Ini adalah tulisan yang penulis buat ketika merasakan
radikal mulai mengalir di Sumatera Utara. Yah…kita katakan saja perbedaan agama
yang mulai mayoritas dan minoritas itu mulai menjadi-jadi di Sumatera Utara
(Sumut), apalagi di Kota Medan .
Sadar tidak sadar, bahwa sebelumnya karena keakraban, kasih
dan hidup dalam perbedaan yang harmonis, Sumut dikatakan sebagai “miniatur Indonesia ”.
Tapi kini? Keharmonisan heterogen itu mulai pudar. Jangan
katakan racun yang berada di Pulau Jawa yang setiap harinya kita lihat di media
cetak dan televisi selalu saja menyorot nasib siminor atas ulah simayor. Jangan
katakan virus itu sudah sampai ke Provinsi Sumatera Utara ini.
Walaupun, dikatakan kita harus menjaga keberagaman,
menghormati hak-hak agama lain, tapi detik ini itu tinggal kata. Jangan menutup
mata bung, intoleransi beragama terjadi untuk ke sekian kali di provinsi
“miniatur Indonesia ”
ini.
Terbukti dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi.
Aktivitas keagaamaan Konghucu ditolak oleh segelintir orang yang mengatas
namakan agama mayoritas.
Protes terhadap batalnya Kongres Internasional Agama
Konghucu di Medan yang seharusnya digelar pada 22-26 Juni 2012, sudah sampai ke
seluruh penjuru dunia dan semakin membuktikan kalau Indonesia memang tidak toleran.
Sebelumnya, di Tanjung Balai, protes terhadap rumah ibadah
pernah terjadi pada Vihara Tri Ratna. Saat itu umat Buddha di Tanjung Balai
mengalami ketakutan karena protes yang dilakukan segelintir masyarakat yang
mengatas namakan agama. Bukan hanya itu, pimpinan tertinggi Vihara Tri Ratna
dipaksa untuk menandatangani surat
kesepakatan untuk tidak meletakkan patung pada tempat paling tinggi. Padahal,
sebelumnya, pembangunan dan pemugaran vihara tersebut didukung oleh masyarakat
setempat yang mayoritas muslim.
Segelintir orang itu mengatas namakan nilai-nilai
kemusliman dan Melayu yang berada di Tanjung Balai pudar akibat vihara
tersebut. padahal sebelumnya sejak tahun 1970-an vihara itu telah berdiri di
Tanjung Balai. Konflik tersebut telah terjadi sejak dua tahun lalu. Pembiaran
akan konflik itu kerap terjadi. Tak ada satu pasal pun yang dilanggar. Tak ada
pelanggaran hokum. Dimana aparat keamanan?
Peristiwa di Tanjung Balai ini hampir sama dengan Kongres
Internasional Konghucu, dengan alasan mengesampingkan kearifan local,
menghilangkan nilai agama mayoritas. Ini adalah alasan yang aneh yang sangat
melompat dari logika dan nalar berpikir saya. Apakah agama juga produk lokal?
Dimana Aparat
Keamanan?
Ketika ancaman, tekanan dilakukan oleh segelintir orang
terhadap masyarakat untuk menjalankan kegiatan keagamaannya, dimana aparat
keamanan kita? Penulis yakin mereka tidur, tapi kenapa pembiaran kerap terjadi.
Bukan hanya pembiaran, bahkan lebih parahnya lagi, mereka lebih mendukung pihak
yang melakukan penekanan.
Inilah hukum Indonesia . Setiap pihak manapun
berhak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Perlindungan jangan hanya
diberikan kepada pihak yang lebih banyak massanya. Telah tertuang dalam UUD
1945 pasal 28 dan 29 bahwa negara menjamin setiap warga negara untuk bebas
berserikat dan menjalankan agamanya. Keberadaan polisi perlu dipertanyakan!
Padahal Konghucu adalah satu dari enam agama yang diakui
Pemerintah Republik Indonesia
melalui Keputusan Presiden No 6 Tahun 2000. Dengan adanya pembatal, ketika
salah satu agama dilarang melakukan kegiatan agamanya oleh elemen tertentu,
artinya negara telah gagal menjalankan tanggung jawabnya.
Sementara
Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Medan ,
Moh. Hatta mengucapkan “Lakum Dinukum
waliyadin yang artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku, maka umat Islam
harus menghormati dan melindungi agama apa pun.” Menurutnya dalam Islam tegas
dan jelas dijelaskan tentang kerukunan umat beragama.
Namun,
keberadaan kelompok yang mengatas namakan agama Islam semakin bertambah, bak
jamur di musim hujan. Lahirnya kelompok-kelompok radikal yang terus saja
menekan minoritas dan juga melakukan penekanan terhadap aparat keamanan, yang
sudah teruji nyata bahwa radikalisme yang lebih diutamakan daripada orang-orang
yang lebih terancam keselamatannya.
Apapun
alasannya, dunia sudah menyoroti Indonesia sebagai negara yang
sangat mudah dihina dan dilecehkan sekaligus sebagai negara yang tidak toleran.
Laporan Indonesia
terhadap dewan HAM PBB tidak perlu lagi dibantah, karena kejadian yang satu ini
mengamini laporan tersebut. Mau bagaimana lagi?
Dan
yang paling disayangkan bahwa negara tidak boleh turut campur dalam agama yang
diemban oleh masing-masing warga negara. Kini Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama
dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang perizinan mendirikan rumah
ibadah sudah ada di hadapan kita. Ini bukti peraturan yang melanggar
konstitusional. Kendati Peraturan ini tidak sesuai dengan Seputar Ijin
Mendirikan Rumah Ibadah prinsip-prinsip HAM, terutama kebebasan beribadah, kita
berharap peraturan ini bisa membantu masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini
menjalankan ibadahnya dengan baik. Kita tidak berharap Peraturan ini digunakan
justru untuk menghalangi atau membatasi orang untuk beribadah. Kalau ternyata
PBM ini lebih melancarkan pembangunan gedung-gedung ibadah sebagai wujud
kerukunan otentik di antara warga, maka ia telah menjadi berkat bagi negeri
ini. Kalau sebaliknya, maka PBM ini mesti ditinjau kembali, bahkan dicabut.
Beragam
sikap dalam menyikapi terbitnya peraturan ini. Pun gereja-gereja dalam
lingkungan PGI. Salah satu kekuatiran yang mengemuka adalah kemungkinan
digunakannya Peraturan ini sebagai instrumen baru untuk menghalangi penggunaan
rumah, ruko dan bangunan lain sebagai tempat beribadah sementara. Hal serupa
telah menjadi pengalaman di berbagai tempat dalam penerapan SKB nomor 1/1969.
Oleh karenanya berkembang wacana di kalangan berbagai pihak yang hendak mengadakan
judicial review, class action, unjuk rasa, bahkan pembangkangan sipil.
Semua ini tentu harus dihargai.
Kiranya
permasalahan di seputar pendirian rumah ibadah sejak diterbitkannya SKB nomor
1/1969 hingga dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomo 8/2006 dan 9/2006. Dengan sengaja draft pertama serta proses
perkembangan draft tersebut disertakan dalam buklet ini. Kiranya bisa menjadi
pembelajaran bersama bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar