Persiapan
untuk mengadakan event belum juga menampakan hasil. Menjalankan proposal
kesana-kesini, melawan teriknya mentari, dikejar-kejar hujan, pakaian
pembungkus tubuh basah hingga kering di badan dan makan sekali sehari dengan
satu nasi bungkus bagi tiga orang.
Saat
menjalaninya terasa sulit, mengesalkan, menguji kesabaran, membuat menarik
nafas dalam-dalam, memikirkan win-win solution dan keadaan sulit yang pernah
aku jalani ini mengajarkanku untuk tidak menyalahkan siapapun akan keadaan yang
terjadi dan yang telah terjadi.
Saat
jaket, baju, celana jeans dan dalaman disapa hujan, aku menerima sms dari
Budiah Sari Siregar. Pesan itu semakin menambah kebingungan dan mengajak aku
tetap tenang dan mencari jalan baru, lokasi pelaksanaan event oleh Koper Indie
(Komunitas Perempuan Independent) mulai terkendala di tempat. Tempat yang
semula dilobby kini telah berisi selama sebulan. Auditorium Unimed adalah
pilihan yang paling tepat bagi kami mahasiswi Unimed, karena medannya telah
kami kuasai.
Namun,
takdir belum berpihak pada kami. Dan akhirnya Budiah Sari Siregar yang telah
kami percayakan untuk melobby tempat, segera mencari tempat. Ballroom hotel
dengan kapasitas 1000 orang telah ditemukan namun harganya membuat aku terkejut.,
17 juta harga sewa ballroom.
“Itu
masih harga sewa Nov, tadi aku udah menghungi managernya dan ia minta
proposalnya. Bapak itu ngajak ketemu jam 8 malam di rumahnya,” jelas Budiah
yang sering kusapa dengan Diah.
“Ya
udah, bagus tuh…” jawabku.
“Aku
tadi udah survei rumah bapak itu. Rumahnya dekat kos aku. Tadi aku liat ada
anjing di depan rumah bapak itu, aku takut ama anjing, kau kawani aku ya...”
“Ha
ha ha… Okelah. Jam 8 kan..
Sip”
Pembicaraan
via sms itu mengurungkan niatku untuk pulang cepat ke rumah. Tepat pukul 19.30
WIB, aku langsung bergerak menuju kos Budiah yang berada di Jalan Pahlawan,
Kelurahan Pahlawan, Kecamatan Medan Perjuangan. Diah segera membukakan pintu
pagar untukku dan berkata “Tadi waktu konfirmasi mau datang, bapak itu bilang
besok aja jumpa di hotel. Gak jadi ke rumahnya.”
“Astaga…
Gak konsisten kalipun itu manager… Jadi gimana nih… Alasannya?”
“Katanya
dia sering pulang terlambat ke rumah… Kau masuk aja dulu…”
Satria
Baja Hitamku ku parkirkan di depan pagar putih tepat di bawah pohon Cherry yang
sudah berbuah merah. Pembicaraan malam ini, tindakan saat ini akan mempengaruhi
hari esok. Kami saling berbagi kisah perkembangan yang telah terjadi, hal-hal
yang telah dilakukan dan juga yang belum dilakukan. Bahkan kemungkinan terburuk
telah kami prediksikan.
Menjalankan
proposal door to door masih belum membuahkan hasil or inkonfirmasi, jadi kami
putuskan untuk menjalankan proposal door to door via email, ini cara hemat
untuk hemat bahan baker minyak (bbm). Pencarian alamat email dan pengiriman
tawaran kerjasama telah kami bagikan ke berbagai perusahaan. Walau dalam
kondisi sulit dan bingung kami masih dapat bercengkrama dengan tawa, serasa tak
ada beban walau mata sangat kantuk. Rasa lapar sedari pagipun terobati karena
roti coklat yang disuguhkan. Saat melaap roti itu, aku sudah tak mengingat
bahwa di hari yang sama sudah dua kali badan kena hujan dan kering lagi.
Tak
terasa waktu telah menunjukkan pukul 22.35 WIB. Email dan Facebook Koper Indie
langsung kami sign out. Modem di disconnect. Dan Laptop turn off. Aku langsung
pamit pulang menuju Bandar Setia Ujung, karena mamaku sudah menelepon dan
bertanya dimana posisiku.
Saat
menaiki Satria Baja Hitamku, aku langsung ingat bahwa tangki bensinnya tak akan
sanggup untuk perjalanan sampai ke rumahku. Mengisi bensin di Simpang Unimed
kini menjadi pilihan terakhirku.
Entah
kenapa usai mengisi bensin, aku merasa bahwa sepeda motorku agak sedikit
goyang. Batinku menenangkanku dan berkata dalam hati, “Mungkin ini karena belum
makan nasi makanya agak sedikit oyong.”
Perjalanan
aku lanjutkan dengan memegang stang motorku dan lebih focus untuk berjalan
lurus. Namun sepeda motorku terasa berat. Ku berhenti sejenak dan melihat ke
bawah. Banku baik-baik saja dan tidak dalam keadaan kempis.
Kini
aku tiba di turunan jembatan Unimed, dekat bakaran jagung. Disebelah kiri yang
ada hanyalah kebun coklat. Sedangkan di sebelah kananku ada rumah, namun lampu
terasnya tidak hidup.
Dan
berhenti kembali untu memastikan keadaan banku. Entah kenapa perasaanku kurang
enak saat itu. Aku turun dari sepeda motor dan melihat kondisi banku. Sepeda
motor yang melintas sangat kencang bila memasuki kebun coklat ini. Aku
memeriksa ke bawah, ban depan dan ban belakang, semua masih aman.
Dan
aku menaiki sepeda motorku. Berjalan lalu belok kiri, aku benar-benar sadar.
Saat masuk ketikungan Lau Dendang, aku tersadar bahwa ban depanku telah kempis.
Sudah pukul 23.00 WIB. Tak ada satu pintu rumah yang terbuka. Teras rumah warga
sangat gelap. Semua pengendara motor dan mobil melaju sangat cepat seolah
hendak segera enyah dari kebun coklat. 30 meter dari lokasi aku berhenti ada
kebun jagung.
Gelap. Sunyi. Tak tahu mau minta
pertolongan siapa. Hanya bisa mencagak dua motorku, lalu memeriksa ban depan,
apakah ada paku atau tidak. Lagi-lagi handphoneku berdering, sengaja tidak aku
angkat. Itu dari mamaku.
Ingin
rasanya berteriak minta tolong, menangis dalam keadaan genting. Tak ada
seorangpun yang dikenal. Tak ada seorangpun yang berhenti dan menolongku.
Namun, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
Sepasang
suami istri berhenti di depan rumah yang terbuat dari papan. Teras gelap.
Wanita yang dibonceng menggedor pintu dan memanggil orang yang berada di rumah.
Suaminya menunggu di atas sepeda motor matic sambil bepangku tangan menghindari
telapak tangan dari dinginnya malam. Seorang anak laki-laki tanpa mengenakan
baju muncul di depan pintu.
“Pak…Pak…di
daerah sini mana tukang tambal ban pak?”
“Kenapa?
Kempis ya? Di dekat jembatan arah mau ke Unimed itu ada dek… Tapi tutup…”
Aku
tak tahu mau berkata apa menjelang dini hari dengan kondisi ban kempis di
tengah gelapnya malam. Dan aku adalah seorang anak gadis. Saat aku menegur pria
itu, terlihat istrinya berhenti melangkah masuk ke dalam rumah dan
memperhatikanku. Jaket hitam dan helm yang kukenakan, membuatku terlihat
seperti lelaki.
“Jadi
dimana lagi yang ada pak?”
“Coba
kamu ke arah Simpang Beo. Disitu ada tukang tambal ban.”
“Apa
jauh lagi pak? Ban aku sudah kempis kali pak..”
“Rumahmu
dimana?”
“Bandar
Setia Pak…”
“Oh…
Mending arah sana aja, karena itu searah dengan rumahmu. Lagian ban depan yang
kempis. Gak apa-apa itu. Bawa jalan aja.”
Hatiku
sedikit lega mendengar perkataan itu. “Terima kasih ya pak… Ibu… Yuk bu…
Makasih ya bu…” Aku bergegas segera menaiki Satria Baja Hitamku sambil berharap
agar angin tidak semakin habis dari ban dalam.
Aku
sengaja melaju kencang di kegelapan, mengingat di sebelah kiri kebun coklat dan
di kanan kebun jagung. Usai melewati kebun tersbut, aku menemukan satu tempat
doorsmeer dan toko itu telah tutup. Tanpa berhenti, aku terus melaju dan
melihat ban-ban yang digantung pada tiang warung. Tampak dua pria duduk di
depan warung temple ban.
Aku
berhenti, berharap, salah seorang diantar mereka berdua merupakan pekerja di
tempat itu. Namun harap tak sesuai dengan kenyataan. “Kenapa dek? Kempes ya?
Oh… Ke Simpang Beo aja. Belok kiri. Kira-kira seratus meter lagi ada tukang
temple ban. Rumahnya disitu dek…”
Sebelum
sampai ke simpang beo aku melihat bengkel yang masih buka. Seorang pria sedang
membuka busi motor dari motor astrea. “Bang, mau nempel ban bang…”
“Aduh
dek… Tempelannya habis pula…”
Tanpa
banyak bicara, aku langsung balik kanan. Membawa Satria Baja Hitamku melaju kea
rah Simpang Beo. Simpang tersebut disebut orang Simpang Beo karena di simpang
itu, tepat dipinggir jalan ada patung Burung Beo yang diletakkan diatas tiang
putih, tiang dan patung dengan ketinggian 3,5 meter.
Sampai
di Simpang Beo, aku menemukan dua tukang tambal ban telah tutup. Aku berhenti
dan menegur seorang bapak-bapak yang mengenakan celana coklat dengan sarung
kotak-kotak yang diselempangkan bahunya. “Sekitar 100 meter lagi, disitu ada
tukang tempel ban. Kesana aja dek…”
“Baiklah…”
Dan akupun berjalan. Meyakini petunjuk dari
warga sekitar Lau Dendang. Dan akhirnya pencarian itu berahir sudah. Aku
menemukan warung jajanan yang gandeng dengan tukang temple ban.
Pria
berambut menyapaku dan melihat keadaan ban depanku. “Kenapa? Kempis ya?”
“Nggak
Pak… Kayaknya ini bocor pak…”
Kepala
pentil, segera dilepas. Angin dari ban dalam dikeluarkan. Aku masih saja berdoa
agar lubangnya tidak dua. Pria tua itu berumur 62 tahun. Tangan kecilnya
memengang dua besi untuk melonggarkan ban dalam. Ia mengeluarkan ban dalam dari
ban luar dengan sangat pelan. Perlahan tapi pasti.
Akhirnya
ban dalam berhasil dikeluarkan. Ban dalam diisi angin, lalu dicelupkan ke dalam
ember hitam yang tidak memiliki bibir ember lagi. Pria beranak delapan itu
jongkok memperhatikan gelembung angin yang muncul dipermukaan air.
“Cuma
satu lubang…”
Akhirnya
aku dapat bernafas lega, setelag meihat keadaan banku. Tukang tambal ban yang
sering disapa Uwak Rebu langsung menempel ban depanku. Kembali handphoneku
berbunyi. Itu telepon dari mamaku. “Iya Mak… Bentar lagi… Udah di jalan nih…”
Lalu HPku langsung kumatikan.
Aku
benar-benar tak ingin memberitahukan keadaan itu pada mamaku, karena ia pasti
akan memberitahukan pada Bapakku. Itu akan membuat bapakku merepet lalu ia akan
khawatir keadaanku. Karena sebelumnya, aku pernah memberitahukan hal itu dan ia
langsung merepet lalu berinisiatif untuk menjemput.
Walaupun
bapakku jago merepet, tapi bapakku jago masak dan juga baik hatinya.
Kembali
ku tanyakan pada Wak Rebu harga tempelannya, “Harganya Rp. 7000,- aja dek. Gak
bisa Rp. 6000 ribu. Lagian ini udah malam. Kalau sudah malam harganya biasa Rp
8000,-”
“Uwak
udah lama tinggal disini ya?”
“Uwak
tinggal disini sejak tahun 1952. Awalnya tinggal di daerah Tuntungan sama
orangtua dan kami pindah ke Lau Dendang tahun 1952.”
Pria tua yang telah
memiliki 13 cucu ini memberitahu bahwa ia lahir tahun 1949. Saat pertama pindah ke
Lau Dendang di tahun 1952,ia mengaku hanya menggunakan lampu sentir yang
membuat lubang hidung hitam. “Di depan rumah uwak ini dulu lalang, kebun orang.
Pokoknya dulu masa-masa susah dan gelap.”
Uwak
Rebu dan keluarga mulai merasakan terangnya listrik pada tahun 1986. Mendengar
tahun ia tinggal di daerah Lau Dendang ini, aku mulai tertarik pada pembicaraan
pria tua yang tingginya sekitar 158 cm.
“Dulu
zaman uwak tinggal disini masih ngeri kali. Kalau kalian sudah enak, sudah
terang kayak sekarang ini. Emangnya udah berapa lama kamu tinggal disini?”
“Masih
10 tahun di Bandar Setia wak”
“Oh…
Kalau di Bandar Setis, dulu ada namanya Titi Bambu. Kamu tahu gak itu?”
“Gak
tahu wak. Emang dimananya wak. Kalu aku di Bandar Setia Ujung wak”
“Ya
di Bandar Setia lah...”
Sambil
berbicara, ban dalam sudah dimasukkan ke dalam ban luar. Dipompa, lalu cagak
diturunkan. “Walau usia uwak 62 tahun, tapi uwak masih segar ya,. Apa sudah
lama jadi tukang tambal wak?”
“Kalau
tambal ban, baru aja nih, tahun 2007 lalu. Dulu uwak tukang becak. Untungnya
uwak sampai sekarang masih sehat,” ucapnya sambil menggerakkan kedua tangannya
ke depan dan belakang dengan senyum yang terlihat jelas kerutan di pipi.
Bola
matanya bercahaya.
“Ini
ya Wak, 7ribu… Makasih wak.”
Saat
aku mengendarai Satria Baja Hitam yang sudah sehat. Kembali mamaku menelepon
dan berkata “Udah dimana?” Lalu aku menjawab cepat “Udah dijalan mak. Bentar
lagi nyampek.”
Pasti
mamaku bertanya dalam hati, dari tadi nelpon jawabannya udah dijalan tapi kok
gak nyampek-nyampek. “Bunda, maafkan aku… Aku tak ingin membuat siapapun
khawatir. Cukup doakan anakmu ini.”
Sesampaik
di rumah, aku melihat mamaku membuka pintu untukku. Mamaku tidak bertanya, kok
lama kali tapi dia bilang “Apa udah makan kau?”
“Apa
ada makanan mak?”
“Maksudku,
biar mindahkan kulkas kita. Kan
kau kuat…”
“Ha
ha ha…..” aku tertawa sambil membuka lemari yang masih ada ikan dencis dan
sayur buncis. Tapi hilang sudah selera makan. Cukup minum saja. Lalu kami
berdua, memperbaiki posisi kulkas karena kaki kulkas sudah patah.
Usai
memindahkan kulkas, memasukkan isi kulkas yang sempat dikeluarkan lalu masuk ke
kamar dan melihat memperbaiki posisi tidur adikku Satria Arya Dao Mara Simamora.
Ia selalu tidur dengan kipas yang dekat sekali dengan wajahnya.
Good
Night
Novita
Sari Simamora