesia. Bank Indonesia kini telah mengabulkan permintaan kalangan elit pengusaha yang ingin dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate).

Apa daya, Bank Indonesia sudah jor-joran dan menunjukkan aksi dengan menaikkan BI Rate sebesar 125 bps selama 2 bulan terakhir.


Pergerakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) selama 2013 (%)

BI Rate sudah bertengger pada 7%. Aktornya adalah pelaku pasar. Walau sudah mengabulkan permintaan sebagian pelaku pasar, tapi orang lain mempertanyakan alasan Bank Indonesia yang mengabulkan permintaan itu.

Apakah mereka satu dari deposan besar yang menginginkan bunga tinggi?

Dia yang berkantong tebal menekankan, give more and we will stay.

Ada yang bilang, untuk selamatkan dana-dana agar tak lari ke luar negeri. Tapi ada yang bilang, mungkin kenaikan BI Rate, karena kepanikan.

Ada yang bertanya, kenapa? Apa tak ada solusi lain? Ada yang katakan, sudah seharusnya! Solusi jangka pendek harus ada. Bisiknya, inflasi masih tinggi. Berjuang selamatkan rupiah, bujuk yang lain.

Setiap kebijakan pasti ada konsekuensinnya. Tapi sayub-sayub dari seberang ada yang berteriak, siapa yang hendak diselamat? Siapa menyelamatkan apa? Apa yang selamatkan siapa?

Mungkin teriakan yang terdengar samar, hanya ingin juga diselamatkan. Namun malang, BI belum bisa mengabulkan nasib mereka. Masyarakat kecil bertanya, siapa yang menyelamatkan siapa?

Bankir mulai mengerutkan jidat. Debitur sipemberi keuntungan, harus dijaga. Tidak ingin gagal bayar. Sembari itu, bankir pun mulai memikirkan nasibnya sendiri di tengah likuiditas yang mengetat.

Bak menelan buah simalakama. Namun, Bank Indonesia harus menjaga fundamental ekonomi dan stabilkan keadaan pasar.

Ekonom mulai memprediksikan dengan kenaikan BI Rate, maka inflasi dapat direm bersama ekspektasinya. Intinya adalah nilai rupiah.

Rupiah akan lebih menarik dan atraktif setelah BI Rate naik. Sembari berharap, kepercayaan pasar akan kembali lagi. Dan yang  tak kalah  penting juga adalah menjaga cadangan devisa (cadev) yang sudah bertengger di angka US$92,67 miliar.

Ada yang bertanya, kenapa harus mengorbankan perbankan? Apakah empat paket kebijakan yang baru saja dikeluarkan pemerintah masih kurang mampu mengatasi kondisi makro?

Saya jadi teringat dengan diskusi yang bertema Peluang Investasi di Indonesia. Acara itu menghadirkan CEO MNC Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi, Ekonom Danareksa Purbaya dan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Difi A. Johansyah.

Debat ringan yang cukup sengit, tampak membuat Difi sesekali tertunduk. Bahunya naik turun. Menarik nafas dalam. Kalangan pengusaha menilai Bank Indonesia hanya sebatas reaktif dan belum responsif.

Tawaran dari pengusaha, menaikan BI Rate. Difi masih tak menyangka bahwa sebagian pengusaha ternyata meminta BI Rate naik. Diskusi itu diadakan sehari sebelum Rapat Dewan Gubernur.

Alhasilnya, sikap responsif kini sudah dilakukan BI. Bank Indonesia sudah mendengar langsung permintaan pengusaha dan mengabulkannya. Minta dan diberi. Lampu Aladin yang cukup mujarab bukan.

Lalu, pasar akan minta apa lagi ke Bank Indonesia?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar