Lampu Aladin
siap menunjukkan kemampuan yang dimiliki kepada tuannya. Itu adalah nilai lebih
yang sampai kini selalu dikenang oleh
banyak orang. Tak heran, lampu Aladin selalu diperebutkan penyamun. Lampu tak
berkuping tapi bisa mendengar.
Tak heran, lampu
tersebut diincar. Apapun yang diinginkan selalu dikabulkan. Ingin punya emas,
uang banyak, istana di langit sampai menjadi penguasa pun bakal dikabulkan.
Baik orang
miskin maupun kaya, ingin mengadukan nasib dan menyampaikan kepentingannya pada
lampu Aladin.
Kini lampu
Aladin ada di Indonesia. Bank Indonesia kini telah mengabulkan permintaan
kalangan elit pengusaha yang ingin dengan kenaikan suku bunga acuan Bank
Indonesia (BI Rate).
Apa daya, Bank
Indonesia sudah jor-joran dan menunjukkan aksi dengan menaikkan BI Rate sebesar
125 bps selama 2 bulan terakhir.
Pergerakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) selama 2013 (%) |
BI Rate sudah
bertengger pada 7%. Aktornya adalah pelaku pasar. Walau sudah mengabulkan
permintaan sebagian pelaku pasar, tapi orang lain mempertanyakan alasan Bank
Indonesia yang mengabulkan permintaan itu.
Apakah mereka
satu dari deposan besar yang menginginkan bunga tinggi?
Dia yang
berkantong tebal menekankan, give more
and we will stay.
Ada yang bilang,
untuk selamatkan dana-dana agar tak lari ke luar negeri. Tapi ada yang bilang,
mungkin kenaikan BI Rate, karena kepanikan.
Ada yang
bertanya, kenapa? Apa tak ada solusi lain? Ada yang katakan, sudah seharusnya!
Solusi jangka pendek harus ada. Bisiknya, inflasi masih tinggi. Berjuang selamatkan
rupiah, bujuk yang lain.
Setiap kebijakan
pasti ada konsekuensinnya. Tapi sayub-sayub dari seberang ada yang berteriak,
siapa yang hendak diselamat? Siapa menyelamatkan apa? Apa yang selamatkan
siapa?
Mungkin teriakan
yang terdengar samar, hanya ingin juga diselamatkan. Namun malang, BI belum
bisa mengabulkan nasib mereka. Masyarakat kecil bertanya, siapa yang
menyelamatkan siapa?
Bankir mulai mengerutkan
jidat. Debitur sipemberi keuntungan, harus dijaga. Tidak ingin gagal bayar.
Sembari itu, bankir pun mulai memikirkan nasibnya sendiri di tengah likuiditas
yang mengetat.
Bak menelan buah
simalakama. Namun, Bank Indonesia harus menjaga fundamental ekonomi dan
stabilkan keadaan pasar.
Ekonom mulai
memprediksikan dengan kenaikan BI Rate, maka inflasi dapat direm bersama
ekspektasinya. Intinya adalah nilai rupiah.
Rupiah akan
lebih menarik dan atraktif setelah BI Rate naik. Sembari berharap, kepercayaan
pasar akan kembali lagi. Dan yang tak
kalah penting juga adalah menjaga
cadangan devisa (cadev) yang sudah bertengger di angka US$92,67 miliar.
Ada yang
bertanya, kenapa harus mengorbankan perbankan? Apakah empat paket kebijakan
yang baru saja dikeluarkan pemerintah masih kurang mampu mengatasi kondisi
makro?
Saya jadi
teringat dengan diskusi yang bertema Peluang Investasi di Indonesia. Acara itu
menghadirkan CEO MNC Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia Sofyan Wanandi, Ekonom Danareksa Purbaya dan Direktur Eksekutif
Departemen Komunikasi Bank Indonesia Difi A. Johansyah.
Debat ringan
yang cukup sengit, tampak membuat Difi sesekali tertunduk. Bahunya naik turun.
Menarik nafas dalam. Kalangan pengusaha menilai Bank Indonesia hanya sebatas
reaktif dan belum responsif.
Tawaran dari
pengusaha, menaikan BI Rate. Difi masih tak menyangka bahwa sebagian pengusaha
ternyata meminta BI Rate naik. Diskusi itu diadakan sehari sebelum Rapat Dewan
Gubernur.
Alhasilnya, sikap
responsif kini sudah dilakukan BI. Bank Indonesia sudah mendengar langsung
permintaan pengusaha dan mengabulkannya. Minta dan diberi. Lampu Aladin yang
cukup mujarab bukan.
Lalu, pasar akan
minta apa lagi ke Bank Indonesia?