Matahari menyengat tajam menerawang jauh ke tanah Aceh.
Aroma ketakutan semakin akrab. Selasa pagi, ibu-ibu melantunkan doa dan kidung
pujian kepada Sang Pencipta. Tetap pada awal bulan di Hari Selasa, 1 Mei 2012.
Aceh Singkil dipenuhi teriakan.
Lantun tangisan para ibu hanya menjadi tontonan.
Menangis sampai suara serak. Pakaian yang mereka kenakan basah, bercampur antar
keringat dan air mata. Jumlah ibu-ibu itu berkisar 60 orang.
“Tuhan… Tolong
kami... Tolong… Jangan tutup gereja kami,” jerit para wanita yang berada di
halaman Gereja Kristen Protestan Pak-pak Dairi (GKPPD) Siatas. Jeritan itu
semakin menjadi-jadi saat penyegelan dilakukan.
Tampak juga beberapa ibu, menangis sesak menahan beban
di dada. Aksi penyegelan dilakukan oleh rombongan MUSPIDA, MUSPIKA berserta FPI
Aceh Singkil dan Satpol PP. Jeritan para wanita menghiasi penyegelan gereja.
“Jangan… Kami mau beribadah dimana???” jerit wanita
yang rambutnya memutih sambil menepuk-nepuk dadanya.
Tak lama kemudian sangkin histerisnya, ada seorang ibu
yang tersungkur jatuh di atas tanah dengan kondisi menengadah ke langit seolah
meminta keadilan. Ibu yang tersungkur di atas tanah itu digotong perlahan oleh
ibu-ibu sambil menahan tangis yang tak terbendung saat menyaksikan rumah
ibadahnya disegel.
Tak tanggung-tanggung, aksi penyegelan itu bukan hanya
terjadi di satu gereja. Lima
gereja yang berdiri tegak berhasil dikeringkan oleh tim MUSPIDA, MUSPIKA
berserta FPI Aceh Singkil dan Satpol PP. Hal yang serupa terjadi pada empat
gereja berikutnya. umat Kristiani yang menyaksikan rumah ibadah hanya dapat berdiam
menahan sesak bercampur ketakutan.
Perlawanan fisik yang kuat tak ada dilakukan oleh umat
Kristiani saat menyaksikan di depan mata sendiri, gereja tempat berbicara
dengan Sang Pencipta disegel. Mereka hanya bisa menjerik dan berteriak dan
mencari dimana keadilan.
Adapun lima gereja yang disegel pada Selasa, 1 Mei
2012 adalah GPPD Biskam di Nagapaluh, Gereja Katolik di Napagaluh, Gereja
Katolik di Lae Mbalno, JKI Sikoran di Sigarap dan GKPPD Siatas.
Setelah FPI bersama MUSPIDA, MUSPIKA beserta Satpol PP merasa berhasil menyegel empat
gereja pada 1 Mei maka mereka beraksi pada Kamis, 3 Mei 2012 dan berhasil
menyegel 11 rumah ibadah yakni GKPPD Kuta Tinggi, GKPPD Tuhtuhen,
GKPPD Sanggabru, JKI Kuta Karangan, HKI Gunung Meriah, Gereja Katolik Gunung
Meriah, GKPPD Mandumpang, GMII Mandumpang, Gereja Katolik Mandumpang, GKPPD
Siompin dan rumah ibadah Pambe – agama lokal/ aliran kepercayaan.
Oknum yang mengatas namakan agama Islam ini masih
tidak merasa puas walau telah menyegel 16 rumah ibadah. Mereka kembali ke GKPPD
Siatas yang telah disegel pada tanggal 1 Mei, mereka datang untuk memrobohkan
pagar gereja. Mereka menghancurkan Rumah Tuhan, layaknya manusia yang tak
mengenal Tuhan.
Kini 10 ribu umat Kristiani mencoba mengobati luka
ketakutan. Luka itu tercipta karena tidak tegasnya pemerintah terhadap
peraturan yang ditegakan. Saat oknum yang mengatas namakan agama mayoritas
mengancam kaum minoritas, pemerintah malah menuruti perkataan tersebut.
Pemerintah ini, ibarat lebih takut dengan okum yang mengatas namakan agama dari
pada Undang-undang yang jelas
keberadaannya.
Akibat penutupan yang dialami gereja, maka umat
Kristiani mengalami kesulitan untuk beribadah. Merasa terancam. Trauma akibat
penyegelan masih melekat tajam dalam pikiran. Sepuluh ribu umat Kristiani
merasa takut untuk beribadah dan melaksanakan ibadah setiap minggu. Ketiadaan
gereja yang dapat dihuni bersama ibadah mingguan menjadi kendala utama ditambah
dengan ancaman akan perobohan gereja.
Selain gerbang gereja digembok, tembok gereja juga
ditempeli pamflet yang berbunyi bahwa dalam 3 x 24 jam, pemerintah kabupaten
harus membongkar bangunan gereja tersebut. Pamflet yang ditempel pada dinding
adalah ancaman yang berasal dari pemerintah sendiri.
Kini umat Kristiani melaksanakan ibadah mingguan
dengan sembunyi-sembunyi. Seakan Negara Indonesia bukanlah negara beragama
yang membiarkan warga Negara dengan bebas warga negaranya memeluk agama yang
diyakini tanpa adanya paksaan dan ancaman dalam melaksanakan ibadahnya. Namun
kesulitan dan ketakutan untuk beribadah kini ada.
Tepat hari Minggu, usai penyegelan, Minggu
6 Mei 2012, Gereja Katolik Napagaluh melakukan Kebaktian Minggu di halaman rumah
seorang Majelis Gereja (Vorhanger) dan GMII Mandumpang melaksanakan Kebaktian
Minggu di halaman Taman Kanak-kanak (TK) Tunas Harapan Bangsa karena ketakutan
terhadap penyegelan Tim Monitoring pemerintah.
Sedangkan umat Kristiani lainnya, terkurung dalam
ketakutan dan lebih memilih untuk tidak beribadah karena tidak adanya jaminan
keselamatan dari ancaman.
Peraturan yang
Melanggar
Gerombolan yang melakukan
penyegelan tersebut menggunakan dalih Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri
tentang Rumah Ibadah yang tertera dalam; Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang
Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil Nomor 2/2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara komunitas Islam dan
Kristen dari tiga kecamatan di Aceh Singkil (Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan
Gunung Meriah, dan Kecamatan Danau Paris) yang diteken pada 11 Oktober 2001.
Surat perjanjian itulah kini menjadi pemantik penyegelan
gereja. Dalam surat
tersebut disepakati bahwa komunitas Kristen hanya boleh mendirikan satu gereja
dan empat undung-undung (kapel atau tempat doa) di Aceh Singkil.
Pembatasan jumlah gereja dan
penyegelan yang terjadi serta ancaman pembongkaran gereja mengakibatkan Umat
Kristen dan agama minoritas lainnya merasa tertekan dan terancam. Kondisi ini membuat
hak masyarakat atas jaminan kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan
tidak terpenuhi bahkan dirampas oleh pengambil kebijakan. Hal
ini bertentangan dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia UUD
1945 khususnya Pasal 28 dan 29 dan melanggar UU No.39 tahun 1999
tentang Hak Azasi Manusia khususnya Pasal 4 dan 22.
Bila pemerintah daerah berpatokan pada perjanjian
sebelumnya yakni perjanjian yang dibuat pada tahun 1979 lalu diperkuat dalam
Pernyataan Bersama Umat Islam dan Kristen tahun 2001yang mengharuskan umat
Kristen hanya bebas mendirikan satu gereja dan empat undung-undung (rumah
ibadah kecil sejenis mushola pada umat Islam).
Perjanjian tersebut selain diskriminatif, intoleransi
dan bertentangan dengan konstitusi dan HAM karena dalam implementasinya
ternyata selain membatasi pendirian gereja, juga adanya pelarangan
kunjungan rohaniawan Kristen (pastor/pendeta) ke wilayah Aceh Singkil untuk
melaksanakan tugasnya.
Pemerintah seharusnya tidak bisa didikte atau
dikendalikan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang anti toleransi dan
HAM. Penyegelan rumah ibadah di Aceh
Singkil terbukti melanggar keamanan publik, ketertiban publik, kesehatan
publik, moral publik, dan hak-hak dan kebebasan mendasar orang lainnya
sebagaimana telah diatur di dalam undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 hasil
Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik terutama pasal 18
ayat (3).
Kasus penyegelan gereja ini tidak dapat dibiarkan
berlarut-larut. Menteri Agama harus turun tangan. Bila ini terus dibiarkan,
maka akan muncul fenomena dimana kelompok minoritas merasa tidak aman dalam
beribadah. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan konstitusi yang secara jelas
melindungi hak warga untuk beribadah. Jika ini dibiarkan maka ungkapan pluralisme
hanya tinggal bangkai bagi Aceh.
Dan sampai tulisan ini diterbitkan, gembok-gembok yang
digunakan untuk menyegel masih tancap dan melekat kuat pada gerbang dan
pintu-pintu gereja.