Untuk
Mamak dan Bapakku Tersayang…
Aku heran! Entah apa yang
ada dalam pikiran orangtuaku. Saat aku mengerjakan ini salah. Saat mengerjakan
itu.
Entah apa yang mau
dilakukan selalu dipertimbangkan. Aku tahu bahwa sebelum mengambil keputusan
harus ada pertimbangan yang matang. Tapi kalau terlalu banyak menimbang
sana-sini. Aku mau jadi apa.
Usai menjalani praktek
pengalaman lapangan mengajar aku dapat panggilan untuk bekerja di Mimbar Umum.
Aku senang sekali, lagi-lagi orangtua selalu saja pesimis. “Ngapain jadi
wartawan. Mau jadi apa? Apa mau jadi tukang minta-minta?”
Aku paham, dengan kondisi
ini, karena dikeluarga kami juga ada saudara dari bapakku yang juga berprofesi
sebagai wartawan, namun tak tahu entah dari media media mana. Mungkin inilah
salah satu hal yang membuat pesimis dengan keadaan wartawan.
“Lagiankan tinggal skripsi
Mak. Nggak ada mata kuliah lagi kok. Pasti bisanya itu.”
Yah aku tahu penghasilan
wartawan tak sama dengan penghasilan buruh bangunan yang digaji seratus ribu
sedari pagi hingga petang. Tapi aku ahanya ingin menunjukkan aku bias loh.
Aku bisa dan aku berniat dan sedang mencoba membahagiaka kalian, entah
aku tidak tahu hal yang aku lakukan benar atau tidak dimata kalian.
Walau saat mulai kerja aku
meminta ongkos dari kalian, untuk naik angkutan umum. Tapi lihatlah sisi
positifnya. Dan ternyata benar, saat niat itu datang, maka tekadkanlah. Sembari
menjalani kehidupan sebagai kuli tinta, aku juga masih aktif di pers mahasiswa
kampus. Saat beberapa hari bekerja, aku melihat ada pelatihan jurnalistik
tingkat se-Sumatera. Dan entah kenapa aku tertarik dengan itu. Aku mengajak
rekan satu kampus untuk mendaftar dengan menggirim tulisan feature.
Tak banyak harapanku untuk
lolos seleksi tulisan, mengingat kemampuan menulisku. Tapi malamitu aku tetap
menulis. Aku mengirim naskah via email dan tanpa disangka. Dari Unimed, aku
lolos seleksi, sendiri.
Saat aku mengetahui bahwa
aku lolos seleksi, aku senang sekali. Semua kawan-kawan juga loncat kegirangan
bahkan ada sampai enam orang memeluk aku sampai terjatuh. Enam orang memeluk
sampai terjatuh timpa-timpaan di parkiran. Tapi aku senang dan entah kenapa aku
senang.
Saat mengetahui ini, aku
yakin kalian akan bangga mendengar bahwa aku lolos seleksi dan akan mendapat
pelatihan selama seminggu di Riau. Tapi saat aku menyampaikan itu.
Apapun yang terjadi, aku
hanya berdoa agar danaku dicukupkan untuk kesana. Apapun ceritanya, aku
meyakinkan kalian bahwa limper pun tak akan ada uang kalian yang akan keluar.
Aku bersyukur karena doaku di dengar TUHAN-ku.
Ia mencukupkan aku, bahkan
memberikan berlimpah bagi anak-Nya yang sabar. Pulang pelatihan bisa naik
pesawat. Dan sejak masuk ke kampus hijau ini, aku ingin sekali naik pesawat
gratis. Dan sembari itu satu harapanku terkabul lagi. Aku pulang dengan
oleh-oleh yang dibungkus dalam kotak, berharap kalian senang dengan oleh-oleh
yang aku bawa. Tapi mungkin karena itu hanya oleh-oleh murah dan mungkin tidak
ada harganya. Ya sudah…
Bercerita tentang
pelatihan yang aku dapatkan. Ternyata untuk menjadi jurnalis yang sesungguhnya
itu sangat banyak tantangan. Banyak elemen-elemen yang harus dipatuhi. Di
tengah-tengah pelatihan, sontak aku sadar bahwa kau merasa tak layak untuk
menjadi wartawan. Aku merasa belum berkompeten, aku merasa masih sangat minim
menguasai semuanya.
Aku ikhlas. Dari pada aku
menjadi seorang yang mengerjakan sesuatu tidak becus sempat aku urungkan untuk
menjadi wartawan. Yah...aku dulu punya mimpi ingin membagun sekolah. Semoga aku
dapat mewujudkan itu. Usai aku bercerita pada seorang kawan yang juga merupakan
panitia, dia memberikan banyak masukkan.
“Novi ,
kamu cocok jadi wartawan. Kamu jujur loh!”
Setidaknya aku tidak
terlalu mengambil pusing statement temanku itu, karena yang aku tahu kebayakan
orang jujur itu adalah orang goblok. Dia meyakinkan aku bahwa untuk menjadi
wartawan yang benar kita harus tahu cara yang benar dan bila sebelumnya kamu
belum tahu cara benar maka itu bukanlah kesalah dan sekang kalau kamu sudah
tahu cara yang benar dan kamu mundur maka itu suatu kesalahan.
Sontak aku merasa bila
kebenaran yang aku tahu tidak aku aplikasikan maka aku akan sangat berdosa.
Pada saat yang bersamaan aku juga mendapat penguatan dari pemateri pelatihan.
Pemateri mengatakan bahwa wartawan akan menjadi seorang benar-benar professional
bila dia digaji layak. Ia sedih bila melihat gaji wartawan yang kecil, bahkan
ada yang dibawah UMR.
Di akhir-akhir penutupan
pelatihan beliau mengajak berbincang, memberikan motivasi agar aku kembali
berjuang. Setelah itu beliau menyarankan untuk pindah media dan mencari media
yang menggaji karyawan dengan layak. Ia memfasilitasi.
Bimbang melanda.
Walaupun aku dalam
kebimbangan, yang aku tahu bahwa aku harus terus melangkah dan aku harus terus
maju. Maju dan maju. Entah siapa yang akan aku temui, entah bagaiman rupanya,
yang pasti aku akan menceritakan apa yang aku tahu padanya.
Akhirnya aku putuskan
untuk pindah media. Walau teman sekantor mengatakan bahwa belum kerja lama
namun sudah pindah kerja adalah bukti orang tidak loyal. Saat itu gaji pertamaku.
Aku merasa tidak rugi walaupun aku pindah. Sebulan, aku mendapat upah Rp.99
ribu. Bendahara memberikan uang Rp.100 ribu dan ia meminta kembalian seribu
rupiah.
Aku hanya bisa tertawa
dalam hati. Setiap harinya aku mengeluarkan kocek sekitar Rp. 15 ribu untuk
ongkos, itu adalah subsidi dari orangtua. Kembali aku mengingat nama yang
disebutkan pemateri saat terakhir pelatihan. Mencari di handphone lalu
menelepon. Entah apa yang membuat aku berani. Aku menelepon seorang pria yang
tidak aku kenal dan membuat janji untuk bertemu. Aku memutuskan untuk meniti
kembali karirku. Aku masih muda.
Setelah menjalani diskusi,
aku akhirnya memutuskan untuk bekerja di Harian Global. Saat itu nama Harin
Global lumayan terkenal di Kota Medan . Aku kembali membawa kabar baik ini
pada mamaku. Mereka hanya kebingungan karena dalam tempo yang cepat sudah
meloncat. Aku melihat mereka mulai tersenyum karena mereka tahu bahwa itu
adalah media yang agak sedikit tenar di Kota Medan .
Sembari itu mereka
mengingatkan bahwa jangan lupa untuk menuntaskan kuliah. Aku mengiyakan agar
aku tamat tepat waktu dan sejak aku masuk kuliah, aku juga sudah tekadkan bahwa
selambat-lambatnya aku harus tamat empat tahun. Aku sadar kalau aku anak
sulung, sekaligus boru panggoaran dan
adikku ada empat orang lagi loh.
Yang tadinya aku menguasai
jalan lintas angkot, kini aku harus pintar-pintar mencari jalan potong yang
cepat. Dan aku harus mengalahkan ketakutanku saat berkendara di jalan raya.
Setiap ada niat, pasti ada jalan. Semua dapat kulalui seiring berjalannya
waktu. Walaupun sesekali aku berharap pada tukang becak yang berbaik hati untuk
menanyakan nama jalan. Bahkan aku pernah bertemu dua kali dengan tukang becak
yang aku tanyai saat liputan.
AKU SENANG MENJALANI HARI-HARIKU. Berkelana entah ke antah berantah. Bermodal sms
dari komandan batalyon/korlip aku bergerak lihai kesana-kemari. Seharian
waktuku habis di atas Satria Baja Hitamku. Lalu masuk kandang pukul 16.00 WIB
bemodalkan catatan kecil lalu merangkai kata di depan komputer. Saat jam
menunjukkan pukul 17.30 WIB, ruang wartawan pasti selalu sangat rebut.
“Wadohhh…Deadline…Matilah
aku…
Wadoh…beritaku belum siap
diketik lagi…
Wadoh… gimana nih. Bapak
itu gak jumpa pula. Di telepon pun gak diangkat… Wadoh…mamposlah mana bahan gak
lengkap lagi…”
Itu terjadi ada seorang
wartawan yang melihat jam dan dia berteriak kea rah komputernya, maka teriakan
itu akan disambut wartawan lain sambil komat-kamit di depan computer dan
mempercapat gerak jari.
Bahkan ada pula yang
mewawancarai smabil mengetik, kalau narasumbernya ngomong terlalu cepat,
wartawan dengan lihai mengatakan agar ngomong dengan pelan dan singkat, karena
ini sudah jam deadline. Aku merasa lucu menikmati dunia ini. Teriak kalangkabut
akibat deadline itu hanya sementara, lalu mereka kembali mengetik tuk
menyelesaikan berita. Biasanya ada tiga berita yang disetor ke redaktur.
Bisanya habis magrib sudah
ada tukang pecal yang nongkrong di sebrang jalan kantor. Kalau ada yang sudah
menyelesaikan berita maka rekan satu kantor aku membeli pecal dan memakannya di
luar sambil merokok. Bila belum selesai dan belum lapar, maka bertahan di dalam
ruangan. Sesekali satpam kami yang ganteng menggoda untuk membeli pecal uwak
yang diseberang jalan.
Kalau belum selesai
berita, namun tak makan siang, maka pelampiasan adalah mie tukang pecal, pakai
bakwan disiram bumbu kacang. Beralas daun yang dipincuk, mie dibawa ke dalam
ruangan dan jadilah menguyak cepat sambil mengetik. Kalahlah sapi pokoknya
kalau sudah ngejar deadline. Walau hanya satu orang yang tak dapat menahan
lapar, namun aroma bumbu kacang menggoda seisi ruang redaksi wartawan.
Terkadang untuk
menghindari tegangnya deadline ada cengengesan sambil ngejakan berita sambil
memandang wajah wartawan-wartawan yang dikejar deadline. Ada yang berlari-lari keluar masuk ruangan. Tak
lupa juga ada yang memasang wajah panik di depan telepon kantor, berharap agar
narasumber yang ditelepon mau mengangkat telepon.
Bahkan ada pula yang
menjadi sesak buang air besar saat deadline.
Gaji pertamaku. Aku sangat
senang menerima gaji pertamaku. Jumlahnya sepuluh kali lipat dari gaji pertama
yang kuterima dari tempat aku bekerja sebelumnya. Aku langsung servis Satria
Baja Hitamku, karena dia yang menemani sepanjang hari. Tak lupa juga
perpuluhan. Senang rasanya, bagi seorang anak gadis yang tergolong hemat, angka
itu cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Biasanya saat gajian, aku langsung
membelikan nasi goreng atau bakso untuk adik-adikku di rumah. Walau sekali
sebulan tak apalah.
Maaf bila aku belum dapat
memberikan dalam bentuk uang ya. Yang pasti aku yakin, kalau kalian senang bila
melihat aku sudah mulai mandiri. Berjalan tiga bulan bekerja di Harian Global,
aku teringat akan tanggungjawab untuk menyenangkan orangtuaku. Bahwa aku harus
wisuda. Ternyata semua teman-temanku sudah pada seminar proposal semua. Kembali
aku menyentuh proposal yang sudah tiga bulan tak kusentuh. Sebelumnya, diantara
teman-teman kuliahku, aku sangat cepat mengejar dosen pembimbing skripsi dan
bulan Oktober 2010 saat aku PPL, aku langsung ACC judul setelah empat kali
diskusi dengan dosen pembimbing.
Aku mulai merancang bab
satu, dua dan tigaku. Dan alhamdullilah ya, dalam tempo satu hari satu malam
aku menyelesaikan tiga bab itu. Ya seperti biasa, urung tiga bulan tak bertemu,
dosenku bertanya kabarku. Sembari itu aku memberikan proposalku pada dosen
pembimbingku. Lalu pergi dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Aku
mengingat hari untuk bertemu kembali.
Ku naikki dan kuhidupku
Satria Baja Hitamku meninggalkan parkiran Unimed. Membuka catatan proyeksi
telah dibicaran di kantor. Mengutak-ngatik handphone membuat janji dengan
narasumber, bila tak sempat bertemu maka wawancara via phone, bila tak sempat
juga wawancara via phone maka menunggu sebentar dan kembali mewawancarainya.
SEMAKIN HARI PERJALANAN LIPUTAN SEMAKIN JAUH. Aku mendapat tugas liputan ke Medan Utara. Itu
adalah daerah lintas yang setiap detik jalannya dipenuhi truk container, dump
truk dan truk pengangguktan barang. Tangki Satria Baja Hitam yang kutunggangi sudah
mulai mengorek kocek angka yang lebih besar. Aku berusaha sehemat mungkin dan berbisik
dalam hati, bahwa ini adalah tantangan baru di dunia yang baru.
Panas terik. Hujan. Sudah
aku lewati bersama Satria Baja Hitamku.Bahkan mulai dari baju kering, basah
hingga kering lagi kerap menjadi makanan sehari-hari. Abu yang melekat pada
wajah sudah hampi sama hitamnya dengan abu yang melekat pada Satria Baja
Hitamku. Kembali pada dosen yang memegang proposalku, aku harus menjumpainya.
Aku menemui dosen
pembimbingku dan beliau mengatakan bahwa proposl masih perlu direvisi, ia
meminta agar revisiku cepat kembali dikerjakan karena sudah banyak mahasiswa
bimbingannya yang maju siding. Dia juga mengeluhkan bahwa aku adalah mahasiswa
bimbingan yang pertama menemuinya, namun kenapa aku yang menjadi penutup pula.
Proposal yang telah dicoret-coret bak tulisan cacing itu diserahkan padaku.
Sampai mengerutkan jidat untuk membaca coretan proposal.
Saat aku melihat coretan itu,
aku berfikir betapa susahnya mencari duit untuk mengeprint proposalku. Bahkan
untuk mengeprint proposal, aku sering nego-nego harga sama Neli. Ia teman satu
SMAku dan menjadi pegawai rental dekat kampus. Setelah negosiasi, harga
berkurang gopek. Tapi, lumayanlah…
Mak…Pak… Apa kalian tahu
apa yang sedang kulakukan sekarang? Anakmu ini sedang berjuang untuk
menyelesaikan studi, tamat tepat waktu agar tidak mengecewakan kalian.
Semenjak menjadi wartawan,
aku sering sekali pulang larut malam. Bila tidak mendapat jadwal piket, aku
sering pulang pukul 21.30 WIB. Namun bila sudah dapat jadwal piket tiap empat
hari. Aku sering tiba di rumah pukul 24.00 WIB. Pintu terbuka dan untuk
menghindari repetan dari kalian aku menghibur diri berkata, “Cinderalla pulang.”
Walau agak sedikit was-was melewati malam.
Itulah yang sering sekali
terjadi. Ingin rasanya membaca proposal yang telah dicoret-coret, namun tubuh
ini terlalu lelah.Akhirnya ku putuskan untuk ganti baju dan langsung
bercengkrama dengan kasur dan selimut. Rasanya baru saja merebahkan tubuh di
kasurku. Tapi entah kenapa ayam jantan cepat sekali menyambut hadirnya
matahari. Seperti biasa, bangun pukul 07.00 lalu mandi, makan, nyapu dan
berangkat kerja. Tapi aku lebih sering bangun pukul 07.30 WIB, mandi pakai
sistem militer, minum tergesa-gesa, tak sempat beres-beres rumah, hanya
membereskan diri sendiri.
Masuk kantor pukul 09.00
WIB, namun wartawan harus tiba di kanto pukul 08.30 WIB, setengah jam sebelum
masuk sengaja kami sisihkan untuk membaca koran-koran yang masuk ke kantor
kami. Lagi peraturan di kantor kami agak cukup beribet. Terlambat sedikit aja
potong gaji, tapi kalau ngerjakan berita sampai malam tak ada plus-plus selain
piket malam.
Menyiapkan proyeksi
sebelum rapat pagi. Memikirkan apa yang harus diangkat. Melobi narasumber
pagi-pagi. Bila sudah fix maka kelar deh
proyeksi itu. Aku paling suka mendengar ceramah dari Korlip, bila cermahnya
membangun maka aku senang, tapi jangan lama-lama juga, bisa ngantuk lagi
akulah. Tapi kalau sudah marah-marah, semua bakalan kena imbasnya. Sial.
Itulah ritme kerja di
media cetak. Mental, kecerdikan, gesit dan berani mengatakan kebenaran sangat
diuji untuk menjadi wartawan yang profesional. Usai rapat kembali mengendarai
Satria Baja Hitamku dan melaju ke warung Ramses. Itu adalah warung yang sering
diutangi wartawan kalau bulan tua. Atau kalau lagi makan atau minum, tiba-tiba
saja dapat telepon atau informasi penting, jadi dengan segera meluncur. Warung
ini juga sering menyimpan makanan atau minuman yang sudah dimakan separoh,
disimpan untuk dimakan selanjutnya.
Mengendus kebenaran
informasi. Mengumpulkan data, mencari fakta dan terakhir adalah wawancara.
Sedari pagi hingga sore berada dilapangan, kemudian masuk sore. Kembali
ngantor, mengetik berita dan melihat tingkah wartawan yang aneh-aneh kalau
sudah mendekati jam deadine. Segala yang tidak gatal bisa digaruk ketika
mendekati jam deadline.
Kelar mengetik berita, aku
sempatkan duduk berdiskusi dengan satpam kantor yang paling ganteng sedunia.
Dia bercerita banyak pengalaman hidupnya. Satpam yang berkulit putih seperti
wajah keturunan padahal bukan bisa dikategorikan gantenglah. Ia suka melakukan
perjalanan wisata. Rembulan diluar sana
sudah semakin terang dan ia asyik membagi kisaahnya. Menunjukkan kakinya yang
pernah kecelakaan, menceritakan sakitnya rasa sakit usai kecelakaan lalu
menahankan rasa sakit saat bekerja walau belum sembuh total.
Sambil bercerita, aku
melirik jam dinding. “Adikku sedang ngapain ya di rumah? Siapa ya yang ngajari
Arya belajar?” Aku masih saja bergulat dan bertanya dalam hati, apakah adik
kecilku sudah makan atau belum, tapi biasanya kalau dia lapar, dia akan
menggunakan hape mamaku untuk meminta dibelikan makanan di jalan. Arya lahir
saat aku duduk di bangku kelas II SMP.
Jam sudah menunjukkan
pukul 23 lewat dan aku dapat bebas tugas dari piket malam lalu pamit pada
redpel untuk pulang. Saat itu tak ada peristiwa, bila ada peristiwa, aku hany
menunggu informasi dari rekan yang piket luar, lalu duduk di depan computer
mendengar penjelasan dari rekan, memungut kata yang dilontarkan, bertanya maka
ia menjawab. Dan mengetik hingga jadilah satu berita.
“Aku pulang ya bang!”
“Hati-hati dek!” ucap
satpam sambil memainkan gemot dengan melambaikan satu tangannya.
Lagi, aku menunggangi
Satria Baja Hitamku. Bila malam semakin larut maka akan dapat menarik tinggi
gas hingga kecepatan 70km/jam. Bagiku itu sudah sangat kencang, rasanya aku
hampir terbang dan helm yang kukenakan hampir terlepas, untung saja pengaitnya
terpasang kuat. Aku pegang lagi bagian atas helmku dan focus ke depan dengan
gas yang tetap tinggi. Walaupun begitu aku tetap saja tiba di rumah pukul 24.00
WIB. Saat aku membunyikan klakson motorku, aku memasang wajah senyum lebar di
depan pintu, agar tak ada repetan. Cinderella pulang.
Di kamar aku menemui
adik-adikku yang sudah tidur pulas. Kipas mengarah ke badan Arya. Aku tahu dia
selalu sengaja melakukan hal ini. Merapikan selimut mereka, menjaukan kipas,
melihat dengan cermat apakah ada nyamuk nakal yang menggigit adik kecilku. Lalu
aku meletakkan tas dan istirahat.
Setelah menemui dosenku,
aku langsung meletakkan proposal tepat di samping kasurku. Mata selalu saja
melihat proposal sebelum tidur, namun enggan rasa tubuh untuk duduk di depan
computer dan memperbaikinya. Aku hanya membaca dan melihat coretan yang tak
jelas itu, mengerutkan kening dan sesekali aku tertawa bila kata yang ditulis
tidak nyambung saat aku membaca coretan itu atau mungkin aku yang tidak tahu
membaca tulisan dosenku. Balik ke halaman selanjutnya, membaca dan akhrirnya
tidur bersama proposal.
Saat aku terbangun, tiga
halaman depan proposal sudah terlipat sedangkan yang lainnya sudah lusuh. Aku
tak mau kehilangan bangkai proposal. Sementara teman-temanku di kampus sudah
sibuk mempersiapakan makanan untuk dosen penguji. Biasanya saat seminar, setiap
dosen yang menguji akan disuguhkan snack ringan. Semakin banyak isi snacknya
dengan harapan semakin banyak waktu dosen untuk mengunyah dan sedikit waktu
untuk membaca proposal-proposal itu.
Aku masih sibuk dengan pekerjaanku.
Bila aku beruntung, maka temanku akan mengingatkan agar kembali memikirkan
proposal. Liputan. Liputan dan liputan. Bertemu dengan orang-orang yang lebih
tua bercerita tentang dinamika kehidupan. Lalu mengingat kembali proyeksi dan
narasumber yang belum di konfirmasi. Mengendarai Satria Baja Hitamku dan
bergegas setelah mendapat telepon dari informan ataupun rekan-rekan pers
terkait suatu peristiwa.
Pergi ke tempat yang belum
pernah ku kunjungi. Pergi liputan ke daerah Belawan, menyebrang sendiri pakai
perahu nelayan pun pernah aku lakukan. Menemukan akan gadis yang masih terlihat
anak-anak namun sudah menggendong anak. Menemukan bocah-bocah laut berenang.
Tertawa lepas. Saling berosong-sorongan. Tak jauh ada ibu-ibu yang berkumpul
membersihkan udang membuang kepala udang ke air. Tampak juga ada orang dewasa
yang batuk dan meludah ke air. Mereka tetap berenang, berjingkrak di air dan
saling berkejar-kejaran.
Mendengar cerita ibu-ibu,
anak gadisnya sudah tak mau melanjutkan ke jenjang SMP, ibu itu curhat kalau
anaknya ingin bekerja selama tiga tahun, kemudian mengambil paket B lalu
menikah. Sederhana. Ini pemikiran yang kerap aku temui untuk masyrakat pesisir.
Hari semakin siang dan aku
harus kembali menyebrang ke daratan. Lalu mengambil Satria Baja Hitam dari
tempat penitipan. Menggas lagi dan terbang ke kantor. Astaga…Tiba-tiba saja
banjir rob (banjir saat air laut pasang). Aku agak sedikit kebingungan, karena
ini lokasi yang jarang aku datangai. Eh…pas mau pulang banjir pula. Dari jauh
aku melihat banyak sepeda motor yang mogok. Lantas aku berhenti. Ketinggian air
mencapai sedungkul orang dewasa. Penduduk setempat mengungkapkan bahwa hal itu
adalah makanan sehari-hari mereka.
Aku menelepon wartawan
yang tugas di Medan Utara, untung saja ada seorang wartawan Sindo yang berbaik
hati. Dia juga belum pulang. Namun dia mendapatkan kemudahan, karena tidak
perlu masuk kantor setiap sorenya karena jarak dari kantor dengan lokasi
liputan. Peraturan yang efektif juga tuh. Kami mencari jalan potong dan
akhirnya sampai ke Marelan. Sesadarku, jarak Medan Utara dengan Medan Petisah
cukup jauh bila aku lalui sore hari dengan kesibukan lalu lintas yang padat.
Aku sampai ke kantor hanya beda beberapa menit dengan terbenamnya matahari.
Walaupun belum ada satu
berita pun yang aku ketik, namun aku berusaha tenang dan tidak panic walau
sekitar berteriak “deadline…” Aku terus mengetik, usai satu berita, langsung ku
kirim, mengetik lagi, selesai satu berita langsung kukirim dan mengetik lagi,
selesai satu berita langsung kukirim. Aku tetap tenang walau bagian bawah
celanaku sudah setengah basah. Usai menyelesaikan ketikan, aku bergegas
langsung pulang. Meninggal satpam dan mengatakan bahwa aku kena banjir saat
liputan. Sampai di rumah celana panjangku yang setengah basah tadi sudah
mongering. Tapi aku bersyukur karena Satria Baja Hitamku sangat tangguh dan
membantu dalam perjalanan.
AKU PULANG LEBIH CEPAT.
Mak…Pak…kalian tahu gak
waktu aku berangkat kerja liputan, saat aku berhenti di lampu merah, aku
ditabrak mobil dari belakang. Tapi untung saja saat itu aku memegang kuat stang
motorku. Aku bersykur tidak terjatuh. Malangnya lagi, polisi yang di simpang
tak ada menegur pengendara mobil. Polisi itu hanya melihat saja. Apa mungkin
pembiaran itu sengaja dilakukan karena aku hanya anak gadis bertubuh imut-imut
dengan sepeda motor hitamku sedangkan dia naik mobil mewah. Aku hanya melototi
pengendara mobil itu. Lalu spontan turun
dari sepeda motorku dan memeriksa bagian belakang motorku.
Mak…Pak… kalian tahu gak kalau
aku juga kebanjiran di jalan. Keliling mencari jalan potong menghindari banjir.
Celana yang kukenakan basah. Tapi untung saja kalian tidak melihat basahnya,
karena ia sudah kering di jalan.
Sesampai di rumah aku
menemukan Arya sedang belajar sama mamaku. “Loh…tumben pulang cepat,” ucap
mamakku sambil melihat jam. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Aku
hanya tersenyum dan berkata, “kalau pulang cepat itu bukan jam segini, tapi jam
12 malam mak…!”
Usai meletakan tas di
kamar, mamakku langsung memanggilku untuk mengajari Arya. Mamakku mengaku bahwa
penglihatannya sudah tidak dapat melihat jelas. Hanya meletakkan tas dan
mengganti baju lalu aku mendekati Arya dan mengajarinya pelan-pelan.
Astaga…hampir enam bulan
aku tidak mengajarinya. Aku melihat tulisannya sangat berubah. Entah kenapa
jelek sekali, padahal sewaktu dia kelas satu SD. Tulisannya sangat rapi,
sewaktu dia kelas dua tulisannya juga sudah lebih cantik dari tulisan Putri,
adikku yang duduk di bangku SMA. Rasa bersalahku kumat saat melihat tulisannya
yang jelek. Entah kenapa hurufnya kurang-kurang pula. Aku sangat emosi. Tapi
itu bukan salah Arya. Baiklah, aku akan usahakan pulang cepat.
Aku tidak tahu siapa yang
mengajarinya selama aku tidak ada. Biasanya kalau aku dan Arya belajar, aku
selalu duduk dihadapannya memeriksa lembaran-lembaran buku tulis dari sekolah,
meminta dia menceritakan apa yang dipelajari dari sekolah. Enam bulan lalu dia
rutin menceritakan gurunya tapi saat aku minta dia ceritakan apa yang
dipelajari di sekolah, dia hanya mengatakan dari buku yang dipelajari. Tak ada
lembaran yang terkena ponten. Selesai aku mengajarinya, aku bisikkan pelan
padanya.
“Dek, kalau kakak gak ada,
Arya juga harus belajar ya! Jangan banyak kali nonton tipi. Kalau mau nonton
malam, kerjakan PR pulang sekolah ya dek!”
Kembali aku mengajarkan
agar ia merapikan buku sendiri, merapikan baju sendiri dan meletakkan sepatu
pada tempatnya. Hal sepele, tapi bila tidak diajarkan akan sulit. Sewaktu dia
tidur, aku hanya dia lamat-lamat, batinku merasa kasihan. “Apa aku terlalu
egois dengan aktifitasku sehingga aku tidak mengamati kemajuan dan kemunduran
adikku.”
Setelah bapak, mamak dan
adik-adikku tertidur, aku kembali mengetik proposalku. Memperbaiki kalimat demi
kalimat, memperhatikan tanda baca, menambah referensi lalu membongkar rak buku
kuliah, membacanya dan mengetik kembali. Tiba-tiba aku mendengar suara langkah
kaki dan suara raket nyamuk. Kalau ada suara nyamuk yang terjerat dalam raket
bertenaga baterai itu, aku sudah tahu bahwa yang terbangun mendengar itu
bapakku. Aku yakin dia terbangun gara-gara aku membolak-balik kertas dengan
cepat lalu menekan keyboard komputer. Kalau sudah dini hari, biasanya hanya detik
jam yang terdengar.
“Tidur kau boru… Udah jam
berapa ini.” ucap bapakku dari depan kamarnya.
Aku sengaja berhenti
sejenak dan diam. Dan sedikit tersenyum aku tidak menyahut. Biar dia mengira
aku udah tidur. Selang beberapa menit, aku lanjut lagi mengetik dan aku menekan
keyboard computer pelan-pelan. Tahu-tahu bapakku bersuara lagi.
“Tidurlah boru. Udah jam
berapa ini? Besok lagi itu!”
“Iya pak… Sikit lagi nih.”
Aku kembali mengetik.
Rasanya tak puas bila tidak menyelesaikan saat itu juga.
Mak…Pak… aku mengerjakan
ini semua untuk kalian. Aku ingin buktikan walaupun aku sudah bekerja, namun
aku tidak akan mengecewakan kalian. Walau kalian kerap kali melarang aku
bekerja. Walau kadang kalian mencibir profesiku, tapi aku cukup meyakini bahwa
yang aku kerjakan tidak salah.
Akhirnya selesai juga
revisiku sampai bab tiga. Aku menghitung jumlah halaman proposalku. Yang aku
tahu jumlahnya bertambah dari jumlah sebelumnya. Aku merogoh kantung celana dan
membuka dompetku. Aku hanya tertawa menghibur diri sendiri dan berharap cukup.
Melihat proposal lama, mencocokkan halamannya, berharap ada halaman yang sama
usai direvisi, namun harapan berbeda dengan kenyataan.
Daripada aku bingung
memikirkan uang. Mending aku langung simpan di flashdisk.
Tidur empat jam lebih dari
cukup. Aku bangun hampir pukul delapan pagi. Mandi lalu minum teh manis,
memanaskan Satria Baja Hitam dan terbang kembali. Usai sampai ke kantor, lalu
proyeksi sana-sini. Dan sudah aku rencanakan kalau aku akan pergi ke rental
Neli untuk memprint proposalku. Aku hanya menyodorkan uang beberapa ribuan dan
berbisik pelan agar tidak di dengar karyawan yang lain.
“Nel, ngutang dulu ya…
Uangku gak cukup. Ini tinggal goceng lagi untuk isi bensin. Maklumlah Nel,
bulan tua.”
Neli tertawa dan
mempersilahkanku untuk membayar setengah dan setengahnya lagi setelah gajian.
Aku langsung meluncur menjumpai dosenku. Aku sudah komit kalau dalam satu jam
dia masih sibuk terus akan akan meninggalkannya , lalu datang pada hari lain.
Untungnya, saat aku dating dosenku baru saja tiba di gerbang kampus dan aku
menunggunya di depan meja absensi dosen. Beberapa temanku yang sedang menunggu
dosen melihat dan tertawa sambil seloro. “Hahaha…udah jarang-jarang nampak kau
Nov, sekali datang langsung cegat dosen di tempat absensi dosen pula tuh…”
Aku juga tertawa. Aku
merasa sangat beruntung karena bisa berjumpa tanpa menunggu lalu menjelaskan
proposalku, menunjukkan yang sudah direvisi lalu memberikan yang baru. Sekarang
gantia, biasanya aku yang memberika segudang pertanyaan sama orang yang aku
temui sekarang sebaliknya.
Mak…Pak…Kalian tahukah
kalau aku siang pagi kehabisan uang untuk memprint proposal. Aku juga mengutang
sama rentalnya. Bukannya aku tak mau meminta pada kalian. Tapi aku merasa aku
harus mandiri dan bertanggungjawab pada diriku sendiri.
Aku ingin tumbuh. Dari
bayi perempuan yang mungil, menggemaskan, terkadang membuat kalian khawatir dan
kini aku ingin menunjukkan aku bisa. Aku dapat mencukupkan kebutuhanku sendiri.
Walau terkadang kalian mengatakan padaku “entah apa-apa aja yang kau lakukan!”
Tapi aku tak akan pernah putus asa. Aku akan terus berjalan. Berjalan. Walau
terkadang aku bingung saat mengadapi persimpangan. Aku ingin banyak bercerita
pada siapapun terkhususnya pada kalian, tapi bibir ini enggan berkisah pada
kalian. Mungkin karena sebelum aku bercerita, sudah terlebih dahulu aku menduga
apa dari jawaban dari persimpangan kebimbanganku.
Aku putuskan untuk
bercerita banyak pada tembok kamar. Sambil lipat tangan, menutup mata,
menumpahkan segala kesahku hinggaku tidur terlelap.
SIDANG DENGAN NILAI A. Seminggu sebelum sidang aku sudah memberitahukan
pada kordinator liputanku bahwa aku akan sindang. Pada tanggal sidang itu, aku
minta izin untuk tidak liputan, karena pengalaman teman-teman, sidang selesai
sampai jam 18.00 WIB. Lagian aku juga tidak mau terengah-engah saat sidang karena
diburu berita. Sebelumnya, saat seminar, aku sudah mengenakan baju putih, rok
span hitam dan sepatu tinggi. Biasalah, wartawan yang akrab dengan jeans
akhirnya menjelma menjadi orang kalem, walaupun begitu, satu jam sebelum
seminar, aku mendapat telepon dari korlip dan memerintahkan untuk memeriksa
kamar mayat, karena disana ada kasus. Akhirnya liputan deh. Menghitung jumlah
mayat, ngumpulkan data, penyebab kematian, membaca hasil otopsi. Kembali lagi
ke kampus, walau aku sudah mengenakan rok span, dan sepatu tinggi, namun aku masih
saja tetap dapat berlari kecil untuk mengejar waktu.
Itulah pengalaman
seminarku. Hari sidang tiba, aku kembali membaca skripsiku, mengingat halaman
demi halaman. Dan tak kusangku dari kawan-kawan yang lain hanya aku sendiri
yang mendapat penguji seorang professor. Alamak…cilaka duabelas! Tapi ya
sudahlah, aku kembali menenangkan diri, toh aku sering berhadapn face to face
dengan professor, guru besar, direktur-direktur dan itu semua aman terkendali.
Tapi masalahnya, saat itu aku berprofesi sebagai wartawan dan sekarang aku
berperan sebagai mahasiswa biasa. Pikiran terus berkecamuk. Tok…tok…tok…
Aku masuk ke dalam
ruangannya dan berkata bahwa ia adalah pengujiku. Untuk menghilangkan groji,
aku menyalam dosenku. Kontak fisik. Itu sering kulakukan untuk menghilangkan
grogiku kalau jumpa dengan narasumber yang belum aku ketahui asa muasalnya. Saat
dia bertanya, aku tinggal cepat mengatakan bahwa ia dapat melihat pada halaman
sekian. Bila dia bertanya lagi aku katakan coba lihat halaman sekian dan aku
jelaskan sedikit dengan kata-kata. Tak terasa 35 menit juga aku berada di ruang
kantornya. Mungkin kalau aku sedang liputan, aku sudah bisa buat tiga straight news dari durasi wawancara 35
menit itu.
Aku sangat bersyukur telah
melewati satu professor itu. Aku bersyukur pada TUHAN dan aku yakin kalau
orangtuaku akan senang. Lalu aku mendatangi dua orang dosen lagi. Pertanyaan
sana-sini dilontarkan. Intinya tak perlu gugup dalam menjawab pertanyaan.
Kalaupun tidak tahu, jangan nampak kali tidak tahu. Ah…tapi aku yakin tidak
mungkin ada yang tidak diketahui kalau skripsi itu buatan sendiri.
Mak…Pak…Aku dapat nilai A.
Dari dua puluh empat orang yang ujian, nilai tertinggi ke tiga. Mak…Pak….Aku
yakin kalian pasti senang. Aku langsung meng-sms mamakku.
“Mak, aku sidang dapat
nilai A.”
“Bagus… Puji Tuhan ya!”
Walah…malah lagi bokek.
Banyak pengeluaran dan aku hanya tertawa saja. Gaji cukup-cukup makan. Dan
memikirkan keperluan wisuda. Menjilid skripsi teryata juga butuh uang sampai
empat ratus ribu. Otakku mulai membagi-bagikan pengeluaranku untuk sebulan ke
depan.
Lagi-lagi harapanku sesuai
dengan kenyataan. Empat tahun yang lalu. Aku melihat spanduk pengumuman wisuda.
Saat itu tanggal wisuda jatuh pada 21 dan 22 Oktober. Selanjutnya, aku sangat
berharap kalau tanggal ulangtahunku bertepatan dengan tanggal wisudaku dan itu
nyata.
ULANGTAHUN DAN WISUDA. Tepat pada tanggal 20 Oktober 2011 aku diwisuda
dan saat itu aku diwisuda dengan umur genap 22 tahun. Terima kasih semua buat
yang telah mendukungku. Terima kasih juga buat kamu-kamu yang telah memberikan
motivasi dan mengirimkan doa agar aku tetap semangat dan ceria.
Mak…Pak….Terima kasih buat
kalian berdua. Aku paham, walau kalian kesusahan kalian untuk menyekolahkanku
sampai ke jenjang sarjana. Aku tahu mamak dan bapak belum pernah diwisuda. Ini
adalah kado untuk kalian. Aku harap kalian bangga. Kalian juga tidak perlu
khawatir dengan nilaiku. Walau sedari kecil aku tidak pernah mendapatkan
peringkat satu, tapi setidaknya aku selalu melakukan yang terbaik semaksimal
mungkin.
Walaupun aku tahu bapak
agak sedikit kecewa dan terkadang sepulang kerja dari pangkalan, bapak sering
membanding-bandingkan anak supir lain dengan anak bapak sendiri. Sakit bagiku
mendengarnya, tapi itu aku anggap sebagai motivasi dan cambukan agar aku dapat
melakukan yang terbaik.
Aku anak gadis kalian.
Kini aku tumbuh menjadi perempuan yang tegar dan tabah. Kerap kali dihadapkan
pada persimpangan. Dalam doa, aku selalu berdoa agar dapat membuat kalian
bahagia. Namun aku kebingungan, apa yang harus kulakukan untuk membuat kalia
benar-benar bahagia tanpa menggerutu.
Aku mohon izinkan aku
membahagiakan kalian dengan caraku sendiri. Jangan khawatir padaku. Aku dapat
menjaga diri. Aku hanya mohon doa dari mamak dan bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar