Selasa, 15 Januari 2013

Dibalik Narasi Sumatera


Bertemu pemuda-pemuda Sumatera ibarat bertemu saudara kandung pernah hilang. Tiada rasa sungkan dalam mengungkapkan perasaan, baik kisah percintaan, ekonomi,perkuliahan bahkan keluarga. Setiap pertemuan demi pertemuan selalu dikemas dalam tawa walau sang pencerita dalam kelam masalah. Bagian tersebut adalah bagian yang sangat saya sukai saat berbagi kisah kepada pemuda se-Sumatera?

“Panjang, Dalam dan Terasa” telah mempertemukan 20 pemuda se-Sumatera. Ini jua kata kunci penghilang stress saat pertemuan ditaja.





Apa itu “Panjang, Dalam dan Terasa”?

Entah apa yang panjang, entah apa yang dalam dan entah apa yang terasa.

“Panjang! Semua orang suka yang panjang-panjang! Kalau tak panjang tak enak dia. Nah, kalau sudah panjang, pasti makin dalam. Makin dalam, makin….terasa…” jawaban selalu dicetuskan oleh Puput dan Made Ali dengan ekspresi wajah seloro. Kalau tak percaya, tanya sendiri deh.

Atas. Heri, Makmur, Cahaya, Novi, Putri dan Hamid
Bawah. Made, Andreas Harsono, Puput Arie dan Rian.
Jujur, agak sedikit kesulitan untuk melakukan penamaan, karena lidah melet-melet.
Itu adalah judul pelatihan narasi se-Sumatera yang diakomodir oleh Bahana Mahasiswa Universitas Riau. Takdir mempertemukan kami di Februari 2011, Sei Rokan.  Selama seminggu kami berhasil saling mengenal pribadi lepas pribadi orang yang duduk di kelas narasi.

Puput Jumantirawan, pria Jawa kelahiran Aceh Tengah. Ia bercerita tentang tempat tinggalnya semasa kecil. Saat itu baru lepas dari fase merangkak, belajar berjalan dan harus berlari. Berlari diantara dinginnya dedaunnya, melwati pohon-pohon tinggi dan bersembunyi di semak-semak. Suara tembakan terdengar dimana-mana.

Keluarga Puput dan orang Jawa-jawa lainnya menjadi sasaran orang-orang Aceh. Kenapa?

Orang Aceh sangat membenci Bangsa Jawa, selama ini mereka mengatakan bahwa bangsa Jawa telah menjajah orang Aceh. Namun lihat, pelampiasan itu dilimpahkan kepada orang Jawa yang berada di Aceh.

Penyerahan karikatur kepada Mpok Rini PWI. Karikatur tersebut digambar oleh Melba
“Kami mau dibunuh karena kami Jawa!” bahu Puput naik turun. Ada isak yang tertahan, matanya berkaca-kaca, sudut matanya berair.

Saat itu saya belum tahu bagaimana cara mendiamkan orang yang menahan linang air mata. Air yang baru saja mengalir keluar dari sudut mata, ia potong dengan jari-jari dan spontan melap jari di celana jeansnya.

Peserta lebih memilih diam, menunduk dan mendengar cerita lanjutannya.

Tak hanya Puput yang berani mengisahkan kenangan pahit keluarganya. Cahaya. Saya cukup merasa nyaman saat bercerita sama Cahaya Buah Hati. Mahasiswi berkerudung besar ini selalu mengemas kisah sedih dengan senyum lesung sipitnya. Jilbab yang sering ia kenakan adalah warna coklat.

Menulis membuat Cahaya berkuliah. Usai mengenakan putih abu-abu selama tiga tahun, ia memiliki cita-cita yang kuat untuk kuliah. Namun karena kondisi ekonomi orangtua yang belum berpihak akhirnya ia meniatkan diri untuk bekerja menafkahi dia dan orangtuanya sembari mengumpulkan uang untuk kuliah.

Bekerja di toko buku adalah pilihannya. Menjaga sambil membaca ia lakukan setiap hari. Mulai dari buku pelajaran, novel, majalah hingga tabloid. Ia pun menghapal letak buku-buku yang hendak dicari pengunjung. Suatu ketika Cahaya bercerita tentang suatu gosip selebritis pada saya, alhasilnya saya yang kurang menggemari gossip hanya mengangguk-angguk saja. Saat saya tanyakan darimana ia mengetahui gosip demi gosip dengan detail. Dari membaca tabloid di toko yang ia jaga.

“Saye tahu banyak dari baca Nov,” tutur Cahaya dengan dialek Melayu kental.

Siang itu kami berbicara dari hati ke hati. Ada empat tempat duduk yang terbuat dari semen, bulat, pinggirannya diukir seperti kulit kayu. Merah bata berpadu dengan coklat. Cahaya mengenal menulis dari seorang gadis yang mencari tulisan-tulisannya di beberapa media cetak di toko buku yang dijaga Cahaya.

Saat Cahaya menjaga toko, ada seorang gadis yang grusak-grusuk sibuk singgah dari rak satu ke lain. Ia bertanya kepada Cahaya tentang majalah yang ia cari. Gadis yang ditemui Cahaya berbicara dengan semangat, seakan matanya memancarkan bahagia yang luar biasa. Alhasilnya, Cahaya penasaran, kenapa ia mencari majalah itu.

Agun Zulfaira sedang memandang saya (sedang duduk) dan Rizki (jongkok).
Apa sih yang Kang Agung pikirkan?
“Tulisan saya masuk ke dalam majalah itu mbak,” tiru Cahaya  saat bercerita.

Mendengar ucapan gadis itu, Cahaya semakin penasaran. Gadis itu menjelaskan bahwa dengan menulis, ia dapat menuangkan perasaan dalam guratan pena, bukan hanya itu saja, dengan menulis, gadis itu mendapatkan hasil yang sama dengan gaji sebulan menjaga toko buku.

“Bagaimana saya bisa menulis seperti Mbak?”

Komunitas. Cahaya mengikuti komunitas yang disarankan oleh gadis yang sedang berbahagia karena karya-karya dimuat. Niat untuk meraih jenjang sarjana semakin menggebu. Usai menjaga toko, Cahaya langsung bergegas bergabung dengan komunitas. Ia bertemu dengan orang-orang yang lebih muda darinya. Mulanya ada rasa minder. Namun ia berhasil melumpuhkan rasa itu. Semangat dan harapan menang atas Cahaya.

Bulan demi bulan, karya-karya berhasil menembus media local. Saat tulisan pertamanya masuk media local yang berada di Riau. Seluruh teman-teman komunitas mengucapkan selamat. Semua temannya senang satu langkah keberhasilan Cahaya. Satu tulisan lolos, maka ia semakin menggebu untuk menulis. Menulis…menulis dan menulis…

Kini Cahaya tak malu sebagai penjaga toko buku. Memiliki banyak teman, banyak motivasi. Semakin produktif. Tiada lelah untuk bertahan hidup demi hidup yang lebih layak. Toko dan komunitas adalah kesehariannya. Dua lokasi itu gudang ilmu bagi Cahaya.

Binar untuk duduk di bangku kuliah semakin bercahaya sama seperti harapaan Cahaya yang semakin bercahaya. Ia mendapatkan beasiswa di jurusan Sastra Melayu. Karyanya yang berhasil membuat Cahaya kuliah. Spontan saya memotong kisah Cahaya dan bertanya tentang usianya. Ternyata kami terpaut lima tahun.

Duduk dibangku kuliah dengan teman-teman yang tak lagi sebaya bukan lagi hal yang janggal baginya. Cahaya semakin termotivasi untuk kuliah saat ibunya senang mendukung Cahaya. Saya banyak belajar ketabahan dari Cahaya. Tabah namun tidak pasrah!

Ia juga mengajari saya untuk bercakap halus. Entah berapa kali kami latihan berbicara pelan, saat di kamar, istirahat kelas Narasi dan malam.

“Novita…”

“Apa!!!” jawabku dengan logat Batak.

“Kalau Cahaya panggil Novita, jawabnya harus, iya saya.”

Saat bersama teman-teman, tanpa saya sadari semua mereka mulai meniru logat batak dan suara keras saya. Berbicara menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kau’. Bahkan Neli, peserta dari Lampung juga sempat shock mendengar kebiasaan bicara saya. Ia masuk ke kamar saya dan mengatakan bahwa baru kali ini mendengar seseorang yang meng-kau-kaukan orang tanpa merasa bersalah. Baiklah, saya harus mengikuti kursus dari Cahaya.

“Novita…”

“Iya saya.”

Cahaya juga bersedia menjadi komentator. Ia mengatakan bahwa kata-katanya sudah tepat, namun jangan kuat kali, bisa terkejut-kejut orang mendengarnya. Disampaikannya, kalau dipanggil harus senyum dan bicara lembut.

***

Peserta yang hadir ada 20 orang. Makmur Dimila dan Zul dari Aceh. Wan Ulfa, Rizky Ardhani Situmorang dan saya dari Medan. Puput Jumantirawan, Abdul Hamid Nasution, Melba Ferry Fadly, Rian, Hermawan dan Agun Zulfaira. Panitia pelaksana juga dari Riau. Panitia rangkap peserta. Made Ali, Lovina Soenmi dan Aang Ananda Suherman. Peserta dari Padang adalah Heri Faisal, Dedi dan Putri. Dan dari Lampung adalah Neli Merina.

Oktober 2012, diadakan reuni peserta pelatihan yang pernah mendapatkan pelatihan narasi. Reuni ditaja di Medan. Pembentukan Komunitas Narasi Sumatera.

Selama saya kuliah, ini adalah pelatihan terlama yang pernah saya lewati.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar