Jumat, 03 Mei 2013

Kembalikan Tubuh Suami Saya...

WARTAWAN muda ini tidak tahu bahwa itu adalah hari terakhir untuk menatap lamat-lamat mata istri dan memeluk tubuh putranya. Ia hanya tahu kebenaran harus diketahui oleh masyarakat. Kebenaran. Namun anaknya, Evan belum tahu banyak apa itu kebenaran. Evan belum tahu persis akan kemana ayahnya pergi. Ia tahu bahwa ayahnya akan bekerja. Bekerja. Pergi pagi dan pulang kembali pada hari yang sama.

Entah kenapa hari sebelum keberangkatan Gregory Jhon Shackleton untuk meliput masuknya tentara Indonesia ke Timor Leste, yang kala itu masih bernama Timor Timur menjadi hari yang tidak terlupakan bagi istrinya, Shirey Shackleton.
 
“Bila saya tertangkap, kalau saya dimasukkan ke penjara Indonesia, bila harus menjual rumah. Juallah.” Shirey mengganguk.


Pesan terakhir itu takkan dilupakan oleh Shirey Shackleton.  Kala Greg masih berumur 28 tahun, ia takkan melupakan rasa bahu suaminya yang kekar. Ada rasa lega saat Shirey mengetahui bahwa suaminya takkan pergi sendiri.

Greg pergi bersama empat jurnalis lain asal Selandia Baru Inggris, Australia dan Inggris. Mereka adalah Gary James Cunningham, Malcolm Harvie Rennie, Anthony Jhon Stewart dan Brian Raymond Peters.
Mencari kebenaran?

Balibo menjadi terkenal sejak kedatangan lima jurnalis itu. Balibo adalah nama kecamatan di Kabupaten Bobonaro, Timor Leste. Kota ini terletak sekitar 10 kilometer dari perbatasan dengan Indonesia. Malang! Langit terakhir bagi kelima jurnalis itu berada di Balibo. Nyawa mereka  direnggut secara paksa.

Istri menjadi janda. Anak menjadi yatim. Ibu kehilangan anak lelakinya. Adik kehilangan kakak laki-laki. Dimana kebenaran? Ini adalah kebenaran. Kenyataan.

Kali ini kebenaran yang terjadi adalah tubuh-tubuh jurnalis tergeletak tanpa nyawa. Dibakar. Dibakar. Dibakar.

SHIREY Shackleton menjadi janda beranak satu. Mencari kebenaran. Dimanaitu kebenaran? Ini adalah kebenaran yang nyata. “Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Kenapa suami saya sampai merenggang nyawa di saat melaksanakan tugasnya?” tanya Shirey.

Perang. Wanita yang sudah menjadi janda ini tidak tahu apa yang terjadi di medan perang, Balibo. Shirey tak mengetahui apa itu perang. Kenapa ada perang, kenapa saling menyerang dan bagaimana berperang, yang ia tahu peperangan akan menimbulkan kerugian dan korban. Shirey dan putranya menjadi korban walau tak angkat senjata.

“Kenapa negara yang begitu besar membuat penyerangan disebagian pulau yang begitu kecil? Dimana mayat suami saya? Apa yang terjadi dengan mayat suami saya? Dimana mayat suami saya? Dimana?”
Pasca kematian suaminya, Shirey tak mendapatkan kabar tentang penguburan mayat suaminya. Ia belum melihat mayat untuk yang terakhir kalinya. Shirey tak mengetahui apa yang ada di dalam kuburan.
“Apa isi kuburan itu?”

Shirey menceritakan kedatangannya Oktober 2012 ke Tanah Kusir Jakarta. Satu nisan, lima nama. Satu lubang, dengan lima jenazah? “Saya tidak tahu bagaimana proses penguburan jenazah? Bahkan saya tidak tahu apa isi kuburan tersebut?”

Kematian. Kematian bisa saja terjadi pada siapapun. Yang membedakannya hanyalah cara, waktu dan tempat. “Seharusnya ini tidak boleh terjadi pada wartawan. Mereka hanya melakukan tugas. Pemerintah bilang mereka (wartawan) bodoh. Itu sama seperti mengatakan pada pengendara mobil, bila kamu tidak naik mobil maka tidak akan ada kecelakaan. Itu adalah pekerjaan mereka. Mereka harus pergi ke tempat kejadian,” kata Shirey sembari menarik nafas dalam-dalam.

Shirey tak diam saat nyawa suami melayang. Ia tak angkat senjata. Tak turun ke medan perang. Ia bersuara. Berjuang. Lima nyawa wartawan telah melayang.

“Apa yang terjadi pada suami saya bisa saja terjadi dengan wartawan lain! Indonesia tidak punya demokrasi!”

Disandarkannya punggungnya yang mulai letih dimakan usia. Tengkuknya pasrah pada bagian atas sofa, kepalanya mendongak menatap langit-langit. Ruangan itu menjadi hening. Tarikan nafas yang dalam memecah hening. Matahari bergegas beristirahat di ufuk Barat.

Kesendirian pernah membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Namun seiring berjalannya waktu, ia bangkit. Meyakini masih banyak orang berjuang hidup di Timor Leste. Bangkit sendiri dari keterpurukan tidaklah mudah. Ia hanya ingin sisa hidup tanpa Greg disisinya menjadi masa yang berguna bagi banyak orang. Menjadi aktivis. Berjuang untuk Timor Leste.

Seorang ibu menjadi aktivis? Ia sempat dinasehati oleh sudara laki-lakiya untuk mencari pekerjaan lain. Tidak ada aktivis yang kaya. Saudara laki-laki Shirey meminta untuk mencari uang dan itu bisa membuat Shirey kaya. “Tapi kalau saya kaya, maka saya tidak mendapat kebahagian,”  ucapnya sambil tersenyum.
Sudah 37 tahun wanita ini menjadi aktivis di Timor Leste dan selama itu juga ia membicarakan tentang suaminya. Ibu satu anak ini mengetahui bahwa wartawan yang dibunuh saat tugas, tidak berpakaian preman/ tentara, maka dapat dilaksanakan inquest (pemeriksaan sebab musabab kematian) dapat dilaksanakan investigasi.

Kendala Pengambilan Jenazah Greg
SATU kuburan ada lima jenazah. Ada satu keluarga yang tidak ingin jenazahnya dibongkar. “Ada keluarga lain yang masih trauma dengan kematian suudara laki-lakinya. Mereka punya hak untuk tidak mengeluarkan mayat keluarganya, tapi saya juga ada hak untuk mengeluarkan mayat suami saya. Saya tidak pernah meminta semua jenazah harus dibongkar,” jelas Shirey, bila diperlukan test DNA ia juga bersedia.
Shirey mengunjungi pemakaman suaminya di Tanah Kusir, Jakarta pada Oktober 2012. Ia terus berusaha akan mengambil jenazah suaminya. Sudah 37 tahun wanita ini berjuangan mengambil jenazah suaminya untuk dikuburkan di Melbourne, Australia.

Birokrasi negara yang katanya demokrasi ini tetap menjadi penghalang. Wanita ini terus berjuang, walau kini memasuki tahun ke-38 untuk mengembalikan jenazah suaminya. Ia masih saja terus mengingat pesan suaminya. Kulit kencangnya telah dimakan oleh waktu untuk berjuang, keriput.
“Bila saya tertangkap, kalau saya dimasukkan ke penjara Indonesia, bila harus menjual rumah. Juallah,” ucap Shirey saat melepas kepergian Greg. Ini adalah harapan Shirey. Ia ingin sekali membawa suaminya ke Melbourne untuk dimakamkan bersama ibu.

“Saya sudah janji akan mengeluarkan suami saya, walau kini tinggal jenazahnya saja.”

*Penulis bertemu Shirey Shackleton di Melbourne pada November 2012. email penulis novitasarisimamora@gmail.com. Twitter: @NoviSimamora

Telah dimuat di Narasi Sumatera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar