Tulisan ini saya buat, usai saya memarkirkan sepeda motor
saya di Terminal Amplas. Saat itu saya melihat seorang anak laki-laki memukuli
seorang anak perempuan secara membabi buta. Ia mendaratkan pukulannya tepat
dibagian wajah anak perempuan. Melihat dari pakaian yang dikenakan, warna yang
sudah pudar, rambut memirang akibat teriknya matahari membuat hati menyimpulkan
sendiri, bahwa mereka anak jalanan.
Pemukulan itu terjadi di tempat keramaian. Anak perempuan itu
hanya bisa menunduk dan menangkis pukulan-pukul itu dengan tangannya yang
kecil. Tak ada perlawanan. Saya juga melihat ada satu bungkusan permen yang
sudah kosong dan dibalik, sehingga mereknya berada di dalam dan saya hanya
melihat kilatan bungkus plastik tersebut. Bungkus permen kosong yang dibalik
itu sering saya lihat saat menaikki angkutan umum.
Lampu merah, terdengar suara gitar, ada suara tutup botol
minuman yang sudah digepengkan, suara tepuk tangan dan bernyanyi sambil melihat
detik lampu merah yang berjalan mundur. Kemudian menyodorkan bungkusan permen
kosong ke penumpang, seraya berharap ada yang merogoh kantong dan menunggu
dimasukkan uang ribuan, bila tak ada uang ribuan maka uang receh pun jadi.
Walau saat menerima uang receh mereka sedikit mengerutu.
Kembali ke keadaan pemukulan tersebut. Mungkin bagi mereka
yang sering lalu lalang di Amplas, itu adalah pemandangan yang sangat biasa.
Supir angkutan yang melintas hanya memandang sekilas dan berlalu. Tukang becak
yang melihat itu pun menoleh dan menonton, sekejab kembali memandang ke depan,
seolah tidak ada peristiwa yang terjadi.
Semua orang yang melihat adegan tersebut berpura-pura tidak
melihat. Ada
jeritan kesakitan. Batinku, siapanyakah itu kenapa sampai berani memukuli anak
perempuan? Kenapa anak perempuan itu tidak melawan atau lari?
Fenomena Kekerasan
Anak
Fenomena kekerasan anak ini ibarat gunung es. Teramat sangat
sulit terdeteksi. Kekerasan pada anak dilatarbelakangi oleh beberapa faktor di
antaranya faktor budaya yang permisif terhadap tindak kekerasan, dan juga
faktor keadaan lingkungan keluarga.
Anak adalah peniru yang handal, pada umumnya apa yang ia
dengar akan ia katakan, apa yang ia lihat akan ia tirukan kembali. Namun,
malangnya bila orang tua luput memperhatikan kegiatan yang dilakukan oleh anak
maka secara tidak langsung orangtua telah gagal melaksakan tugas untuk
melindungi anak. Bukan hanya melindungi tubuh mereka agar tidak mendapat
kekerasan dari orang lain namun juga gagal melindungi anak dari pikiran-pikiran
yang merusak mental.
Media massa ,
seperti televisi adalah benda elektronik yang sudah berada di tiap keluarga.
Banyak tayangan televise yang kuarng mendidik anak, seperti tayangan film yang
menunjukkan peran-peran antagonis, penyiksaan, memunculkan peran picik. Jam
tayang film tersebut pun pada jam-jam yang rentan di tonton oleh anak.
Tak hanya melalui film, namun juga melalui pemberitaan.
Hampir setiap stasiun televisi mempertontonkan tindak kriminal. Mulai dari
kronologis, teknik dan tahapan melakukan kejahatan disertai dengan bahasa
vulgar dalam pemberitaan. Masih ingatkan pembaca dengan kejadian siswa SD yang
menusukan senjata tajam ke tubuh teman sebayanya secara berulang-ulang.
Peristiwa tersebuut terjadi Perumahan Cinere Indah, Depok,
Jabar. Tersangka kesal, sebab korban Syaiful Munip meminta kembali telepon
seluler yang dicurinya. Pelaku dan korban adalah siswa yang duduk di bangku
sekolah dasar (SD). Tetangga tersangka kaget mendengar kabar bahwa tersangka
yang masih 13 tahun itu bisa berbuat begitu sadis. Padahal sehari-hari bocah
itu dikenal berperilaku baik.
Kini yang tersisa hanya pertanyaan-pertanyaan. Kok, bisa anak seusia itu bisa berlaku keji pada temannya sendiri?
Pertanyaannya adalah, darimana si anak belajar melakukan
ini? Patut dipertanyakan pula dari mana tersangka memperoleh pisau yang dipakai
untuk menusuk? Apakah ini sesuatu yang direncanakan ? Bagaimana juga tersangka
bisa begitu tega menusuk korban berulang kali lalu membuangnya ke got?
Hal lain yang sangat mencengangkan adalah pengakuan tersangka. Kabarnya tersangka mengaku jika yang dilakukannya adalah hasil meniru adegan kekerasan di film yang ditontonnya di televisi. Jika itu benar, betapa besarnya efek yang ditularkan lewat film yang mungkin tidak pas ditonton oleh anak-anak. Contoh kekerasan lewat penggambaran yang realistis di film-film akan membuat memori yang abadi di kepala si anak. Anak tanpa sadar telah tercuci otaknya dengan film-film tersebut.
Hal lain yang sangat mencengangkan adalah pengakuan tersangka. Kabarnya tersangka mengaku jika yang dilakukannya adalah hasil meniru adegan kekerasan di film yang ditontonnya di televisi. Jika itu benar, betapa besarnya efek yang ditularkan lewat film yang mungkin tidak pas ditonton oleh anak-anak. Contoh kekerasan lewat penggambaran yang realistis di film-film akan membuat memori yang abadi di kepala si anak. Anak tanpa sadar telah tercuci otaknya dengan film-film tersebut.
Mendidik Anak
Tanggung Jawab Siapa?
Setiap orang dewasa yang berada di sekitar anak
bertanggungjawab besar atas anak tersebut. Terkhususnya orangtua. Bila saat anak dididik dengan menggunakan kasih
sayang maka akan lahirlah anak yang menyayangi. Namun bila anak didik dengan
sadis maka lahirlah generasi yang bernubuat kesadisan. Tenaga pendidik serta
merta jua bertanggung jawab terhadap nasib dan masa depan anak.
Apakah kita hanya mau menjadi penonton bila kita melihat ada
anak yang mendapat perlakuan kasar?
Menonton sama dengan satu pembiaran, berarti membiarkan anak
menjadi korban penganiayaan. Setiap orang harus melindungi anak dan segenap
dengan hak-hak anak yang melekat pada anak tersebut.
Kini, bukan hanya orang dewasa yang bertanggung jawab untuk
mendidik anak. Media massa
baik cetak dan elektronik juga bertanggung jawab untuk mendidik dan menciptakan
mental serta psikologis anak yang berkualitas.
Cerita anak jalanan di terminal Amplas yang saya sampaikan
di atas hanyalah kisah biasa yang kita anggap sangat biasa-biasa saja. Namun
efek sangat luar biasa bila tak ada penangangan. Mau dibawa kemana masa depan
anak? Mari kita mulai melindungi anak yang berada disekitar kita. Jangan pernah
menutup mata padahal melihat.
Pernah dimuat di Analisa, edisi Senin, 6 Agustus 2012