Delapan wartawan
telah melewati penerbangan Melbourne-Canberra selama 55 menit. Mereka paling
sedikit membawa dua tas untuk persiapan selama tujuh hari.
Keberangkatan ke
Canberra dipandu oleh wanita yang berambut coklat berbaju hitam putih dan tas
coklat di selempangkan di bahu kanannya. Deborah Muir namanya.
“One, two,
three……Eight. Okay,” ucapnya saat berada sembari menghitung jumlah fellow.
Deb selalu
menghitung jumlah peserta, terutama bila ada peserta usai menyebrangi jalan,
berjalan dikeramaian dan persimpangan. Entah berapa Deb mengucapkan angka satu
sampai delapan. Untungnya dia lebih tinggi dari kami semua, jadi dia tak perlu
jinjit sewaktu menghitung kami.
Berbekal
semangat, pengalaman, rasa ingin tahu, maka naluri jurnalis kami kembali
berkobar. Sesampai melewati proses pemeriksaan bandara yang cukup menyita waktu
untuk membongkar tas, akhirnya rasa itu terbayar sudah sesampai di Canberra.
Usai menitipkan
barang-barang di hotel kami langsung bergegas mencari makan siang. Saat makan
siang pun Deb tak lupa untuk menghitung jumlah kami. Australian War Memorial
adalah tujuan berikutnya. Sesampai disana kami sudah melihat gedung War
Memorial yang saling berhadapan dengan Old Parliament House.
Setelah menatap
lamat-lamat ke Old Parliament House, seketika itu saya tersadar bahwa ada
ratusan kursi putih yang berbaris rapi menghadap ratusan karangan bunga. Pada
karangan bunga terdapat nama negara. Ada
karangan bunga dari Negara Indonesia tempat kelahiran saya, ada dari Bosnia,
Timor Leste, Mexico, Arab Saudi, Malaysia dan masih banyak ratusan karangan
bunga. Dan karangan yang paling mungil adalah karangan bunga dari siswa sekolah
dasar.
“Their name liveth for
everymore,”terukir di atas batu yang dipenuhi karangan bunga.
|
Saat masuk ke
dalam gedung War Memorial, saya benar-benar disuguhkan dengan atmosfer tahun
1800-an. Foto, patung, pakaian para militer yang berjuang, tongkat, serta
peralatan makan hingga perang. Gedung Austalian War Memorial ini dibuka pada
1941 yang terdiri dari tiga bagian: Area
Commemorative (kuil) termasuk Hall of Memory dengan Makam Prajurit Australia
diketahui, galeri Memorial ini (museum) dan Pusat Penelitian (catatan). Memorial ini juga memiliki Sculpture
Garden luar ruangan. Memorial
saat ini buka dari 10 sampai 5
sore.
Two Light
horse signaller outside a redoubt in the Sinai Desert, 1918
Salah satu foto yang membuat saya larut
adalah dua orang tentara yang duduk di daerah Sinai. Mereka mengenakan celana
pendek, kaos kaki setinggi siku kaki, hanya topi sebagai pelindung kepala
mereka. Alat tulis dan kertas pada tangan merekalah yang membuat saya menitikan
air mata.
Seperti mereka
sedang melakukan komunikasi jarak jauh. Duduk diatas pasir tandus. Kawat duri
yang berada di belakang mereka membuat keadaan semakin mencekam bagi saya. Saya
sempat berbicara dalam batin saya.
“Apa mampu saya
melewati masa yang telah dilewati oleh mereka yang telah tiada. Suara tembakan.
Darah. Mayat. Gurun. Seketika entah kenapa tiba-tiba saja saya berfikir, ini
akan terjadi bila saya meliput perang. Mau tidak mau harus mau dan mampu!”
Mereka yang
berada namanya terukir di War Memorial ini adalah pahlawan yang takkan pernah
dilupakan sekaligus korban perang. Saat melihat seisi War Memorial, saya
berpapasan dengan seorang fellow dari West Papua, Yermias Degei ia mengatakan
peperangan harus segera dihentikan.
“Stop
peperangan! Mereka ini adalah bukti dari korban perang! Stop penindasan! Stop
penjajahan!”
Benar yang
disampaikan oleh Yermias, entah berapa kerugian materi yang hilang saat
berperang. Tak terhitung nyawa yang hilang.
“Mana
teman-teman kita? Pasti Deb mencari kita,” ungkap saya pada Yermias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar