WARTAWAN muda ini tidak tahu bahwa itu adalah hari
terakhir untuk menatap lamat-lamat mata istri dan memeluk tubuh
putranya. Ia hanya tahu kebenaran harus diketahui oleh masyarakat.
Kebenaran. Namun anaknya, Evan belum tahu banyak apa itu kebenaran. Evan
belum tahu persis akan kemana ayahnya pergi. Ia tahu bahwa ayahnya akan
bekerja. Bekerja. Pergi pagi dan pulang kembali pada hari yang sama.
Entah kenapa hari sebelum keberangkatan Gregory Jhon Shackleton untuk
meliput masuknya tentara Indonesia ke Timor Leste, yang kala itu masih
bernama Timor Timur menjadi hari yang tidak terlupakan bagi istrinya,
Shirey Shackleton.
“Bila saya tertangkap, kalau saya dimasukkan ke penjara Indonesia, bila harus menjual rumah. Juallah.” Shirey mengganguk.
Pesan terakhir itu takkan dilupakan oleh Shirey Shackleton. Kala
Greg masih berumur 28 tahun, ia takkan melupakan rasa bahu suaminya yang
kekar. Ada rasa lega saat Shirey mengetahui bahwa suaminya takkan pergi
sendiri.
Greg pergi bersama empat jurnalis lain asal Selandia Baru Inggris,
Australia dan Inggris. Mereka adalah Gary James Cunningham, Malcolm
Harvie Rennie, Anthony Jhon Stewart dan Brian Raymond Peters.
Mencari kebenaran?
Balibo menjadi terkenal sejak kedatangan lima jurnalis itu. Balibo
adalah nama kecamatan di Kabupaten Bobonaro, Timor Leste. Kota ini
terletak sekitar 10 kilometer dari perbatasan dengan Indonesia. Malang!
Langit terakhir bagi kelima jurnalis itu berada di Balibo. Nyawa mereka
direnggut secara paksa.
Istri menjadi janda. Anak menjadi yatim. Ibu kehilangan anak
lelakinya. Adik kehilangan kakak laki-laki. Dimana kebenaran? Ini adalah
kebenaran. Kenyataan.
Kali ini kebenaran yang terjadi adalah tubuh-tubuh jurnalis tergeletak tanpa nyawa. Dibakar. Dibakar. Dibakar.
SHIREY Shackleton menjadi janda beranak satu.
Mencari kebenaran. Dimanaitu kebenaran? Ini adalah kebenaran yang nyata.
“Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Kenapa suami saya sampai
merenggang nyawa di saat melaksanakan tugasnya?” tanya Shirey.
Perang. Wanita yang sudah menjadi janda ini tidak tahu apa yang
terjadi di medan perang, Balibo. Shirey tak mengetahui apa itu perang.
Kenapa ada perang, kenapa saling menyerang dan bagaimana berperang, yang
ia tahu peperangan akan menimbulkan kerugian dan korban. Shirey dan
putranya menjadi korban walau tak angkat senjata.
“Kenapa negara yang begitu besar membuat penyerangan disebagian pulau
yang begitu kecil? Dimana mayat suami saya? Apa yang terjadi dengan
mayat suami saya? Dimana mayat suami saya? Dimana?”
Pasca kematian suaminya, Shirey tak mendapatkan kabar tentang
penguburan mayat suaminya. Ia belum melihat mayat untuk yang terakhir
kalinya. Shirey tak mengetahui apa yang ada di dalam kuburan.
“Apa isi kuburan itu?”
Shirey menceritakan kedatangannya Oktober 2012 ke Tanah Kusir
Jakarta. Satu nisan, lima nama. Satu lubang, dengan lima jenazah? “Saya
tidak tahu bagaimana proses penguburan jenazah? Bahkan saya tidak tahu
apa isi kuburan tersebut?”
Kematian. Kematian bisa saja terjadi pada siapapun. Yang
membedakannya hanyalah cara, waktu dan tempat. “Seharusnya ini tidak
boleh terjadi pada wartawan. Mereka hanya melakukan tugas. Pemerintah
bilang mereka (wartawan) bodoh. Itu sama seperti mengatakan pada
pengendara mobil, bila kamu tidak naik mobil maka tidak akan ada
kecelakaan. Itu adalah pekerjaan mereka. Mereka harus pergi ke tempat
kejadian,” kata Shirey sembari menarik nafas dalam-dalam.
Shirey tak diam saat nyawa suami melayang. Ia tak angkat senjata. Tak
turun ke medan perang. Ia bersuara. Berjuang. Lima nyawa wartawan telah
melayang.
“Apa yang terjadi pada suami saya bisa saja terjadi dengan wartawan lain! Indonesia tidak punya demokrasi!”
Disandarkannya punggungnya yang mulai letih dimakan usia. Tengkuknya
pasrah pada bagian atas sofa, kepalanya mendongak menatap langit-langit.
Ruangan itu menjadi hening. Tarikan nafas yang dalam memecah hening.
Matahari bergegas beristirahat di ufuk Barat.
Kesendirian pernah membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Namun
seiring berjalannya waktu, ia bangkit. Meyakini masih banyak orang
berjuang hidup di Timor Leste. Bangkit sendiri dari keterpurukan
tidaklah mudah. Ia hanya ingin sisa hidup tanpa Greg disisinya menjadi
masa yang berguna bagi banyak orang. Menjadi aktivis. Berjuang untuk
Timor Leste.
Seorang ibu menjadi aktivis? Ia sempat dinasehati oleh sudara
laki-lakiya untuk mencari pekerjaan lain. Tidak ada aktivis yang kaya.
Saudara laki-laki Shirey meminta untuk mencari uang dan itu bisa membuat
Shirey kaya. “Tapi kalau saya kaya, maka saya tidak mendapat
kebahagian,” ucapnya sambil tersenyum.
Sudah 37 tahun wanita ini menjadi aktivis di Timor Leste dan selama
itu juga ia membicarakan tentang suaminya. Ibu satu anak ini mengetahui
bahwa wartawan yang dibunuh saat tugas, tidak berpakaian preman/
tentara, maka dapat dilaksanakan inquest (pemeriksaan sebab musabab kematian) dapat dilaksanakan investigasi.
Kendala Pengambilan Jenazah Greg
SATU kuburan ada lima jenazah. Ada satu keluarga
yang tidak ingin jenazahnya dibongkar. “Ada keluarga lain yang masih
trauma dengan kematian suudara laki-lakinya. Mereka punya hak untuk
tidak mengeluarkan mayat keluarganya, tapi saya juga ada hak untuk
mengeluarkan mayat suami saya. Saya tidak pernah meminta semua jenazah
harus dibongkar,” jelas Shirey, bila diperlukan test DNA ia juga
bersedia.
Shirey mengunjungi pemakaman suaminya di Tanah Kusir, Jakarta pada
Oktober 2012. Ia terus berusaha akan mengambil jenazah suaminya. Sudah
37 tahun wanita ini berjuangan mengambil jenazah suaminya untuk
dikuburkan di Melbourne, Australia.
Birokrasi negara yang katanya demokrasi ini tetap menjadi penghalang.
Wanita ini terus berjuang, walau kini memasuki tahun ke-38 untuk
mengembalikan jenazah suaminya. Ia masih saja terus mengingat pesan
suaminya. Kulit kencangnya telah dimakan oleh waktu untuk berjuang,
keriput.
“Bila saya tertangkap, kalau saya dimasukkan ke penjara Indonesia,
bila harus menjual rumah. Juallah,” ucap Shirey saat melepas kepergian
Greg. Ini adalah harapan Shirey. Ia ingin sekali membawa suaminya ke
Melbourne untuk dimakamkan bersama ibu.
“Saya sudah janji akan mengeluarkan suami saya, walau kini tinggal jenazahnya saja.”
*Penulis bertemu Shirey Shackleton di Melbourne
pada November 2012. email penulis novitasarisimamora@gmail.com. Twitter:
@NoviSimamora
Telah dimuat di Narasi Sumatera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar