Selasa, 17 Mei 2011

Keluarga Bayi Hydrocepallus Pasrah


Medis Menyerah Menangani
Bayi Hydrocepalus akan Pulang Kampung

Bayi Hydrocepalus yang membutuhkan uluran tangan pembaca, hari ini akan kembali ke kampung halamannya bersama keluarga. Destia masih berusia 4 bulan, namun kini bayi itu sudah menanggung beban yang teramat berat. Kondisinya tak sama dengan bayi lain, ia hanya dapat terbaring di tempat tidur, tak dapat mengerakkan kepalanya hanya dapat menggerakkan tangan dan kakinya yang mulai mengecil akibat penyakit yang dideritanya.
Kemiskinan yang dialami pasangan Sohiruddin (34) dan Siti Amina (27) warga Tanjung Ale, Kecamatan Huta Raja Tinggi Kabupaten Padang Lawas ini membuat mereka pasrah dengan keadaan anak keduanya ini.
Anak pertama dari pasangan suami istri (pasutri) ini terlahir normal dan sekarang berusia 3 tahun. Berbeda dengan anak kedua mereka yang baru berusia 4 bulan dan kini mengalami Hydrocepalus ganas. Tim medis sudah bisa membantunya secara medis, namun bila tim medis tetap melakukan operasi maka akan membahayakan nyawa bayi tersebut bahkan akan mengancama nyawa Destia.
Keadaan ini semakin membuat kedua orang tua pasrah dan ikhlas dengan keadaan Destia, Saat saya kembali menjengguk Destia yang dirawat Lantai IV ruang IX bedah anak RSU Pirngadi Medan terlihat Destia yang sedang tidur lelap dengan keadaam lingkar mata tampak hitam.
Kini bayi perempuan itu terbaring di rumah sakit umum Pirngadi. Bayi ini dalam keadaan tidur lelap sewaktu dijenguk. Siti Amina menjelaskan bahwa Destia tidak bisa dioperasi. “Kemarin dokter sudah bilang sama kami, kalau mau dioperasi lingkar kepala bayi tidak boleh lebih dari 20 cm, sedangkan lingkar kepala Destia sudah 25. Sewaktu dia dirawat di rumah sakit yang ada dikampung dulu, dokter bilang kalau lingkar kepalanya sudah 23 makanya dia kami bawa ke Medan, ternyata kepalanya semakin membesar dan dokter juga menyerah,” ucap Siti tunduk dan pasrah.
Destia juga susah tidur di malam sehingga siang hari Destia baru tertidur lelap. Kondisi yang sangat memprihatinkan juga ditambah dengan kondisi badan Destia yang selalu demam dan ibunya hanya bisa mengkompres dengan air untuk menurunkan panasnya.
Kedua orang tua anak Destia ingin membawa anaknya kembali kerumahnya dikarenakan sudah tidak ada biaya lagi untuk makan dan biaya yang lainnya. Pasutri ini kini menanti uang 480 ribu yang digunakan sewaktu biaya scanning kepala Destia.
“Kata medis Pirngadi alat scan disini rusak, jadi harus scan diluar lalu mereka bilang biayanya akan diganti. Biaya scan anak kami 480 ribu namun mereka sebelumnya mengatakan pada kami akan mengembalikan 350 ribu saja. jadi kami menunggu uang itu keluar, baru kami segera pulang,” jelasnya.
Ibu bayi ini menjelaskan bahwa Destia akan dibawa berobat tradisional dkampung saja. “Biaya ongkos kami pulang kekampung itu tergantung dari biaya yang akan dikeluarkan rumah sakit, karena ongkos satu orang 150 ribu, saya dan suami saya jadi 300 ribu, lalu nyambung lagi dan butuh biaya per orang 25 ribu . Jadi uang itu sangat menentukan nasib kami,” ucap Siti.
Siti dan suami sempat menangisi anaknya di malam hari karena tim medis di Pirngadi tidak dapat lagi menolongnya. “Kami sudah sngat pasrah sekali dek, kami datang kesini berharap agar anak kami sembuh, tapi Allah berkehendak lain. Kami akan bawa di ke kampung sajalah. Untuk biaya berobat kampung akan kami cari setelah kami pulang, karena sudah 10 hari lebih suami saya tidak bekerja,” ujarnya.
Kemudian ayah Destia, Sohiruddin mengungkapkan bahwa untuk  biaya kehidupan disini sangat mencekik leher. “Modal kami kesini sangat minim, kami rela makan tak makan karena kami pun orang susah. Dua hari yang lalu, neneknya yang ikut ke Medan kami suruh pulang, karena kami makan tak makan disini, kami takut nanti keadaan neneknya jadi sakit pula, itupun kami minta tolong sama supir yang membawea neneknya agar tidak bayar, karena kami benar-benar tidak ada biaya. Untung saja supirnya mau membawa neneknya walau tidak bayar, Tuhan maha tahu, dia menolong kami dek,” imbuhnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar