Warna yang berbeda bisa semerawut jika menciptakan
coret-coret yang kacau. Saat mengikuti pelatihan jurnalistik di salah satu
hotel yang berada di Berastagi, saya berkenalan dengan tiga teman dari Singkil,
Aceh.
Mereka datang dari Aceh dengan membawa harapan agar rumah
ibadah mereka dapat mereka fungsikan kembali tanpa ada intimidasi dari pihak
manapun. Kini warna yang berbeda itu sedikit acak-acakan di Aceh Singkil.
Keharmonisan mulai pudar.Bergesekan dan memanas.
Keharmonisan ini rusak karena adanya kasus-kasus intoleransi
yang terjadi sehingga meungkinkan terjadi konflik. Sekarang kebersamaan dan
kekeluargaan mulai merenggang anta umat. Disela-sela pelatihan sambil menikmati
hidangan kue dan secangkir kopi di atas meja bertaplak merah. Teman-teman baru
saya dari Aceh merasakan kerinduan akan kue Hari Raya.
Tahun 1990, ternyata tradisi merayakan pesta kemenangan
agama lain adalah suatu kenangan yang sangat membekas indah dalam benak mereka.
Saat Umat Muslim merayakan Hari Raya maka pada saat hari kemenangan itu, Umat
Kristiani datang melakukan kunjungan ke rumah-rumah yang merayakan Hari Raya
Idul Fitri dan memberikan satu selampis
(Bahasa Batak Karo artinya tandok, anyaman yang terbuat dari daun nipah)
“Selampis itu
biasanya diisi dengan beras pulut, gula, minyak makan terkadang kelapa. Itu
nantinya akan diolah keluarga yang menerima kembal
menjadi lemang, wajid, kembang loyang dan kue.”
Itu masih ia rasakan saat ia duduk di bangku sekolah dasar,
sekitar kelas III sampai kelas VI
SD. Hal dilakukan Umat Kristiani saat Umat Muslim
merayakan hari kemenangan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Begitu juga
sebaliknya, saat umat Kristiani merayakan hari kemenangan, mereka yang umat
Muslim datang ke rumah umat Kristen kala tahun baru. Saat itu kegiatan tatap
muka, duduk bersama dan saling berceritan, tanpa memandang siapa pun, dari
agama manapun.
Semua peserta pelatihan seketika menjadi takjub, hening.
Hanya ada suara peserta dari Aceh dengan suara yang merindukan kebersamaan di
kampungnya.
Merindukan beras pulut lintas agama.
“Wah…ternyata dulu di Singkil sangat luar biasa harmonis
ya!” ketus salah seorang peserta.
Selampis dibawa
sebagai oleh-oleh sekaligus ungkapan turut berbahagia kala merayakan hari
kemenangan. Kembali mereka mengalirkan kisah indah yang mereka alami. Ternyata,
apresiasi merayakan hari kemenangan lintas agama itu tak hanya dengan berbagi selampis. Masyarakat Aceh Singkil juga sempat
melakukan makan bersama di los
(Bahasa Batak Karo artinya pekan). Los
di Aceh Singkil dibuka setiap Hari Selasa. Saat Hari Raya, Umat Muslim
mengundang melalui Mukim (camat)
untuk mengundang masyarakat kampung, mulai dari umat Kristen Protestan,
Khatolik bahkan umat yang memiliki kepercayaan leluhur turut hadir saat makan
bersama kala Hari Raya. Dan itu semua didanai oleh Umat Muslim.
Serupa, tahun baru juga kegiatan itu juga saling berbalas.
Umat Kristiani mengundang seluruh masyarakat kampung, tak terkecuali siapapun
untuk dapat hadir mengikuti makan bersama, namun bedanya umat Kristiani
memberikan bahan mentah kepada umat Muslim seperti beras, kambing, ayam dan
bahan lainnya agar diolah menjadi makanan saat makan bersama. Ini dilakukan
untuk menjaga kebersamaan, dan saat itu juga bergantian, Umat Kristianilah yang
mendanainya.
Bukan hanya umat Kristiani maupun Muslim yang memiliki hari
kemenangan, namun undangan juga datang dari Umat Parmalim. Pada Maret, umat
Parmalim mengundang masyarakat kampung dari agama apapun untuk makan bersama di
hari kemenangan umat parmalim.
Sambil melayangkan bola matanya ke atas seraya kembali
mengingat masa makan bersama di los.
Makanan akan banyak bila masyarakat setempat sedang panen, bila panen maka akan
makan daging lembu, kalau lagi tak panen, biasanya masak daging kambing dan
ayam.
Sekitar tahun 1990, los
yang berada di Singkil masih terbuat dari kayu. Tanpa cat. Tiang penyanggah
terbuat dari kayu yang masih bulat. Bagian meja terbuat dari kayu yang dibelah
membentuk persegi, sedangkan atapnya terbuat dari daun rumbia. Semua ada di
saat los buka. Mulai dari gula,
kelapa, tepung, sayur-sayuran, buah-buahan, pala dan bumbu-bumbu dapur lainnya.
Uniknya saat dipekan, beras dijual dalam bamboo besar. Bambu yang bermuatan dua
liter dan dijual seharga Rp. 500.
Keadaan itu masih sempat mereka rasakan. Namun keadaan los
20 tahun lalu tak lagi sama dengan los
di era ini. Kini los sudah terbuat triplek dan dimodifikasi dengan broti-broti
kayu penuh dengan cat dan beratap seng.
Los di Aceh
Singkil adalah saksi bisu perayaan hari kemenangan lintas agama yang dihiasi
dengan cerita sampai mengundang tawa mengoncang perut. Makan bersama, dudul di
lantai los, saling mengover mangkok
yang berisi daging ke orang-orang yang disebelah kanan maupun kiri, tanpa
melakukan diskriminasi agama dan suku. Teko yang berisi air juga mengisi setiap
gelas-gelas kosong, dan air dari teko tidak pernah tak keluar karena perbedaan
agama dan suku.
Kuali tempat memasak daging dan dandang tempat memanak nasi
untuk orang satu kampong mungkin merindukan kembali dan bertanya, “kapan kami
dipakai untuk memberi makan satu kampong?”
Ember timba kecil dan mangkuk-mangkuk plastik tempat cuci
tangan, piring-piring kaleng berisi nasi, daging dan sayur. Serta gelas-gelas dengan
air yang sempat berkumpul di sungai, pasti merindukan mandi bersama dan elusan
tangan-tangan perempuan yang ikhlas hatinya untuk berbincang di pinggir sungai
sambil membasuh peralatan makan telah digunakan.
Apakah tuan dan puan
tak merindukan masa itu?
“Ketika cinta itu mulai pudar, ingat aja saat-saat ini, saat
dimana cinta kita begitu berbunga, saat-saat indah yang kita lalui bersama,
sehingga ingatan itu akan memekarkan kembali cinta yang pudar itu.” Sepenggal
kalimat yang dikatakan oleh tokoh pria pada tokoh wanita pada sebuah film
cinta. Benar, ingatan akan cinta yang begitu indah bisa menumbuhkan kembali
rasa yang mungkin mulai hilang di hati seseorang.
Demikian juga pada kasus yang terjadi di Aceh Singkil ini.
Cinta yang mulai layu, keharmonisan yang mulai memudar, rasa kekeluargaan yang
semakin menjauh, dan kebersamaan antar umat beragama yang mulai bergesekan.
Namun, seperti adegan percintaan diatas, mungkin ingatan akan kehangatan
persaudaraan dan keharmonisan bisa kembali pulih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar